Berita
Kisah Perjumpaan Imam Ali dengan Seorang Ateis
Dari rantai perawi yang terpercaya, disampaikan bahwa seorang ateis menemui Imam Ali ibn Abi Thalib. Ia memintanya menjelaskan beberapa ayat Alquran. Setelah memperoleh penjelasan, ia masuk Islam. Salah satu pertanyaannya berkenaan dengan tafsir ayat dari surah asy-Syura ayat 51
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Sebenarnya, orang itu memperoleh kesan bahwa ada pertentangan antara ayat ini dengan ayat-ayat yang berisi firman Allah kepada Musa, Adam, Hawa, dan lain-lain. Imam Ali menjelaskan bahwa ayat itu menyatakan Allah tidak pernah berbicara dengan siapa pun sejak dulu hingga kapan pun kecuali melalui wahyu, atau ilham, atau dalam mimpi, atau melalui suara yang bisa didengar tanpa terlihat sumbernya, seperti orang yang berbicara dari balik tirai. Allah juga mcnurunkan malaikat dan wahyu secara langsung kepada insan tertentu. Memang, utusan langit adalah pembawa pesan ilahiah kepada pembawa pesan dunia. Kadang-kadang ada percakapan langsung antara Yang Mahakuasa dengan nabi di bumi.
Misalnya, Rasulullah bertanya kepada malaikat Jibril, dari mana ia memperoleh wahyu. “Dari Israfil,” jawabnya. Rasulullah bertanya lagi, “Dari mana Israfil mendapatkannya?” Jibril menjawab, “Dari malaikat yang lebih tinggi lagi kedudukannya.” Ketika Rasulullah bertanya tentang sumber wahyu yang diterima malaikat itu, Jibril menjawab bahwa Yang Mahakuasa memberikan ilham kepadanya secara langsung.
Baca Biografi Singkat Imam Ali Amiril Mukminin a.s.
Dengan demikian, inilah pembicaraan Allah. Jelas bukan satu-satunya jenis pembicaraan. Karena kadang-kadang Allah berbicara pada para nabi, yang sebagiannya memperoleh ilham secara langsung. Nabi-nabi mendapatkan wahyu dalam mimpi. Jenis pembicaraan Allah lainnya ditampakkan oleh Allah dan manusia menyuarakannya. Jenis lainnya adalah melalui malaikat ke nabi di bumi.
Sang penanya merasa puas mendengar jawaban yang terperinci. “Wahai Amirul Mukminin,” katanya, “kau telah menguraikan simpul dalam hatiku. Semoga Allah membalasmu dengan pahala.”
Pada suatu hari Imam Ali ibn Abu Thalib melewati seorang kafir. Imam Ali kemudian memanggilnya, lalu menyuruhnya duduk. Beliau lalu berkata kepadanya, “Kamu tidak percaya akan adanya hari kebangkitan setelah kematian, kamu juga tidak percaya akan adanya hari perhitungan amal di akhirat, sedangkan saya mempercayai semua itu. Benar bukan?”
“Ya,” jawab orang itu.
“Jadi salah seorang di antara kita pasti benar dan yang lain salah?” tanya Imam Ali lagi.
“Betul,” jawabnya.
Imam Ali berkata,”Seandainya yang benar adalah kamu, kemudian kita mati, tentu kita tidak akan mangalami hari kebangkitan dan perhitungan amal; ketika itu saya sama sekali tidak merugi, sedangkan kamu tidak mendapatkan sesuatu apapun. Begitu bukan?”
“Betul,” jawabnya.
“Seandainya saya yang benar, niscaya saya akan sangat beruntung, sedangkan kamu akan benar-benar sangat merugi. Ya tidak?” tambah Imam Ali.
“Ya, betul,” jawab si kafir.
Imam Ali melanjutkan,”Dalam keadaan apapun, saya akan beruntung karena saya mempercayainya, sedangkan kamu selalu rugi, bahkan tidak punya harapan untuk beruntung. Betul begitu?”
“Betul,” tandasnya.
“Karena itu, demi kemaslahatanmu sendiri, tinggalkanlah jalan yang tidak membawamu kepada keberuntungan, dan pada saat yang sama malah membawamu kepada kerugian yang sangat besar. Ikutlah bersamaku mempercayai adanya hari kebangkitan setelah kematian, dan mempercayai adanya hari perhitungan amal di akhirat,” Imam Ali meyakinkan.
Orang kafir itu kemudian pergi untuk berpikir. Sejenak kemudian, dia datang kembali menghadap Imam Ali lalu menyatakan bahwa dirinya masuk Islam.
Hayyat al-Qullub, Sayyid Muhammad Baqir Majlisi dan berbagai sumber