Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Konstitusi Amanatkan Negara Bela Kebebasan Beragama Warganegara

Penulis Buku

Buku Membela Kebebasan Beragama jilid IKebebasan beragama warganegara tampaknya belum menjadi perhatian serius pemerintahan kita. Hal itu dapat dilihat misalnya, kasus terkait agama-agama dan kepercayaan di Indonesia yang tak kunjung terselesaikan. Hal itu pula yang melatarbelakangi penulisan buku berjudul “Membela Kebebasan Beragama” karya Budhy Munawar Rachman. Buku tersebut merangkum pemikiran-pemikiran dari 70 pandangan cendekiawan Indonesia terkait kebebasan beragama. Berikut kami sajikan wawancara ABI Press dengan penulis buku tersebut: 

Judul buku yang Anda tulis “Membela Kebebasan Beragama.” Membela dari siapa? Dan siapa yang harus dibela?

Buku ini judulnya Membela Kebebasan Beragama. Jadi ada kata yang sangat kuat di situ yaitu membela. Nah memang itu berarti ada persoalan dengan kebebasan beragama yang harus dibela.

Persoalannya yang pertama adalah, negara tidak memenuhi kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warganegara dalam hal kebebasan beragama. Karena itu kita ingin membela dalam arti kita ingin sebenarnya menuntut negara untuk memberi pemenuhan terhadap hak-hak kebebasan beragama tiap warganegaranya.

Karena di Indonesia saat ini ada banyak masalah kebebasan beragama terutama yang selalu menjadi pemberitaan di media nasional itu masalah yang menyangkut Ahmadiyah, sangat kuat sekali, bersamaan dengan Ahmadiyah ada Syiah di situ, kemudian masalah pendirian rumah ibadah, masalah kesulitan-kesulitan terutama yang dialami oleh umat Kristiani juga sedikit-sedikit oleh Islam.

Terus ketika berkaitan dengan hak-hak dari kelompok agama lokal. Mereka juga mengalami diskriminasi yang disebabkan karena negara tidak memenuhi hak-hak kebebasan mereka beragama dan berkepercayaan.

Di buku itu memang sangat positif-aktif dimana tekanannya sangat kuat untuk menuntut pemenuhan hak dari negara. Karena memang yang bisa memenuhi hak itu hanya negara. Bukan warga masyarakat.

Apakah ini pembelaan terhadap hak-hak kebebasan beragama, karena ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhinya?

Iya. Dan terutama yang menjadi korban dalam masalah kebebasan beragama ini adalah minoritas agama. Bukan mayoritas. Tapi itu juga bisa terjadi di dalam internal. Misalnya Kristen, dia minoritas, tapi di dalam Kristen juga ada masalah kebebasan beragama karena ada kelompok-kelompok tadi yang mayoritas dan minoritas. Tapi secara persoalan yang besar yang tiga hal tadi.

Lalu harapan apa yang ingin dicapai dari penulisan buku ini? 

Dalam buku ini kan berisi wawancara panjang. Kita ingin menggali dan untuk kesempatan sekarang kita berhasil mendapatkan 70 intelektual terbaik di Indonesia dari yang sudah sangat senior hingga yang masih muda begitu, sekitar 50 dari kalangan Muslim dan 20 Kristiani.

Tapi dari sini kita berharap, kita mendapatkan pikiran-pikiran terbaik. Dari cendekiawan Muslim-Kristen mengenai kebebasan beragama. Dan itu bisa dilihat kalau kita membacanya satu-persatu.  Sehingga ini dapat mengisi, misalnya bagaimana perspektif bangsa Indonesia mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari perspektif kekinian, ya. Kalau dulu kita bisa menggali pemikiran Soekarno, Hatta, Agus Salim dan semuanya para pendiri bangsa ini, tapi sekarang kita juga perlu menggali dari tokoh-tokoh yang generasi sekarang. Buku ini paling tidak bisa menjadi dokumentasinya.

Siapa target pembaca dari buku ini? 

Sasaran umumnya ya sebenarnya lingkungan akademik, mereka yang kerja dalam bidang studi, mendalami konsep. Tapi tujuan yang lebih khusus dalam penerbitan buku ini dan pencetakannya yang cukup banyak, kita ingin menjadikan untuk media diskusi. Kita ingin membuat sebanyak mungkin diskusi seperti ini untuk menyadarkan, terutama mahasiswa. Generasi muda, sarjana-sarjana muda, agar bisa melihat dan mengerti untuk kebebasan beragama ini adalah taruhan.

Kalau kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini, kita sebagai bangsa Indonesia tidak akan bisa menjadi bangsa yang matang, yang modern, memenuhi cita-cita pendiri bangsa ini, di dalam Undang-Undang Dasar ’45, Pancasila. Cita-cita itu tidak akan terpenuhi kalau masalah ini terus ada dan terus saja makin rumit. Jadi bukan tambah selesai tapi makin rumit.  Sehingga kemudian kita tidak bisa, negara tidak punya kekuatan lagi.  Contoh sederhana, persoalan Gereja Yasmin, apa susahnya gitu. Mengembalikan kelompok Ahmadiyah di Transito itu juga apa susahnya bagi pemerintah? Itu hal yang sangat gampang. Pemerintah punya anggaran. Pemerintah punya sumber daya. Dan pemerintah punya kekuasaan.

Kalau misalnya niat untuk memenuhi hak-hak keberagamaan dan hak warganegara itu memerlukan suatu enforcement mereka punya polisi yang bisa menjaga itu. Tapi semuanya tidak jalan. Itu ada masalah sebenarnya di dalam faham keindonesiaan kita, di dalam pelaksanaan keindonesiaan kita. Peran pemerintah sebenarnya di sini. Kita ingin melatih mahasiswa. Didedikasikan untuk mahasiswa dan dosen-dosen muda. Sehingga ini menjadi media untuk mendiskusikan problem kita sekarang ini. 

Sebagai penulis buku “Membela Kebebasan Beragama” bagian mana dari buku ini yang paling menarik menurut Anda? 

Pertama, semuanya menarik, ya. Semua punya kekhasan pemikiran karena ini wawancara mendalam dengan mereka, sehingga kita bisa mendapat pikiran-pikiran segar dari Gus Dur, dari Romo Magnis Suseno, dari Amin Abdullah, dari siapapun lah dalam buku itu. Tapi yang paling menarik adalah, secara umum semua mendiskusikan mengenai bagaimana seharusnya bangsa ini dikelola. Pengelolaan mengenai kemajemukan di Indonesia ini harus betul-betul dibicarakan lagi secara terbuka. Pemerintah tidak bisa taken for granted. Ini semua sudah cukup karena kita perlu menjaga kerukunan. Rukun itu menjadi mantra ya, pemerintah yang sebenarnya mau menutupi kekhawatiran terhadap kelompok mayoritas. Yang diwakili oleh kelompok garis keras. Belum tentu mayoritas begitu. Tapi diwakili oleh kelompok garis keras. 

Tunduk pada kemauan mayoritas inilah sebenarnya yang tidak boleh ada dalam pikiran pemerintah. Konstitusi tidak pernah mengatakan, pelaksanaan pemerintahan yang benar adalah tunduk pada kemauan mayoritas. Tapi yang benar adalah tunduk pada konstitusi. Konstitusi mengamanatkan setiap warganegara mendapatkan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Itu sebenarnya yang paling menarik, dan setiap orang mendiskusikannya dengan caranya sendiri-sendiri.

Sebagai penulis buku “Membela Kebebasan Beragama” apa pesan Anda bagi masyarakat Indonesia?

Saya sebenarnya ingin mendorong, terutama generasi muda untuk lebih betul-betul memperhatikan pikiran-pikiran dari para senior kita. Indonesia sekarang adalah negara yang cukup berkembang. Secara pemikiran kita sudah tidak lagi konsumen yang harus selalu mengambil pemikiran-pemikran itu dari luar dan sekarang kita sudah punya tokoh-tokoh di zaman sekarang ini yang bisa menjadi inspirasi untuk keindonesiaan kita. Dengan buku ini saya berharap dapat menjadi rangsangan awal, untuk dosen-dosen muda dan mahasiswa kemudian dapat melakukan riset sendiri bahkan bisa mengembangkannya. Sehingga nantinya kita punya aset-aset pemikiran yang kuat di Indonesia.  (Malik/Yudhi)


Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *