Berita
Komnas Perempuan Tekankan Pentingnya Menjaga Demokrasi dan Tradisi
Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Momor 203/K/KPI/2016 perihal larangan menampilkan karakter pria bergaya kewanitaan menuai banyak kritik dari kalangan masyarakat dengan berbagai macam alasan. Di samping itu sejumlah televisi telah melakukan sensor terhadap beberapa tayangan dengan membuat blur pada gambar bahkan di film kartun.
Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menganggap Surat Edaran KPI tersebut sebagai diskriminasi terhadap kaum perempuan, dalam sebuah diskusi bertema “Menyoal Sensor”, yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) di LBH Jakarta, Jakarta Pusat (2/3).
Anggapan Yuni semakin nyata ketika sejumlah stasiun televisi melakukan sensor terhadap pemakai pakaian-pakaian adat yang ada dalam siaran mereka. Bahkan dalam sejumlah film kartun pun sensor blur tersebut diterapkan juga.
Lebih jauh Yuni menjelaskan tentang kekhawatiran Komnas Perempuan terkait diskriminasi pada perempuan mulai muncul pada tahun 2004, ketika sejumlah wilayah di Indonesia membuat kebijakan daerah diskriminatif atas nama agama dan moralitas.
“Kebijakannya itu mayoritas mengkriminalkan perempuan, meregulasi perempuan, membatasai mobilitas perempuan, membatasi identitas dan ekspresi perempuan,” terang Yuni.
Dalam catatan Komnas Perempuan, Yuni menjelaskan bahwa pasca Reformasi jumlah kebijakan daerah yang diskriminatif meningkat hampir dua kali lipat menjadi 389 yang tersebar ke seluruh penjuru Tanah Air dan menggunakan dana milik publik.
Padahal menurut Yuni, regulasi-regulasi yang dianggap diskriminatif dan berbau syariah bukan diusung oleh partai-partai Islam dan hanya digunakan untuk transaksi politik semata-mata demi mendulang suara dalam pemilihan.
“Jadi kita harus hati-hati jangan sampai pelan-pelan mereka mengambil ranah demokrasi kita, kebebasan berekspresi kita,” ujar Yuni.
Yuni kemudian mencontohkan sejumlah adat dan tradisi yang ada di Indonesia ini bukan hanya sekadar tradisi semata tapi juga memiliki nilai filosofis sebagi sebuah tatanan adat-istiadat, seperti halnya, pemakaian konde di Sumatera atau di Jawa yang memiliki nilai dan ciri tertentu dengan makna yang berbeda-beda.
“Ini bukan sekadar ornamental kecantikan, tapi punya satu symbol. Nah, tradisi-tradisi ini sekarang mau dipunahkan,” ungkapnya.
Maka Yuni sangat khawatir jika tradisi-tradisi yang sangat fundamentalistik dan ahistoris menghilangkan sejarah, bahkan akan bisa menghapuskan peradaban manusia.
“Saya ingin teman-teman media, mengingat bahwa penting sekali untuk menebarkan rasa khawatir, jika hal ini terus dibiarkan,” pungkas Yuni. (Lutfi/Yudhi)