Berita
Konsep Kenabian Sunni, Syiah dan Ahmadiyah
Khazanah pemikiran Islam diwarnai dengan berbagai interpretasi terhadap penafsiran Al-Quran yang pada akhirnya memunculkan berbagai mazhab atau aliran dalam Islam. Termasuk di dalamnya perspektif tentang Nabi yang pada tiap aliran dalam Islam itu berbeda antara satu aliran dengan aliran yang lainnya.
Lalu seperti apakah perspektif kenabian dalam Sunni, Syiah dan Ahmadiyah?
Dalam seminar yang digelar oleh Fakultas Aqidah Filsafat Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan tema “KONSEP KENABIAN LINTAS ALIRAN: Implementasi Islam Rahmatan lil Alamin dalam Perbedaan,” pada Rabu (17/9) di gedung Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, narasumber dari tiga aliran Islam di Indonesia yaitu, Sunni, Syiah dan Ahmadiyah menjelaskan konsep kenabian yang mereka anut saat ini.
Perspektif Kenabian Ahmadiyah
Bagi Ahmadiyah, pintu kenabian setelah Nabi Besar Muhammad Saw masih terbuka, sehingga memungkinkan peluang bagi adanya nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Tapi nabi yang muncul setelah Nabi Muhammad Saw kenabiaannya disebut dengan Kenabian Ummati, karena sebelumnya telah menjadi umat nabi Muhammad Saw terlebih dahulu. Hal tersebut disampaikan oleh perwakilan Ahmadiyah, Prof. Abdul Rozzaq.
Rozzaq mendasari pemahamannya tersebut dari Surah An Nisa, ayat 69 yang menurutnya dalam ayat tersebut diartikan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itulah orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, ada yang termasuk Nabi, ada yang termasuk Siddiq, ada yang termasuk Syahid dan ada yang termasuk Shaleh.
Nah, Nabi yang disebutkan dalam ayat tersebut, menurut Rozzaq adalah Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, yang disebut dengan Nabi Ummati itu. Sebab menurut Rozzaq jika tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad, maka pengikut Nabi pun tidak ada yang Siddiq, tidak ada yang Syahid dan tidak ada yang Shaleh.
“Oleh karena itu jamaah Ahmadiyah mempunyai keyakinan bahwa sesudah Rasulullah Saw itu pintu kenabian masih terus terbuka,” terang Rozzaq.
Rozzaq menegaskan bahwa Nabi setelah Rasulullah yang dimaksud adalah Nabi itu hanya menghidupkan Islam kembali dan menegakkan syariat Islam kembali tanpa sedikitpun menambah, mengurangi ataupun mengganti. Tapi betul-betul sebagai Nabi pelayan Umat.
Terkait dengan hadis La Nabiyya Ba’da yang berarti tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad Saw menurut Rozzaq, hadis tersebut ditujukan pada nabi baru yang membawa Syariat baru dan mengubah apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Hal ini menurut Rozzaq telah ditafsirkan oleh banyak mufasir pada jaman dulu seperti Imam As-Sya’roni.
Perspektif Kenabian Sunni
Dr. Edwin Syarif, MA, perwakilan dari Sunni yang merupakan seorang akademisi menerangkan bahwa di dalam Sunni, pintu kenabian setelah Nabi Muhammad Saw sudah tertutup. Nabi Muhammad Saw adalah Nabi yang terakhir dan tidak ada lagi Nabi setelahnya. Nabi jenis apapun tidak ada dan tertutup setelah Nabi Muhammad Saw.
“Hal itu karena Nabi Muhammad adalah Khatamun Nabiyyin,” terang Edwin.
Namun Edwin menjelaskan bahwa tidak tertutup kemungkinan bila ada seseorang memiliki kemampuan atau mampu mencapai tingkat kenabian. Seperti halnya yang disampaikan oleh al-Ghazali, bahwa seseorang bisa mencapai ilmu Laduni. Yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan hal-hal yang trasenden dan metafisik.
“Saya tidak akan mengatakan itu nabi, itu sulit,” terang Edwin.
Perspektif Kenabian Syiah
Dr. Muhsin Labib yang mewakili Muslim Syiah menjelaskan bahwa konsep kenabian di dalam Syiah itu bukan berfokus pada sosok nabinya tapi lebih pada menyelesaikan konsep kenabiannya terlebih dahulu. Dengan ini akan menunjukkan perbedaan epistemologis dalam memahami kenabian dengan Sunni ataupun dengan Ahmadiyah.
Konsep Kenabian menurut Muhsin adalah pemaknaan teologis dari konsep mediasi antara Tuhan dengan manusia. Di dalam persoalan filsafat selalu muncul pertanyaan, bagaimana Tuhan yang tidak terbatas bisa berhubungan dengan manusia yang terbatas? Sejak awal para filosof berusaha untuk mejawab pertanyaan tersebut yang akhirnya memunculkan berbagai macam teori filsafat seperti teori Emanasi, Iluminasi dan Trasenden Teosofi.
Dengan munculnya teori-teori tersebut menunjukkan bahwa konsep Nubuwwah atau tentang kenabian perlu diselesaikan terlebih dahulu. Setelah konsep tentang Nabi selesai, barulah kemudian bisa mengidentifikasi figur atau sosok Nabinya. Dengan kata lain dalam Syiah harus dijelaskan terlebih dahulu tentang “apa” kemudian berlanjut pada penjelasan “siapa.”
“Sebab tidak mungkin kita menjelaskan tentang ‘siapa-nya’ tanpa tahu lebih dulu tentang ‘apa-nya.’” terang Muhsin.
Setiap aliran dalam Islam memiliki persepsi masing-masing tentang konsep kenabiannya, namun hal ini hendaknya dipandang sebagai khazanah pemikiran Islam yang memberi warna bagi Islam itu sendiri dan bukan untuk saling memberikan label sesat dan saling bunuh.
Dengan upaya saling menghomati tiap persepsi tentang kenabian itulah, maka Islam rahmatan lil ‘alamin akan dapat dicapai. (Lutfi/Yudhi)