Berita
Kisah Surat Tilang Warna Biru
“Pengalaman mahal harganya.” Pesan tersebut memang bukan omong kosong dan nyata adanya. Seperti apa yang terjadi seminggu lalu, Selasa 28 Juli 2015, saat saya memacu motor matic menyusuri jalan Jenderal Ahmad Yani, menuju daerah Pramuka untuk menghadiri sebuah pertemuan.
Tuntas melahap makan siang saya langsung bergegas memenuhi undangan pertemuan pukul 13.00 WIB. Melaju dengan motor matic di jalanan Jakarta terasa lebih gesit daripada bermobil yang seringkali harus berkutat dengan parahnya kemacetan yang seolah tak kunjung usai.
Saat melintasi daerah gerbang tol Rawamangun, tampak sejumlah petugas kepolisian berdiri di tengah jalan dan mengarahkan sejumlah pengendara motor untuk menepi.
“Semoga saja tak disuruh minggir,” doa saya dalam hati.
Ternyata doa saya tak terkabulkan. Petugas kepolisian tetap saja mengangkat tangannya sebagai tanda agar saya segera menepi. Salah satu dari petugas kepolisian menghampiri saya. “Bisa tunjukkan surat-suratnya?” sapanya.
Saya pun merogoh dompet, mengeluarkan surat-surat yang diminta petugas. Setelah mengecek kelengkapan surat, petugas itu menyebutkan kesalahan dan pelanggaran saya yang tidak saya bantah.
“Mari ikut saya,” pinta petugas itu lagi. Patuh, saya ikuti langkahnya dari belakang.
“Mau bagaimana ini?” tanya petugas yang masih bermasker wajah, menghindari polusi asap kendaraan.
“Tilang saja, Pak,” sahut saya.
Petugas pun mengeluarkan surat tilang dan mengisi kolom-kolom isian di surat tilang tersebut.
“Sidang tanggal tujuh ya!”
“Siap Pak!”
Kemudian disodorkannya surat tilang warna merah kepada saya. Teringat dan masih terngiang tentang gencarnya penyebaran informasi di internet terkait anjuran untuk meminta surat tilang warna biru bila kena tilang maka, “Saya minta yang warna biru saja, Pak.”
Petugas itu tampak agak terkejut. Mungkin tak menyangka saya akan meminta surat tilang warna biru.
“Lho, kalau warna biru itu berarti denda maksimal, satu juta!” terang petugas kepolisian.
Karena ingin merasakan pengalaman mengurus surat tilang warna biru sendiri, saya pun tetap memaksa untuk mendapatkan surat warna biru.
“Saya tidak bilang minta denda maksimal Pak. Saya cuma minta surat tilang warna biru.”
Satu-dua menit lamanya terjadi tarik ulur untuk mendapatkan surat warna biru. Pada akhirnya karena saya tetap gigih meminta surat warna biru, akhirnya petugas kepolisian pun memberikan apa yang saya mau.
“Berarti denda maksimal ya, ini saya lingkari.”
“Saya tidak bilang ingin dapat denda maksimal tapi cuma minta kartu tilang warna biru,” kembali saya coba tegaskan kepada petugas kepolisian.
Setelah mendapatkan surat tilang warna biru, segera saya meluncur ke tempat pertemuan yang memang saya tuju.
“Denda maksimal satu juta!” Kalimat petugas kepolisian itu terus terngiang di kepala, sambil menghitung-hitung jumlah simpanan yang ada di ATM pada tanggal tua ini.
“Denda maksimal satu juta!” terus berputar di kepala. Seperti ada rasa sesal. Tapi harga sebuah pengalaman mungkin memang harus semahal itu.
Selang beberapa hari setelah mendapatkan uang bulanan, saya bergegas menuju cabang bank yang bekerja sama dengan kepolisian untuk menyetorkan sejumlah uang sesuai dengan denda yang tertera dalam surat tilang.
“Siang Pak, bisa saya bantu?” sapa security bank.
“Mau bayar tilang Pak.”
“Boleh saya lihat surat tilangnya?”
Setelah menyodorkan surat tilang yang diminta, security mengantarkan saya ke meja pengisian formulir.
“Silahkan tulis nama, alamat, nomor tilang dan nominal yang harus dibayar.”
Saya pun mengisi formulir sesuai arahan security bank, dan yang mengejutkan ternyata petugas kepolisian yang menilang saya waktu itu tidak melingkari nominal denda maksimal satu juta.
“Alhamdulillah, ternyata petugas kepolisian itu masih berbaik hati kepada saya,” batin saya.
Bayangan bahwa bulan ini isi ATM saya akan terkuras habis untuk membayar denda satu juta, sontak sirna. Saya pun dapat bernafas lega.
Setelah menunggu hampir 30 menit, terdengar panggilan di pengeras suara, “Nomor 235. Teller 5!”
Saya pun bergegas menuju ke teller yang dimaksud.
“Siang Pak,” sapa petugas bank.
“Siang, mau bayar tilang Pak,” sambil saya sodorkan surat tilang beserta formulir yang sudah saya isi.
“Saya cek dulu Pak ya…”
“Ini dengan Bapak sendiri? Bisa minta KTP-nya?”
Saya pun memberikan kartu indentitas yang diminta petugas bank. Dia kembali melakukan pengecekan dan menyampaikan pelanggaran yang tertulis dalam surat tilang itu sekaligus menyebutkan nominal pembayaran atas pelanggaran tersebut. Tanpa panjang lebar saya berikan sejumlah uang sesuai permintaan petugas bank yang kemudian memberi saya bukti pembayaran denda tilang.
Ternyata tidak semua bank bisa melayani pembayaran denda tilang. Hanya cabang Bank yang sesuai dengan lokasi tilang yang dapat menerima transaksi tersebut. Karena posisi tilang saya di daerah Jakarta Timur maka saya harus menyetorkan denda tilang ke Bank yang ditunjuk di Jakarta Timur.
Keesokan harinya, tinggal pengambilan STNK di Satlantas.
Pagi-pagi saya bergegas agar dapat mengikuti meeting yang akan diadakan siang hari di kantor.
Sesampainya di Satlantas Jakarta Timur, dan setelah tanya sana-sini, akhirnya saya diarahkan untuk ke lantai tiga, ke ruang “Staf Tilang”. Sampai di sana saya menyerahkan bukti pembayaran denda tilang dari bank yang ditunjuk. Setelah menunggu beberapa menit…. “Alhamdulillah, akhirnya STNK sudah ada di tangan saya lagi.”
Begitulah setiap pelanggaran tentu akan mendapatkan konsekuensinya. Tak terkecuali pelanggaran lalulintas yang konsekuensinya adalah terkena tilang.
Dalam hal tilang ini tentu ada juga pilihan-pilihan yang dapat diambil pelanggar, apakah yang bersangkutan akan meminta surat tilang warna merah ataukah biru. Karena pilihan warna surat tilang pun teryata punya konsekuensinya. Jika surat tilang biru berpeluang terkena sanksi denda maksimal maka memilih surat tilang merah berarti harus siap mengikuti persidangan dan mungkin juga akan berhadapan dengan aksi nakal para calo sidang.
Agar terhindar dari semua konsekuensi itu, solusinya hanya satu: “Tertiblah berlalulintas!” (Lutfi/Yudhi)