Berita
Kontestasi Islam di Tanah Sunda
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar seminar bertajuk Negosiasi dan Perlawanan Islamisasi di Jawa Barat Abad 20 – Sekarang, Kamis (28/1). Peraih gelar Doktor dari Universitas Leiden, Belanda, Dr. Chaeder S. Bamualim sengaja diundang sebagai pembicara karena tema itulah yang menjadi pokok bahasan disertasinya.
Ia telah melakukan penelitian di beberapa wilayah di Jawa Barat seperti Bandung, Lembang, Sumedang dan Kuningan.
“Tiga varian yang diteliti yaitu Islam, Aliran Kebatinan (Sundanism/ Jawanism), dan Christianity,” kata Chaeder.
Pada dasarnya Jawanism/Sundaism menurutnya memiliki kultur dan tradisi nasionalis, dan karena itulah Soekarno memilih mendirikan PNI di Bandung.
Islam pada mulanya berkembang melalui kultur dan tradisi.
“Jadi kalau ada yang bilang Maulid dan Tahlil itu bid’ah, gila itu orang!” imbuhnya sembari mengisahkan ada orang Kristen yang masuk Islam pada mulanya hanya karena ikut Tahlilan.
“Namun seiring berkembangnya zaman, muncul dakwahism, terjadi perubahan sosial secara drastis. Kini Islam tidak hanya menjadi kultur tapi juga sudah menjadi alat penguasa,” katanya.
“Orang Sunda harmoni dengan alamnya. Norma, agama, adat, harus hidup harmoni,” lanjut Chaedar.
Dengan kata lain, dakwahism, terutama yang dilakukan dengan pemaksaan, berlawanan dengan norma, kultur dan adat. Inilah yang dianggap telah menimbulkan disharmoni.
Resistensi terhadap kaum adat (Aliran Kebatinan) menurut pemahamannya, muncul dari kaum modernis, juga sebagian kalangan Islam yang menganggap mereka bagian dari PKI.
Kaum adat dan kebatinan ini kemudian tidak mendapat cukup fasilitas dari pemerintah. Misalnya mereka tidak boleh kawin dengan cara adatnya, ketika di pencatatan sipil harus masuk ke agama yang tidak sesuai keyakinan mereka. Sedangkan Islam, Kristen dan agama lain yang diakui pemerintah dapat lebih leluasa mengaksesnya.
Masyarakat adat pemeluk Aliran Kebatinan pun mulai tertekan, Islam tumbuh dan Kristen juga tumbuh. Sekarang persoalannya ada di sini. Kontestasi terjadi antara Islam dan Kristen.
“Namun sekarang Aliran Kebatinan mulai muncul lagi, mereka mencoret atau mengosongi KTP di kolom agama. Apakah ini akan menjadi kebangkitan mereka dan menjadi ancaman? Tentu tidak. Islamisasi yang terjadi sudah terlalu besar, di Cianjur saja pertumbuhan Masjid dan Madrasah sudah ribuan,” ungkapnya.
Pendekatan seperti apa yang tepat?
Seperti disebut tadi bahwa Islam mendapat penerimaan besar awalnya berdasarkan kultur dan tradisi yang sesuai dengan norma dan adat setempat. Dengan kata lain, pendekatan radikalisme, pemaksaan seperti kaum Salafi-Wahabi tidak efektif.
“Bahkan menurut demografi hasil penelitian di UGM, jumlah pemeluk Islam sekarang menurun 1%” paparnya.
Kenapa menurun? Apakah ini juga dampak dari munculnya kelompok radikal yang menampilkan Islam dengan berbagai macam aksi kekejaman dan kebengisan? Entahlah. (Malik/Yudhi)