Berita
Wilayatul Faqih Menurut Ayatullah Taqi Misbah Yazdi
Selembar Catatan dalam Sejarah
Perlu diketahui, memisahkan masyarakat dari wilayatul faqih sungguh tidak lebih sulit daripada memisahkan mereka dari alquran. Memisahkan masyarakat ini dari alquran bukanlah perkara yang mudah, dan tidak ada orang yang berani berkata kepada mereka :”Jangan baca alquran!” Akan tetapi, para musuh melakukan perencanaan jangka panjang dengan strategi tertentu dan baru berhasil bertahun-tahun kemudian. Namun, lihatlah perubahan yang terjadi pada masa ini. Sebagai salah satu berkah dari revolusi Iran, Anda bisa menemukan anak-anak usia lima tahun yang berhasil menghafal seluruh isi alquran, padahal di masa sebelumnya guru-guru yang berusia 30 dan 40 kesulitan untuk sekedar membaca alquran.
Para musuh telah berhasil menyusun program penghapusan alquran yang begitu rapi sehingga secara perlahan tapi pasti alquran berhasil disingkirkan. Diantaranya mereka memperbanyak pelajaran ekstra kurikuler sehingga murid tidak punya kesempatan untuk belajar membaca alquran. Nah, apakah sekarang Anda masih berfikir bahwa memisahkan masyarakat dari wilayatul faqih sebagai sesuatu yang sulit dan lebih sulit dari menjauhkan mereka dari alquran ?!
Dua puluh tahun mereka bekerja keras menyusun berbagai program dan strategi untuk memisahkan masyarakat dari wilayatul faqih. Sangat disayangkan ternyata mereka sedikit banyak telah berhasil dalam hal ini. Setidaknya mereka sudah berani untuk mengetengahkan masalah ini di kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi.
Mereka berani berkata kepada para mahasiswa bahwa konsep wilayatul faqih tidak mempunyai dasar hukum kecuali hanya tercantum dalam UUD Republik Islam Iran, dan karena undang-undang merupakan produk manusia, maka terdapat kemungkinan kesalahan di sana, dan bila terbukti seperti itu, maka satu-satunya cara untuk terlepas dari kesalahan adalah dengan mengubahnya. Kita menerima konsep wilayatul faqih, hanya karena konsep tersebut telah tertuang dalam undang-undang, dan seandainya undang-undang diubah dan tidak lagi mencantumkan masalah wilayatul faqih, maka kitapun akan meninggalkannya, karena berlakunya konsep ini semata-mata karena telah tercantum di undang-undang. Dengan kata lain, legalitas konsep wilayatul faqih bermuara pada undang-undang. Dengan mengubah undang-undang, legalitas konsep wilayatul faqih akan gugur dengan sendirinya.
Mereka menghembuskan pemikiran ini, seolah-olah undang-undang seperti wahyu yang diturunkan dari langit dan sebagai dasar keabsahan konsep wilayatul faqih. Padahal konsep wilayatul faqih merupakan salah satu prinsip dalam keyakinan pengikut Ahlulbait as (baca: masyarakat tasyayyu’) dan justru wilayatul faqih-lah yang memberikan legalitas pada undang-undang. Apabila tidak ada pengesahan dari wali faqih, undang-undang tidak akan mendapat legalitas sebagaimana halnya dengan undang-undang ‘urf lainnya. Apa yang mewajibkan diri kita untuk berkorban serta berjuang dengan harta dan jiwa di jalan agama adalah hukum dan titah dari Wali faqih.
Hal ini disebabkan bahwa yang beliau ucapkan bermuara dan bersumber dari aturan agama dan hukum Allah swt. Di masa kekuasaan toghut ( Syah Reza Pahlevi), masyarakat turun ke jalan dan menjadikan dada-dada mereka sebagai sasaran empuk bagi peluru aparat, itu tidak lain adalah karena perintah yang diberikan oleh wakil Imam Zaman afs. Sekarangpun masyarakat melakukan perjuangan untuk mempertahankan Islam dan sistem Islam dalam rangka mematuhi perintah Wali faqih.
Masyarakat di Iran dengan meyakini bahwa Wali faqih adalah wakil Imam Mahdi dan bahwa perintahnya adalah perintah Allah swt beserta RasulNya saw, maka mereka mewajibkan dirinya untuk taat kepada Wali faqih. Jika tidak seperti itu adanya, lalu apa yang dapat membuat masyarakat siap untuk mempersembahkan apa saja yang menjadi miliknya di jalan ini ?
Para musuh telah menyadari urgensi dan posisi wilayatul faqih. Oleh karena itu mereka berusaha keras memudarkan dan menjauhkan konsep ini dari benak umat Islam. Mereka terus bekerja melunturkan dan mengaburkan konsep ini dari pemikiran umat, sehingga umat tidak lagi mematuhi Wali faqih. Sedikit ban
yak mereka telah berhasil dalam hal ini. Oleh sebab itu di masa sekarang umat Islam dituntut untuk lebih cerdas dan waspada dari masa-masa sebelumnya, karena musuh telah menyerang kita dengan beragam tipu daya dan konspirasi di bidang politik dan budaya. Jangan sampai kita tertipu dan terlena, sehingga kita akan menerima hukuman Allah swt dengan kehilangan nikmat besar wilayah yang Allah telah berikan pada kita.
Sekedar untuk memahami betapa besar nikmat wilayah ini, ada baiknya kita melirik apa yang terjadi pada negara tetangga kita, Afghanistan. Masyarakat Islam Afghanistan telah berjuang mati-matian untuk mengusir kekuatan toghut yang membentengi pemerintahan dan penguasa zalim di sana, sehingga akhirnya mereka mendapat kemenangan dan berhasil mengusir kekuatan penjajah dari negeri mereka. Penderitaan dan pengorbanan yang diberikan oleh masyarakat Muslim Afghanistan tidak lebih sedikit dari pengorbanan yang diberikan oleh Muslimin Iran.
Akan tetapi lihatlah apa yang dihasilkan oleh perjuangan, pengorbanan dan darah-darah mujahidin yang tertumpah di sana ? Lebih dari dua dasawarsa sudah mereka terlibat dalam perang saudara pasca terusirnya kekuatan Uni Soviet. Sebagai Muslimin mereka berwudhu dengan darah saudara Muslimnya sendiri. Ini semua akibat mereka tidak punya seorang Wali faqih yang menjadi pemimpin dan pusat komando mereka.
Di negara Iran, berkat Ahlulbait as dan ideologi tasayyu’, konsep dan prinsip wilayatul faqih adalah sesuatu yang secara aklamasi diterima dan diyakini. Sementara di Afghanistan karena mayoritas mereka adalah dari kalangan Muslimin yang tidak mengenal konsep wilayatul faqih, dan sebagai akibatnya mereka tidak dapat menemukan seorang pemimpin yang dapat menjadi pusat arahan dan komando. Padahal setidaknya mereka dapat mengangkat seorang pemimpin yang dikukuhkan melalui UUD yang mereka sahkan. Allah swt telah memberikan nikmat besar kepada negara Iran dan pengikut Ahlulbait as dengan seorang pemimpin ilahi yang dapat menjadi pelita serta cahaya yang sangat terang di tengah-tengah umat.
Bagi mereka yang tidak meyakini konsep serta prinsip Islam ini pun, mereka tetap harus mensyukuri nikmat besar yang menjamin kesejahteraan serta ketentraman ini. Pasalnya, seandainya nikmat wilayah ini tidak ada, bukan tidak mungkin perang saudara yang terjadi di Afghanistan juga akan terjadi di Iran.
Perlu diketahui, perbedaan etnis di Iran, tidak lebih sedikit dibanding perbedaan etnis di Afghanistan, bahkan perbedaan etnis di Iran jauh lebih banyak dari jumlah etnis di Afghanistan. Sebagai bukti dari apa yang dipaparkan di sini adalah perselisihan dan konflik yang terjadi di awal kemenangan Revolusi Islam Iran. Perselisihan yang terjadi antara etnis Kurdi, Turkamani, Arab, Baluc dan seterusnya tidak lebih sedikit dari konflik serta perselisihan kelompok yang ada di Afghanistan. Akan tetapi, sesuatu yang dapat menjadikan semua kelompok dan golongan itu bersatu dan berada di bawah satu bendera, adalah kepemimpinan Ilahi yang kita sebut sebagai wilayatul faqih.
Seandainya kekuatan Ilahi itu tidak ada, kekuatan partai atau organisasi mana yang dapat mewujudkan persatuan seperti ini ? Ada saja orang yang merasa sok intelektual yang merasa cinta negara berusaha menghidupkan kembali konsep kepartaian dan keetnisan, seperti Pan Kurdisme, Pan Turkisme dan Pan Arabisme. Tentu kita harus terus berjuang untuk memperkuat sendi-sendi wilayatul faqih dalam tataran teori dan praktik.
Mereka yang berusaha menghidupkan kembali konsep kepartaian adalah orang-orang yang tidak mengenal syukur atas berkah persatuan yang Allah berikan atas bangsa ini lantaran wilayatul faqih. Siang malam mereka tak kenal lelah selalu berusaha melemahkan konsep dan prinsip wilayatul faqih, untuk mereka kembalikan pada hal-hal yang dapat memicu konflik di antara anak bangsa. Salah satu bentuk tidak bersyukur atas nikmat besar ini adalah apabila ada orang yang berusaha menggantikan konsep wilayatul faqih dengan konsep demokrasi ala Barat.
Berkaitan dengan sikap-sikap tidak tahu bersyukur inilah, Imam Ali as berpesan,”Dan janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran.” Orang yang paling tidak tahu diri adalah orang yang tidak pandai berterima kasih atas pemberian dan anugerah. Dan puncak kebodohan adalah ketika orang menolak sesuatu yang menjadi sebab kemuliaan dan kebahagiaannya baik di dunia maupun di akhirat. Sementara di tengah masyarakat kita ada orang-orang yang mempertanyakan dan melemahkan konsep wilayatul faqih, kita masih harus melihat kenyataan pahit lain, yaitu diamnya para ulama.
Apakah sikap diam dan membiarkan orang-orang yang menghina nikmat besar wilayah ini, dapat dibenarkan ? Pantaskah kita (khususnya para ulama) berdiam diri dan duduk tenang melihat sekelompok orang yang secara terus-menerus melecehkan serta mempertanyakan konsep wilayatul faqih ?
(Sumber: 21 Nasihat Abadi Penghalus Budi, hal 321,penerbit Citra)