Berita
Kontra Reklamasi
Reklamasi kini menjadi proyek pembangunan yang sedang hangat diperbincangkan. Terutama saat banyaknya kontra bermunculan mengingat efek buruk akibat reklamasi.
Kalangan mahasiswa pun mulai angkat bicara. Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) salah satu contohnya. Dipelopori Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, mereka menggelar seminar dan diskusi publik bertema “Respon Terhadap Reklamasi Jakarta, Bali, dan Makassar.” Bertempat di FIB UI, Jumat (15/4), seminar ini menghadirkan pakar hukum, lembaga swadaya masyarakat dan aktivis lingkungan sebagai pembicara. Hadir pula para nelayan Teluk Jakarta memberikan kesaksian sebagai korban reklamasi.
Ode Rahman dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menjadi salah satu pembicara. Dari pantauan WALHI, setidaknya ada 17 Provinsi yang mempunyai persoalan tentang wilayah pesisir. Sementara itu dari data sementara WALHI 2015 terpantau 14 titik sebaran proyek reklamasi. Di pesisir perairan Makassar misalnya, proyek reklamasi sudah berjalan 3 tahun melibatkan 14 perusahan sebagai investor.
“Ada 4000 hektare lahan yang akan direklamasi,” kata Ode.
Hadir juga John Tirayoh dari ForBALI, sebagai pihak yang getol mengkampanyekan tolak reklamasi Teluk Benoa di Bali. Menurutnya, reklamasi Benoa tak bisa dibenarkan sama sekali.
“Ada puluhan ribu massa yang turun menolak menolak reklamasi. Kalau ada yang bilang ada yang pro dan kontra itu bohong! Yang pro dibayar!” kata John dengan semangat.
Selain itu, ForBali juga merilis 13 alasan tolak reklamasi Teluk Benoa. Di antaranya adalah: akan hilangnya fungsi konservasi, timbulnya banjir, terumbu karang rusak, bencana ekologis meluas, abrasi, rentan bencana, tanah murah untuk investor, dan jelas-jelas kebijakan pro investor. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada proyek reklamasi di tempat lain.
Masyarakat nelayan diwakili Marthin Hadiwinata dari lembaga Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Menurutnya pembangunan reklamasi ini bersifat kapitalistik.
“Pendekatan yang dilakukan tidak pro warga.. memenuhi kebutuhan kelas menengah atas… menunjukkan ketimpangan sangat besar bagi warga Jakarta,” kata Marthin. Selain itu, kasus korupsi merupakan persoalan utama.
Dari efek reklamasi ini sebagian nelayan tak lagi dapat menangkap ikan. Sebagian akses ke laut sudah tertutup. Area tangkapan ikan sudah banyak ditimbun menjadi daratan. Ini baru bicara soal nelayan, belum lagi kerusakan lingkungan.
Pakar Hukum Lingkungan FH UI, Bono Budi Priambodo menilai jika memang pesisir atau teluk itu rusak ya harus diperbaiki.
“Bukan tambah dirusak! Dalam reklamasi ini, sebagai argumen penolakan mesti ke permasalahan yang substansi yaitu, merusak lingkungan,” kata Bono.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), melalui Wahyu Nandang Hermawan, memiliki perspektif lain, terkait keterlibatan korporasi dengan pemerintah. Pola pikir pemerintah saat ini, menurutnya, bagaimana meningkatkan ekonomi, dan meningkatkan investasi.
“Ini akibatnya jika pemerintah hanya berpikir untung-rugi,” kata Wahyu.
Wahyu menggambarkan tiga elemen besar yang mempengaruhi kehidupan saat ini yaitu; Negara, Korporasi, dan Rakyat. Dari tiga elemen itu Wahyu menilai, korporasi memiliki porsi yang paling besar.
“Bahkan, dalam diskusi bersama Komnas HAM, 70-80% penguasaan lahan di Indonesia banyak dimanfaatkan korporasi,” ungkap Wahyu.
Ia juga menilai, korporasi, perusahaan-perusahaan besar, punya akses, punya uang untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
“Saat ini banyak kebijakan dipengaruhi korporasi,” katanya.
Apa jadinya negara jika dikendalikan korporasi?
“Masyarakat bisa termarjinalkan, dari aspek sosial maupun politik,” kata Wahyu.
Selain itu juga menurutnya, negara yang dikendalikan korporasi dapat menimbulkan kemiskinan struktural, menimbulkan pelanggaran Hukum dan HAM. Negara dapat terlibat dalam pelanggaran HAM melalui dua cara; Pasif, dan Aktif.
“Pasif dengan cara diam. Aktif dengan cara TNI dan Polri dijadikan corong berhadapan dengan warga,” terang Wahyu.
Apa jadinya jika negara nantinya bekerja demi kepentingan korporasi dan menggunakan aparat untuk mengusir warganya sendiri? Setidaknya, dengan skala tertentu, dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta, hal ini sudah terjadi. Penggusuran terhadap warga Luarbatang juga menjadi salah satu contohnya. (Malik/Yudhi)