Berita
Kritik Nahdliyin atas Bebas Bahan Makanan Import
Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz
Sedari dini ajaran keadilan ditekankan oleh seluruh aliran keagamaan yang ada di muka bumi, jauh hari sebelum urusan peribadatan dikenalkan. Itulah yang diyakini sebagai maksud utama turunnya agama, maqashidus syari’ah.
Keyakinan akan kepentingan keadilan itu pula yang mengajarkan utamanya perlindungan terhadap hak keberagamaan sampai hak privat yang nondiskriminatif (hifdzud din sampai hifdzul ‘irdl), termasuk hak atas keadilan pangan.
Pada masa Nabi Muhammad membangun keberadaban Madinah, urusan keadilan pangan tidak lepas dari perhatiannya. Dalam banyak rujukan standard, salah satunya I’anatuth Tholibin (3-131), disebut bagaimana ketegasan Nabi SAW terhadap potensi ketidakadilan pangan karena ulah penimbunan yang menyebabkan melangitnya harga dan mengakibatkan rumah tangga miskin tidak mampu membeli makanan. Nabi menyebut para penimbun (muhtakir) itu sebagai dosa besar dan dikutuk oleh Allah (la’anahum Allah).
Itulah salah satu perspektif mendasar fiqh sosial-politik pangan yang diajarkan Rasulullah dengan kepentingan utama penegakan keadilan pangan, food justice. Memperhatikan ketegasan Nabi dalam urusan pangan seperti ini, tentu memberikan nalar kepada para pengamat pangan dan utamanya rokhaniawan, bahwa fiqh pangan bukanlah sekedar terbatas pada fiqh dzat pangan berkenaan dengan kehalalan dan keharaman pangan semata, akan tetapi mencakup pula segala macam urusan sosial-ekonomi dan politik terkait dengan pangan.
Para ahli fiqh pangan tentu tidak pernah berhenti pada urusan penimbunan barang ini, karena watak fiqh yang dilandasi ushul fiqih yang sama bisa sangat dinamis di lapangan. Masih ada implikasi keadilan sosial-politik pada sisi lain ketika solusi pangan terjadi sangat ekstrem melalui romantisme pangan murah, RPM, penggelontoran import pangan dan bahkan dengan penghapusan BM 58 komoditas pangan secara membabibuta yang teramat potensial memiskinkan petani produsen yang mayoritasnya Nahdliyyin karena lemahnya daya tawar. Benarkah bahwa Bebas BM itu bermakna kedlaliman bagi petani Nahdliyyin?
Dalam hal ini metodologi, manhajul fikr, biasa diambil dalam telaah hukum. Ketika ada percontohan yang bisa dirujuk analoginya, penjabaran analogi terbalik, mafhum mukhalafah, juga sangat lazim dilakukan. Bagaimana halnya ketika pangan dimurah-murahkan melalui tata niaga, tas’ir, dengan modus penggelontoran pasar dengan import dan bebas BM yang merugikan rakyat tani kecil yang mestinya justru berhak dilindungi dalam kebijakan pangan? Perlakuan tas’ir ini tentu tidak berbeda jauh dari ihtikar dengan kerugian massa produsen.
Analisis Kebijakan Nasional
Kebijakan Pangan Pemerintah, atau Government Food Policy, GFP, merupakan seperangkat kebijakan yang teorisasi dan terapannya telah lama dilakukan oleh banyak negara dengan tujuan formal, yang disebut banyak ilmuwan, antara lain: (i) meningkatkan pendapatan usahatani pangan pada tingkat basis; (ii) melindungi petani kecil dan mempertahankan untuk tetap dalam kehidupan pedesaan; (iii) meningkatkan keswasembadaan dan mengurangi ketergantungan terhadap import; (iv) menekan instabilitas harga dan ketidakpastian pendapatan usahatani; (v) menekan biaya konsumsi dan/atau meningkatkan konsumsi pangan masyarakat; dan (vi) kombinasi beberapa pilihan tujuan yang telah disebutkan.
Dalam adopsinya, beragam tujuan sosial-ekonomi tersebut senantiasa dicanangkan teramat populis, over populistic, dengan dalih mengupayakan keadilan dan kesejahteraan rakyat baik rakyat konsumen maupun produsen, meski sebenarnya kepentingan politik citranya jauh lebih menonjol. Latar-belakang inilah yang selalu mewarnai kontroversialnya kebijakan, baik yang langsung berurusan dengan pangan maupun kebijakan nasional non-pangan tetapi memiliki potensi pengaruh terhadap pasar pangan seperti kebijakan tarif listrik, subsidi BBM, dll.
Oleh karenanya, kebijakan yang secara alamiah berpotensi pro-kontra tersebut senantiasa memerlukan alat ukur untuk bisa mengawal mutu kebijakan dan efektifitas kemanfaatannya. Pada tingkat inilah, anasir tujuan pembangunan yang terbingkai dalam segitiga kritis: pertumbuhan, keadilan dan keberlanjutan (growth-equity-sustainability, GES), bisa dipilih sebagai perangkat telaah dan evaluasi baik terhadap mutu perencanaan, implementasi, dan hasil penerapan kebijakan yang pada umumnya memiliki multidimensi implikasi pangan.
Melalui penilaian sederhana, analisis kebijakan pangan nasional khususnya, dan kebijakan nasional yang memiliki implikasi pangan pada umumnya, mudah sekali dilakukan dalam kisi-kisi GES dimaksud. Dengan basis ini pula bisa dilakukan evaluasi terhadap penerapan Bea Masuk (BM) importasi pangan yang oleh banyak pihak dinilai sebagai suatu cara membangun keadilan bagi rakyat tani. Hal sebaliknya juga bisa dilakukan kaitannya dengan penghapusan BM 58 komoditas pangan dan ketidakadilannya bagi produsen pangan.
BM dalam Importasi
Semangat keadilan pula yang melatarbelakangi kritik perdagangan pangan internasional. Eksportasi dan importasi hakekatnya adalah kegiatan niaga belaka dalam rangka memperoleh nilai tambah ekonomis. Persoalaannya menjadi sedikit berbeda manakala berkenaan dengan komoditas strategis, utamanya pangan. Oleh karena strategisnya posisi pangan dalam kehidupan berbangsa, ekportasi dan importasi pangan tidak bisa dipandang sebagai urusan ekonomis belaka, apalagi sekedar urusan finansial antara murah dan mahal. Dalam diri komoditas pangan ada persoalan sosial-budaya, HAM, politik dan persoalan keadilan.
Atas nama keadilan inilah, maka dalam banyak urusan importasi Negara mengenakan BM guna perlindungan produsen pangan dalam negeri menghadapi murahnya barang import yang bisa disebabkan oleh banyak hal, antara lain: (i) efisiensi dan produktifitas yang berbeda dengan RI, (ii) proteksi dan subsidi berlebihan di negara ekportir, (iii) pengaruh mata uang, dsb; sementara sistem produksi pangan RI masih harus berfungsi sebagai bemper sosial dan ketenagakerjaan ketika Negara sedang menghadapi persoalan tingginya angka pengangguran.
Kecuali alasan perlindungan bagi produsen pangan dan urusan ketenagakerjaan, pada gilirannya besaran BM inipun dirangcang untuk menjaga tetap terjaganya pertumbuhan usahatani pangan sehingga rakyat tani tetap bergairah melakukan usahatani pangan, sekaligus mendukung keberlanjutan pangan nasional. Untuk beberapa komoditas pangan utama rancangan inipun sejalan dengaan pencanangan keberlanjutan, swasembada dan kemandirian pangan, sebagaimana akhir-akhir ini sering sekali ditekankan oleh Presiden SBY.
Ketidakadilan Bebas BM
Dalam perspektif GES, syar’i dan semangat pembangunan pertanian yang sering dilontarkan Presiden mulai dari RPPK, pencanangan swasembada lima komoditas pangan Maret 2010, sampai terakhir kali, penekanan SBY di hadapan RKP Nasional 10 Januari 2011 tentang tiadanya alasan bagi Bangsa ini untuk tidak berkemandirian pangan, maka pembebasan BM 58 komoditas pangan secara membabibuta memiliki banyak makna dalam politik pangan RI.
Pertama, pembebasan BM tersebut sangat kontraproduktif terhadap terwujudnya pertumbuhan, keadilan dan keberlanjutan produksi pangan nasional karena potensinya dalam menekan pendapatan petani melalui harga murah. Bebas BM akan memurah-murahkan harga dalam negeri dan merugikan pendapatan usahatani. Pada gilirannya, penggelontoran itu akan mengganggu gairah petani dan akhirnya berpengaruh terhadap produktifitas nasional.
Kedua, pembebabasan BM secara membabibuta tersebut juga sekaligus kontraproduktif terhadap program pangan yang telah dicanangkan Presiden SBY dalam keswasembadaan dan kemandirian pangan. Inilah inkonsistensi pembangunan terbesar yang pernah terjadi di Negeri ini, kalau tidak boleh disebut sebagai kebohongan, karena pada detik yang sama Kabinet melakukan pengambilan keputusan yang saling bertolak belakang. Jelas sekali bagi swasembada dan kemandirian, bahwa bebas BM adalah langkah kemunduran.
Ketiga, sektor pertanian selama ini berposisisi sebagai penyangga terbesar urusan ketenaga-kerjaan nasional ketika Negara gagal membangun lapangan kerja alternatif di pedesaan. Karenanya, bebasnya BM jelas sekali akan mengganggu potensi ketenagakerjaan pertanian. Keempat, RPM yang dibangun melalui bebas BM ini terlalu memanjakan investasi besar milik segelintir pemilik modal dalam industri non-agro melalui harga pangan murah yang memungkinkan rendahnya UMR. Akan tetapi, itu sekaligus menafikan perlunya penyelamatan investasi kecil oleh jutaan investor gurem rakyat tani Indonesia yang mayoritasnya Nahdliyin.
Kelima, bebasnya BM importasi 58 komoditas pangan cenderung memberi kesempatan kepada para pedagang dan importir besar untuk memanfaatkan kesempatan ekonomi dibanding kemanfaatannya bagi publik konsumen. Pengorbanan kesejahteraan petani produsen yang sudah miskin bagi terbentuknya net gain yang teramat massive bagi para importir dan pialang merupakan bentuk ketidakadilan tersendiri yang seharusnya tidak pernah bisa ditolerir.
Keenam, dalih over-popultistic yang dibangun dengan alasan utama rendahnya daya beli publik, harusnya dilakukan tidak secara membabibuta melalui kebijakan umum, common policy, akan tetapi seharusnya dilakukan melalui special policy bagi fakir-miskin, seperti terjadi pada jaman Nabi dan Khulafa’ ar-Rasyidin. Coba dibandingkan dengan bebas BM sekarang: penerima manfaat terbesar RPM dan UMR murah adalah segelintir pemilik modal. Rendahnya daya beli publik mestinyanya diatasi dengan upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi. Special policy dalam bentuk pangan murah harus ekslusif bagi fakir-miskin dan dalam kondisi darurat, emergency. Bukan sebagai kebijakan langganan.
Ketujuh dan lebih dari segalanya, sistem tas’ir yang pengorbanan jutaan massa rakyat kecil produsen pangan atas nama stabilitas dan harga murah bagi keuntungan segelintir pemilik modal dan pedagang yang kaya raya, sungguh sangat melukai rasa keadilan dan teramat jauh menyimpang dari ajaran syar’i yang justru mengamanatkan sebaliknya: untuk berkasih-sayang kepada fakir-miskin. Sikap Rasulullah dalam politik pangan jelas sekali memberi landasan evaluatif yang harus senantiasa menegakkan hakekat keadilan.
Catatan Akhir
Berdasarkan perspektif keadilan pangan baik dalam kerangka politik pangan kontemporer berbasis GES maupun perspektif politik pangan syari’ah berkenaan dengan sistem tas’ir dan ihtikar yang secara ekstreem memurah-murahkan atau memahal-mahalkan harga pangan, maka beberapa catatan berikut ini perlu memperoleh perhatian seksama.
Pembebasan BM secara membabibuta harus ditinjau kembali karena merugikan rakyat tani yang mayoritas warga bangsa dan mayoritasnya Nahdliyyin, bagi keuntungan segelintir kecil pemilik modal yang memperoleh keuntungan usaha berlebihan karena pangan dan UMR super murah. Kebijakan umum melalui penggelontoran pangan yang merugikan rakyat tani yang sudah fakir-miskin, demi murahnya pangan bagi publik umum termasuk orang berpunya juga merupakan kedlaliman nyata.
Pembebasan importasi dan BM pangan seyogyanya dilakukan secara selektif berdasarkan atas asas manfaat dan rasa keadilan yang diterjemahkan dari perspektif GES dan syari’ah. Importasi dan bebas BM yang kontraproduktif terhadap keadilan dan kemandirian, terlebih yang bernuansa eksploitatif terhadap dhu’afa bagi segelintir aghniya’ harus sepenuhnya ditolak.
Sudah saatnya para rokhaniawan NU berembug dan merumuskan kerangka syar’i menurut Aswaja dan kontekstualisasinya dalam politik pangan nasional, yang sudah hampir setengah abad senantiasa mengorbankan rakyat tani yang sudah fakir-miskin sebagai tumbal pembangunan bagi keuntungan segelintir pemilik modal yang memiliki segala kekuasaan. Sudah bukan waktunya menempatkan fakir-miskin sebagai tumbal pembangunan.
Akhirnya, berdasarkan catatan kecil ini, sudah waktunya PBNU dengan ini: (i) menekan Pemerintah untuk segera membangun grand scenario yang mantap bagi pengembangan kemandirian pangan nasional yang berkeadilan sebagai bagian integral dari upaya penguatan Kedaulatan Bangsa NKRI; (ii) mendesak Pemerintah untuk segera mencabut dan melakukan peninjauan ulang terhadap keputusan bebas BM 58 pangan membabuta yang telah dicanangkan, untuk menjadi lebih selektif dan berkeadilan; (iii) mengingatkan Pemerintah RI untuk senantiasa menghindarkan diri dari semakin jauh terjerumus dalam inkonsistensi kebijakan guna keperluan membangun kepercayaan publik; dan (iv) mengajak segenap kekuatan kepakaran syari’ah dan aqidah Aswaja NU untuk melakukan kontekstualisasi dan spiritualisasi seluruh aspek kehidupan berbangsa, termasuk dalam urusan politik pangan nasional yang semakin tidak berkeadilan, serta sekaligus membangun upaya menjauhkan Nahdliyin untuk tidak senantiasa menjadi korban kemadlaratan keputusan politik nasional. Wallahu A’lamu Bisshowab
Mochammad Maksum Machfoedz
Penulis adalah Ketua PBNU, Tinggal di Yogyakarta