Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Komunitas Syiah Sampang 7 Tahun di Pengungsian, Noda Hitam di Kening Negeri Toleran

Bangsa Indonesia dikenal sebagai Negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi telah diakui dunia. Pada tahun 2014 Indonesia terpilih sebagai tuan rumah United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) dapat dimaknai sebagai bentuk pencapaian dan apresiasi oleh internasional bahwa Indonesia dapat menjadi role model bagaimana sebuah Negara yang harmonis antar keberagaman suku, agama, ras dan budaya. Tetapi jika bangsa ini tidak bisa menyelesaikan berbagai peristiwa intoleransi yang kian menguat akhir-akhir ini, rasa-rasanya predikat negeri toleran hanya isapan jempol belaka. 7 tahun masih berada di penampungan karena tragedi intoleransi adalah noda hitam di kening negeri toleran. Komunitas Syiah Sampang harus mengungsi di negeri sendiri, sudah 7 tahun menderita. Mereka bukan saja terusir dari kampung halamannya. Bahkan jenazahnya pun ditolak untuk sekadar  dimakamkan akibat provokasi tokoh masyarakat yang intoleran.

Baca Nestapa Warga Syiah Sampang, 7 Tahun Mengungsi di Negeri Sendiri

Kurriyah binti Syafii, 24 tahun, wafat menjelang magrib di Rumah Sakit dr Soetomo, Surabaya, pada Rabu, 13 Juni 2018, karena tumor dan TBC tulang yang dideritanya sejak lama. Ambulans yang membawa jenazahnya dicegat oleh Polres Sidoarjo agar tidak dibawa ke Karanggayam, Sampang, Madura. Alasannya ditolak warga. Sebenarnya warga tak keberatan sama sekali. Yang menolak adalah kepala desa setempat yang kemudian memprovokasi sebagian warga. Menyusul Sumaidah bin Orqon pada 15 Agustus 2019 menghembuskan nafas terakhirnya.

Baca Satu Lagi Pengungsi Sampang Meninggal Semasa Mengungsi

Tiga tahun lalu, jenazah Busidin, 65 tahun, pengungsi Sampang juga, terpaksa dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Delta Praloyo Asri, Sidoarjo.

“Apakah mungkin situasi seperti ini yang diinginkan pemerintah. Satu per satu pulang kepada Tuhannya hingga pemerintah tidak perlu lagi memikirkan untuk memulangkan mereka ke kampung halamannya?”

Awal Mula

Aktivitas kaum intoleran sudah bisa ditandai sejak mereka melakukan penghadangan kepada rombongan Muslim Syiah akan menghadiri peringatan Maulid Nabi di rumah Ustaz Tajul Muluk di Desa Karang Gayam (Senin, 9/4/2007). Tragedi Sampang meledak empat tahun kemudian. Saat itu, 29 Desember 2011, sekitar lima ratus orang menyerang perkampungan Muslim Syiah pimpinan Ustadz Ali Murtadha alias Tajul Muluk (lahir 1971) di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang. Massa membakar rumah Tajul, pesantren, madrasah, surau, dan rumah ibu dari Ustaz Tajul Pada 16 Maret 2012, Tajul dilaporkan melakukan penistaan agama sesuai pasal 156a KUHP.

Atas hal ini, Amnesty International menjuluki Tajul sebagai prisoner of conscience, orang yang ditahan karena keyakinannya. Pada 26 Agustus 2012 meletus Tragedi Sampang Kedua. Sekitar seribu orang membakar puluhan unit rumah warga Muslim Syiah di Karanggayam dan Bluuran. Akibatnya Muhammad Hasyim tewas, serta puluhan lainnya luka parah dan ringan. Mereka diungsikan ke rumah susun Pasar Induk Puspa Agra, Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 20 Juni 2013 hingga sekarang.

Pengungsi Syiah Sampang tidak bisa pulang ke kampung halamannya. Pemerintah menawarkan relokasi, pindah saja ke tempat lain. Tapi pengungsi menolak. Menurut Tajul, kebijakan relokasi akan menjadi preseden bagi komunitas minoritas lainnya di Indonesia. Selain itu, warga yang direlokasi tidak otomatis mendapatkan jaminan keamanan dan kenyamanan. Bisa jadi mereka akan diusir kembali.

Pada 14 Juli 2013, perwakilan pengungsi Syiah Sampang dan ormas Ahlulbait Indonesia (ABI) bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY berjanji memulangkan dan membangun kembali rumah warga Syiah Sampang sebelum Idul Fitri 1434 H dengan anggaran satu triliun rupiah asalkan sesama warga Sampang bisa hidup damai di kampung halaman. Janji ini tidak terealisasikan.

Sesungguhnya antar masyarakat Omben sudah tidak ada masalah. Mereka sudah saling kunjung dan rekonsiliasi. Pengungsi Syiah dapat pulang ke kampung mereka dalam rombongan kecil demi alasan keamanan. Bahkan antar warga penyerang dan korban sudah membubuhkannya dalam bentuk surat perdamaian pada 23 September 2013. Mereka sudah menerima pengungsi Sampang kembali ke kampung halamannya meskipun tanpa Tajul Muluk dan keluarganya. Warga Syiah dan Keluarga Tajul Muluk juga sudah setuju.

Tapi rekonsiliasi dari bawah ini ditolak oleh KH Ali Karrar, Ketua Aliansi Ulama Madura (Auma), Pondok Pesantren Darut Tauhid, Pamekasan, serta beberapa elit PCNU Sampang, akibat provokasi Achmad bin Zein Al-Kaf (Yayasan Al-Bayyinat). Mereka memberikan persyaratan mustahil, yakni warga Syiah Sampang harus kembali menganut mazhab Sunni. Sebuah tuntutan yang aneh dan ahistoris, sebab Mazhab Ahlulbait (Syiah 12 Imam) merupakan salah satu dari delapan mazhab Islam yang diakui oleh ulama-ulama sedunia dan mempunyai ratusan juta penganut di berbagai negara. Lagipula pilihan mazhab itu sangat individual dan tidak dapat dipaksakan.

Dengan klaim prestasi mendelegitimasi komunitas Syiah Sampang, maka kaum intoleran menguatkan posisi ke wilayah lain. Menekan pejabat yang masih ambigu dan menjalin sekutu dengan aparat keamanan. Kaum intoleran semacam Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) memanfaatkan isu NKRI dan Pancasila untuk melakukan kampanye bahaya Syiah. Pendirian gedung dakwah ANNAS bisa dianggap sebagai kemajuan gerakan ANNAS dalam menghambat perkembangan Syiah di Indonesia.

Keberhasilan menyandera kasus Sampang menjadi preseden bagi kaum intoleran untuk membuat aksi serupa. Pengusiran komunitas agama / etnik minoritas di daerah rawan konflik bisa terjadi kapan saja apalagi bila ada kepentingan pemuka agama, aparat, pemimpin lokal.

Peranan Negara?

Kecuali memulangkan pengungsi ke kampungnya, pemerintah mengaku telah berupaya melakukan perbaikan-perbaikan kondisi pengungsi dan peduli atas hak-hak sipil mereka. Pengungsi dapat mengurus ijazah, Akta Lahir, KTP,  BPJS, dll. Penuntasan adminduk pengungsi dan akses terhadap layanan kesehatan gratis diklaim sebagai bentuk lain kepedulian negara.

Selain itu, lahan dan tanah yang pengungsi tinggalkan diikutkan program sertifikasi tanah nasional oleh Badan Pertanahan Nasional. Sehingga kepemilikan tanah mereka tetap, memiliki kekuatan hukum yang kuat.

Sebelum program ini dijalankan, sebagian besar status tanah warga di Sampang masih berupa girik. Status tanah girik itu lemah, mudah dipindah tangankan. Cukup kongkalikong dengan salah satu waris dengan kelurahan, maka lahan tersebut berpotensi berganti kepemilikan dengan cepat. Hal ini justru berbeda dengan status sertifikat kepemilikan yang sulit diperjualbelikan begitu saja karena telah terdaftar di BPN.

Lagipula, apabila warga Syiah Sampang memang berniat menjual lahannya, dari dulu pun bisa dijual. Prosesnya mudah, sebab masih berupa tanah girik tetapi dengan sertifikasi, pemerintah mengakui hak milik warga Sampang yang terusir.

Pemerintah, melalui beberapa pihak, menawarkan relokasi pengungsi dari rusun Sidoarjo ke lahan pemerintah di daerah lain. Tujuannya membuat kondisi sosial, ekonomi dan politik menjadi stabil. Tapi pengungsi menolak karena kebijakan relokasi akan menjadi preseden bagi komunitas minoritas lainnya di Indonesia.

Baca Menanti Ketegasan Jokowi-JK Pulangkan Pengungsi Muslim Syiah Sampang

Pada pilkada serentak 27 Juni 2018, tidak ada calon bupati atau gubernur yang berani mengunjungi pengungsi Syiah. KPU melalui keputusan KPU No 553/2018 pada 5 Juni 2018 menyatakan bahwa mereka harus mencoblos di lokasi pengungsian. Sehingga 236 pengungsi yang mempunyai hak pilih dapat diketahui memilih siapa. Mereka tidak berharap banyak bahwa bupati Sampang atau gubemur Jatim yang terpilih mampu melakukan terobosan untuk menyelesaikan kasus pengungsi.

Baca Harapan Pengungsi Syiah Sampang pada Gubernur Jatim Terpilih

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *