Berita
Klasifikasi Sahabat Nabi Saw di Hadapan Hukum, Akal dan Sejarah
Dalam mengklasifikasikan sahabat kita tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tâbi’în, yang mengikuti jalan para sahabat yang salih; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir.
Para pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sâbiqûn al-awwalûn, dari golongan Muhajirin dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. (QS. Al-Taubah [9]: 100).
Sahabat Menurut Peristilahan Alquran
Kata Shuhbah – persahabatan – dapat diterapkan pada hubungan: antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain (Al-Kahf ayat 6), antara seorang anak dengan kedua orang tuanya yang berbEda keyakinan (Lukmân ayat 15), antara dua orang yang sama-sama melakukan perjalanan (Al-Nisâ’ ayat 36), antara tâbi’ (pengikut) dengan matbû’ (yang mengikuti) (Al-Taubah ayat 40), antara orang mukmin dengan orang kafir (Al-Kahf ayat 34 dan 37), antara orang kafir dengan orang kafir lainnya (Al-Qamar ayat 29), antara seorang Nabi dengan kaumnya yang kafir yang berusaha menghalangi dari kebaikan dan mengembalikannya pada kesesatan (Al-Najm ayat 2, Saba ayat 41). Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir untuk masing-masing ayat di atas.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (selanjutnya kita sebut; Sunni) bersepakat dalam mendefinisikan sahabat dengan keadilan mereka (sahabat). Pendapat mereka antara lain:
- Sa’id bin Musayyab, “Sahabat, adalah mereka yang berjuang bersama Rasulullah selama setahun atau dua tahun dan berperang bersama Rasul sekali atau dua kali.”
- Al-Waqidi, “Kami melihat, para ulama mengatakan, mereka (sahabat Rasulullah) adalah siapa saja yang melihat Rasul, mengenal dan beriman kepada beliau, menerima dan ridha terhadap urusan-urusan agama walaupun sebentar.”
- Ahmad bin Hanbal, “Siapa saja yang bersama dengan Rasul selama sebulan, atau sehari, atau satu jam atau hanya melihat beliau saja, maka mereka adalah sahabat Rasulullah Saw.”
- Imam Bukhari, “Barang siapa bersama Rasulullah atau melihat beliau dan dia dalam keadaan Islam, maka dia adalah sahabat Rasulullah Saw.”
- Al-Qawali menambahkan, kebersamaan itu walaupun sejam saja, tapi secara umum kebersamaan itu mempersyaratkan waktu yang lama. Al-Jaziri berkata, mereka adalah yang hadir dalam perang Hunain yang berjumlah dua belas ribu orang, yang ikut dalam perang Tabuk, dan ikut bersama Rasul dalam haji wada’.
Demikianlah definisi sahabat menurut Sunni, walaupun secara bahasa dan al-’urf al-’amm memiliki perbedaan jauh yang persahabatan itu mensyaratkan kebersamaan dalam waktu yang lama. Jadi tidak bisa dimasukkan dalam definisi ini, bagi mereka yang bertemu hanya dalam waktu singkat, atau hanya mendengar perkataan atau hanya dengan bercakap-cakap singkat, atau tinggal bersama dalam waktu yang singkat. Yang mengherankan adalah, bahwa Sunni sudah sampai kepada kesepakatan tentang keadilan sahabat sedangkan mereka masih saling ikhtilaf dalam pendefinisian sahabat?
Apakah Tujuan dari Tinjauan Kehidupan Sahabat?
Sebagian besar ulama Sunni memasukkan sahabat Nabi ke dalam wilayah profan sangat holistik, sehingga sering kali kita mendengar pengafiran, zindik, munafik dan pembuat bidah bagi mereka yang melanggar secret zone-line ini. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishâbah, jilid 1 h. 17 mengatakan, “Ahlusunah bersepakat bahwa seluruh sahabat adalah ‘adil, kecuali dan barang siapa menentang ini adalah ahli bidah.” Al-Khatib berkata, “Keadilan sahabat dengan legitimasi Allah Swt adalah sesuatu yang tetap dan telah diketahui. Allah telah memilih mereka (sahabat) dan mengabari tentang kesucian mereka.” Kemudian Ibnu Hajar berkata, “Al-Khatib meriwayatkan dari Abi Zar’ah Al-Razi, ‘Kalau kamu melihat seseorang berkata tentang kekurangan (baca: kejelekan) sahabat Rasul, maka ketahuilah bahwa orang itu adalah zindik. Karena Rasulullah adalah haq, Alquran dan yang datang bersamanya adalah haq. Sahabat telah menyampaikan itu semua kepada kita. Orang-orang yang ingin mencemari keyakinan kita tentang itu, adalah mereka yang ingin menolak kebenaran Alquran dan Sunnah. Maka menolak mereka adalah lebih utama sebab mereka adalah kaum zindik.’”
Baca juga Sahabat Nabi Saw di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah
Jawaban atas pernyataan di atas akan kita bahas pada bab-bab berikutnya. Tapi, terlepas dari itu semua, kritik terhadap akidah dan sepak terjang sahabat bertujuan bukan untuk membatalkan kebenaran Alquran dan Sunnah, atau ingin menghilangkan keyakinan kaum muslim. Tapi bila ingin mengetahui dan menguji keadilan para sahabat, maka kita harus menguji secara naqdi (kritis), untuk mengetahui yang saleh dan thaleh, untuk kemudian kita ambil dari mereka yang saleh, agama bimâ huwa (apa adanya) sebagaimana yang diajarkan Rasul dan menolak sebaliknya.
Kritik akan sampai kepada hasil yang diharapkan bila saja, kita mampu melihat secara objektif objek yang kita kritik. Salah satunya adalah melepaskan nilai-nilai yang sudah dari dulu diletakkan para pendahulu kita. Tentu saja harus segera digarisbawahi, bahwa tidak setiap yang kuno itu begitu saja kita tolak, tapi yang ingin kita lakukan hanya ingin bersikap ilmiah dengan mengolah dan menguji kembali hal-hal yang sudah dianggap paten oleh para pendahulu kita.
Sebagai contoh: Imam Hanbal (lih. Kitab Al-Sunnah Ahmad bin Hanbal h. 50) “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar. Kemudian secara berurut, Umar, kemudian Usman, kemudian Ali ra kemudian para sahabat Muhammad Saw setelah empat Al-Khulafa’ Al-Rasyidun. Dia melanjutkan, tak seorang pun boleh membanding-bandingkan mereka, atau mencukupkan satu dari yang lain…..”
Imam Asy’ari juga berpendapat bahwa, kita percaya kepada sepuluh ahli surga sebagaimana yang disabdakan Rasul, kita mengikuti mereka dan seluruh sahabat Nabi Saw dan menerima segala tentang mereka. (Al-Ibanah h. 40/Maqalat, h. 294.)
Cukupkah kita terhadap pernyataan di atas? Sementara sedemikian jelasnya sejarah panjang perjalanan sahabat Rasul yang saling berikhtilaf dan bertentangan dari permasalahan ritual ibadah sampai akidah!
Tidakkah para ulama di atas membaca sejarah bahwa sahabat berbeda sampai dengan Rasul sendiri?
Tidakkah mereka membaca bahwa sesama sahabat saling menumpahkan darah!
Bagaimana mungkin kita bisa menerima seluruhnya, dan tidak boleh menolak seluruhnya sekaligus zindik dan kafir bila mengambil segolongan dari mereka! Ini sangat bertentangan dengan Alquran dan Sunnah Nabawiyah sekaligus akal sehat!
Alquran telah menyifatkan sebagian sahabat dengan fasiq sebagaimana firmanNya, Wahai orang-orang beriman, apabila datang padamu seorang fasiq…..(QS. Al-Hujurât [49]: 6). Sedangkan dalam hadis, menyifatkan golongan yang membunuh ‘Ammar bin Yasir sebagai golongan yang Al-Baghiyah (pembangkang). Rasul bersabda, “Engkau (‘Ammar) akan dibunuh golongan Baghiyah, engkau memanggil mereka ke surga, sedangkan mereka memanggilmu ke neraka” (Al-Jam’ bain Al-Shahîhain 2/461). Sedangkan untuk orang-orang khawarij Rasul menyebut mereka orang-orang yang membunuh golongan yang paling utama dalam kebenaran.
Hadis-hadis seperti ini banyak termuat dalam kitab Shahîh dan Masanid. Apabila berpegang kepada sahabat adalah sebuah kewajiban sedangkan mempertanyakan ihwal mereka adalah haram, kenapa Alquran dan Rasulullah Saw mengabarkan kepada kita sifat-sifat seperti di atas. Akal sehat tidak menerima penutupan kebenaran dengan kesalahan, menutupi kebenaran, dan memposisikan sama antara yang benar dan yang salah.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)