Berita
Konsep Mahdiisme dalam Perspektif Mazhab Ahlulbait [1]
Pendahuluan
Sesungguhnya dasar keyakinan akan datangnya seorang penyelamat ―yang di dalam Islam terefleksi dalam konsep Mahdiisme― merupakan fenomena kemanusiaan universal. Maka itu, ia tidak terbatas pada agama atau aliran tertentu. Fakta ini dengan sendirinya dapat menjadi bukti kuat untuk mematahkan empat kritik sekaligus mengenai konsep Mahdiisme ini: Pertama, fenomena ini menjelaskan kerapuhan kritik yang menyatakan bahwa konsep Mahdiisme hanya produk orang Syiah. Karena, konsep ini juga disepakati oleh seluruh kaum muslimin.
Kedua, menjelaskan kerapuhan kritik yang mengklaim bahwa konsep ini berasal dari mitos dan imajinasi segelintir orang. Sebab, sebagaimana sudah diketahui, bahwa mitos itu produk dari sebuah peristiwa terdahulu, dari sekelompok kaum atau dari beberapa orang saja. Dan tidak dapat kita terima bahwa sesuatu dianggap sebuah khayalan dan mitos namun dipercayai oleh berbagai agama, aliran baik bumi maupun langit, dan disoroti oleh hati manusia dan diadopsi oleh para pemikir dan filsuf.
Ketiga, menjelaskan kerapuhan kritik yang menyatakan bahwa konsep ini produk pikiran bangsa Yahudi. Karena, kalaupun kandungan konsep Mahdiisme ini terdapat di dalam seluruh agama bahkan agama non-samawi, lalu kenapa kita merasa resah saat Islam mempercayai konsep semacam ini? Sesungguhnya akal dan logika menuntut Islam untuk memesankan konsep ini secara lebih gamblang dan lebih sempurna sebagaimana dimiliki oleh madrasah Ahlulbait as. Nah saat itu, tanda-tanda kesempurnaan agama ini, dan khususnya madrasah Ahlulbait adalah pandangannya terhadap konsep Mahdiisme ini. Bukankah agama-agama memiliki titik kesamaan dengan yang lain di bidang teologi dan hukum seperti haji, puasa, salat dan selainnya. Apakah saat yahudi mengatakan bahwa agama yahudi memiliki konsep ini berarti itu tidak dapat diterima dalam Islam? Bukankah seharusnya Islam harus lebih memiliki penjelasan dan pemaparan yang lebih sempurna dan lebih tinggi?
Dengan demikian, kritik tersebut mengungkapkan kedangkalan ilmu sang pelakunya, sekaligus menjelaskan kesempurnaan Islam dan mazhab Syiah. Uraian ini juga menjelaskan invaliditas sanggahan yang menyatakan bahwa konsep Mahdiisme produk dari tekanan politik yang dialami oleh para Imam Ahlulbait as, karena Khawarij pun menghadapi tekanan yang tidak kurang dahsyatnya dari apa yang dialami oleh para pengikut Imam. Betapa banyak kelompok dan golongan yang percaya dengan pokok ini, namun ia tidak mengalami penganiayaan. Di samping itu, kalau benar ini muncul dari tekanan, lalu apa yang membuat kuatnya keimanan para generasi pelanjut yang tak pernah mengalami tekanan dari pihak manapun?
Memang, dapat diakui bahwa keyakinan akan adanya tekanan dapat mendorong manusia untuk meyakini konsep Mahdiisme secara lebih besar, namun bukan berarti hal itu merupakan satu-satunya sebab yang menelorkannya sejak awal. Agama adalah ungkapan tersempurna dari hakikat manusia, sedang Islam adalah ungkapan terbaik dari hakikat sebuah agama, dan selanjutnya madrasah Ahlulbait adalah ungkapan terbaik dari hakikat Islam. Saat agama-agama menjelaskan konsep penyelamat akhir zaman, hati nurani manusia akan menyingkap ―khususnya tentang hakikat yang terselubung― secara pasti dan lebih sempurna. Dan saat Islam menjelaskan konsep ini, secara benar telah menyingkap hakikat yang lebih sempurna dari pada penjelasan yang telah diajukan oleh agama-agama yang terdahulu.
Dan saat para Imam memaparkan hal tersebut, ini berarti keterangan yang sempurna tentang hakikat keislaman mengenai hal ini. Dengan demikian, perbedaan masalah Mahdiisme dalam kaca mata madrasah Khulafa’ (Ahlusunnah) dan madrasah Ahlulbait as (Syiah) adalah perbedaan antara madrasah yang menjelaskan hakikat ini dengan sangat dangkal dan madrasah yang menjelaskan hakikat tersebut dengan sangat dalam. Madrasah pertama menganggap madrasah kedua telah melampaui batas. Bisa jadi ini adalah sebuah isyarat; mengapa mazhab Syiah identik dengan konsep Mahdiismenya, bahkan terkesan konsep ini merupakan salah satu karakteristik mazhab ini, bukan dari keyakinan umat muslim seluruhnya, mengingat keyakinan dan penjelasan yang utuh yang sesuai dengan hakikat konsep Mahdiisme. Ciri-ciri ini bersumber dari satu poros yaitu bahwa konsep Mahdiisme bukan sekedar teori masa depan, bukan pula hanya berita akan masa depan yang cerah bagi kemanusiaan di ujung zaman, sebagaimana yang telah dipahami oleh madrasah Khulafa’.
Akan tetapi, keyakinan terhadap Mahdiisme pada awalnya adalah bagian tak terpisahkan dari serangkaian keyakinan akan kepemimpinan dua belas imam maksum yang telah ditakdirkan oleh langit untuk mengisi dunia semenjak kepergian Rasulullah saw. hingga akhir zaman kehidupan manusia. Atau dengan ungkapan lain dapat dikatakan, konsep Mahdiisme adalah masalah Imam Kedua Belas; yang kepemimpinannya telah dimulai sejak tahun 260 Hijriah, berlangsung hingga sekarang dan akan berkesinambungan sampai munculnya beliau di ujung sejarah manusia. Di saat membahas konsep Mahdiisme menurut kaca mata madrasah Ahlulbait as kita harus memusatkan pembahasan kita pada fokus teologi. Sesekali kita juga harus melihatnya dari argumentasi rasional dalam rangka pembuktian, dan dari sisi lain untuk mengetahui ciri-cirinya yang menjadi konsekuensinya, dan dari sisi ketiga nilai teologis yang dikandungnya. Maka itu, di sini terdapat tiga fase pembahasan yang akan kita bahas dalam beberapa pasal secara terpisah.
selanjutnya Pasal Pertama: Pembuktian Teologis atas Konsep Mahdiisme Menurut Ahlul Bait as
Abdul Karim al-Bahbahani dalam buku Mahdiisme Dalam Perpektif Ahlul Bait as