Berita
Konflik Suriah
Konflik Suriah: Religius atau Politik?
Islam Times-Pertanyaan lainnya: Apakah kelompok oposisi seutuhnya memberontak berdasarkan motif sektarian ini? Jawabannya jelas tidak.
Nyaris seluruh media Barat bersepakat bahwa konflik di Timur Tengah bersifat religius-sektarian. Setali tiga uang: seluruh media wahabi-takfiri seperti Aljazeera, Alarabiya dan turunannya di Indonesia seperti Arrahmah, VOA-Islam, Hidayatullah dan Rodja TV dan Rodja Radio pun menuturkan kesimpulan yang sama.
Lalu, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, ulama cum guru fikih asal Mesir, belakangan ini seperti sibuk mengkonfirmasi fatwa George W. Bush dkk. menyangkut poros kejahatan Timur Tengah: Iran-Suriah-Hizbullah.
Tak cukup sampai disitu, Al-Qardhawi menarik qaul qadim-nya yang semula mendukung Hizbullah dengan �qaul jadid� yang lebih sesuai dengan �ijtihad� NATO-AS-Zionis yang selalu konsisten untuk meletakkan Hizbullah sebagai musuh umat Islam. Gegar identitas. “Ulama” yang pernah santun, bersahaja kini menyemburkan toxin dan racun takfiriyah.
Apa sebenarnya watak konflik yang terjadi di Timur Tengah akhir-akhir ini, khususnya di Suriah? Benarkah konflik itu bersifat religius-sektarian, sebagaimana yang tergambar dari koor ‘fatwa’ kalangan Wahabi berkedok Sunni dan para pimpinan negara-negara Arab berigal, NATO serta rezim apartheid Israel dan rezim Turki?
Jawabannya sebenarnya gampang: konflik Timur Tengah, mulai dari yang bersifat damai ataupun yang berdarah-darah seperti di Libya dan Suriah, semuanya bermula dari kepentingan dan motif politik. Betapapun ada bumbu-bumbu fatwa yang bercampur dalam adonan konflik yang ada, tapi hakikatnya bermuara politik. Adu kekuatan, pembagian pengaruh, perumusan kebijakan dan rekonstruksi peta Timur Tengah adalah rukun pertama dan utama dari konflik yang sedang berlangsung.
Sejumlah �ulama�, mufti, mujahid dan pejalar agama sebenarnya hanyalah pion-pion kecil dalam keseluruhan konflik ini. Mereka mengikuti buku panduan yang sudah disusun rapih sebelumnya (baca The RAND Corporation).
Lagak dan sikap mereka persis sebarisan tamtama yang siap menerima tugas, dan kalau barisan tidak rapih, mereka juga harus siap mendapat tamparan dan pemecatan. Dan karena itu pula, kita akan melihat betapa jauh pendapat dan pernyataan mereka jauh dari keulamaan dari saripati nilai-nilai Islam. Sebaliknya, bau amis ala politik NATO-AS-Zionis yang menyembur dari mereka sejauh ini.
Sebagai contoh, pada saat terjadi pemberontakan di Libya, muncul fatwa yang meminta umat berjihad menjatuhkan Gaddafi– dengan segala cara. Tak lama setelahnya, NATO bahu-membahu dengan �mujahidin� menghantam Gaddafi tanpa ampun. Jihad melawan Gaddafi pun dimulai dengan fatwa dan didukung penuh senjata NATO (baca: kuffar NATO). Kamudian, korban-korban yang berjatuhan tentu saja selalu prajurit yang berbaris di depan dengan penuh semangat meneriakkan Allahu Akbar, sementara perwira (juga para mufti takfiri) tetap asyik menonton pesawat-pesawat melayang-layang di angkasa menggempur posisi-posisi musuh (baca: umat Islam pro Gaddafi).
Dalam semua pertempuran, tiap pihak akan memobilisasi kekuatan penuh. Dan pada saat itulah fatwa takfiri menjadi amunisi ampuh.
Sebuah fatwa, sekelompok manusia polos, lucu yang hidup dengan pola pikir 1.000 tahun lalu langsung percaya bahwa AS-NATO-zionis adalah poros pendukung setia Muslimin dalam berjihad menghadapi rezim diktator Gaddafi dan sejenisnya. Di sinilah persisnya fungsi fatwa-fatwa itu.
Sekarang kita berhitung pakai akal sehat ihwal konflik Suriah– konflik yang tampaknya sedikit lebih kompleks. Sejak krisis politik berlangsung di Suriah, media Barat dibantu petrodolar Wahabi dan takfiri bekerja keras membesarkan ukuran massa penentang Assad–dan mereka gagal. Setidaknya dalam dua kesempatan di dua kota terbesar Suriah, Damaskus dan Aleppo, massa pendukung Assad berunjuk rasa dalam jumlah yang jauh lebih besar dibanding segenap demonstrasi anti Assad.
Resep kedua pun dipakai: Assad membantai siapa saja yang menentangnya�dan inipun gagal. Berbagai bukti justru menunjukkan sebaliknya: para pemberontak menyergap dan membunuh polisi yang mengamankan aksi-aksi demonstrasi. Upaya penggunaan senjata dalam aksi unjuk rasa itu tampaknya memiliki dua tujuan: mengelabui kecilnya jumlah massa oposisi dan membangun opini untuk mempertontonkan brutalitas Assad.
Sampai detik ini, media sosial justru lebih banyak memperlihatkan kekejian pihak pemberontak yang berpuncak pada aksi kanibalisme Abu Saqqar di wilayah Qusair.
Dan karena resep terakhir ini gagal, maka skenario lain memakai resep pamungkas: isu sektarian. Resep yang sampai sekarang relatif bekerja.
Sejenak saja kita amati faktanya memang mayoritas rakyat Suriah memeluk mazhab Sunni. Tapi, pertanyaan mendasarnya: Apakah mayoritas penganut mazhab ini berada di pihak oposisi (Mujhailin) atau justru pendukung setia Assad? Jawabannya beragam.
Pertanyaan lainnya: Apakah kelompok oposisi seutuhnya memberontak berdasarkan motif sektarian ini? Jawabannya jelas tidak. Karena pimpinan oposisi pada dasarnya merupakan koalisi pelangi yang terdiri dari pelbagai latarbelakang agama, mazhab dan etnis.
Pertanyaan lain lagi: Apakah AS, NATO, Uni Eropa dan rezim-rezim diktator Arab mendukung oposisi atas dasar motif religius? Jawabannya jelas tidak, lantaran sulit rasanya kita membayangkan blok Barat tiba-tiba menjadi religius manakala melihat konflik berbalut religius dan sektarian yang terjadi di Suriah. Semua Sunni yang jujur dan ikhlas juga pasti menolak mazhab Sunni yang bernaung di bawah perlindungan aliansi NATO-zionis, apapun alasannya.
Sebaliknya, apakah blok pendukung Assad juga bersikap atas dasar kepentingan dan motif religius-sektarian? Jawabannya juga jelas tidak, lantaran tidak pernah ada yang menyatakan bahwa negara-negara yang tergabung dalam aliansi BRICS (Rusia, Cina, India, Brazil dan Afrika Selatan) bermazhab Syiah-Nusairiyyah-Rofidhoh-Alawi. (Catatan: Jika negara BRICS itu bermazhab Syiah, sungguh Syiah itu adalah mayoritas mutlak penduduk bumi ini. Bayangkan, negara-negara ini memiliki populasi sebanyak 3 milyar jiwa).
Dengan sejumlah fakta di atas, kita sudah bisa menjahit kesimpulan umum seputar konflik Suriah, sebuah konflik politik yang bersumber dari problem politik yang membutuhkan solusi politik.
Sialnya, kesimpulan jelas dan objektif inilah yang hendak diabaikan oleh sejumlah penentang Assad dari kalangan Arab, terutama kerajaan-kerajaan diktator di sekitar Teluk yang digawangi Qatar dan Arab Saudi dengan memanipulasi motif-motif religius-sektarian di balik konflik tersebut.
Otak kecil yang terselip dalam tubuh penuh bara kebencian sudah barang tentu sulit merumuskan kepentingan bangsa dan negara. Bagi mereka, politik itu absurd. Politik tak dapat menampung dendam kesumat yang dibungkus dengan dalil-dalil agama obskurantis mereka dengan memperkerjakan ulama-ulama Takfiri yang mengejawentahkan doktrin George Bush bertahun-tahun silam: you are with me or against me. [IT/MK/BH]