Berita
Kisah Mustaqim: Merumput Taklukkan Ibukota
Putaran roda gerobak dengan muatan rumput menggunung menerjang padatnya ruas jalan di depan pasar Festival, Menteng, Jakarta. Pak tua yang menarik gerobak tak peduli kendaraan-kendaraan mewah melaju di sampingnya dan terus berusaha dengan keras melawan jalan yang sedikit menanjak dengan sisa tenaga yang telah terkuras sebelumnya saat mengumpulkan rumput sejak pagi.
Perlahan tapi pasti roda gerobak pak tua bernama Ahmad Mustaqim berputar, dengan posisi sedikit condong ke depan dengan diletakkannya ikatan gerobak di pundaknya, Mustaqim terus berusaha mengayunkan kaki untuk memutar roda gerobak hingga sampai ke tempat tujuannya.
Saat melewati tim ABI Press yang segaja berhenti di tepi jalan untuk mengamatinya, Mustaqim melemparkan senyum cerah seolah beban yang berada di pundaknya, roda gerobak yang susah payah berputar bukanlah hal yang perlu dikeluhkan.
Setelah berada di depan Pasar Festival arah jalan menuju Mampang, Mustaqim berhenti untuk melepas lelah dan mengumpulkan tenaga guna memutar roda gerobak kembali nantinya.
Puasa bukanlah alasan bagi Mustaqim untuk mengeluh dengan beban kerja yang menguras banyak tenaga.
Saat duduk di tepi terotoar depan Pasar Festival itulah, ABI Press menghampirinya. Setelah memberi salam, kami duduk di sampingnya. Cukup ramah dia terima kami dengan senyum cerianya.
Menurut pengakuan Mustaqim, dia telah menjalani profesinya sebagai pencari rumput selama 37 tahun, terhitung sejak tahun 1977.
“Dulu dari upah saya 15 rupiah, hingga kini 1,5 juta rupaih per bulan,” ujarnya.
.
Dengan mengandalkan pekerjaan sebagai pencari rumput, Mustaqim yang berasal dari Kebumen Jawa Tengah itu membiayai hidup seorang istri dan kelima anaknya, hingga akhirnya seluruh anak-anaknya telah berkeluarga. Entah mengapa tak tampak kesedihan ataupun beban hidup yang berat dari wajahnya. Meski kumis dan janggut yang menghiasi wajahnya, dan sebagian telah memutih itu tumbuh tak beraturan terkesan tak pernah dirapihkan.
“Pernah mencoba profesi lain?” kami tanya..
Dengan sedikit tersenyum, Mustaqim menjawab, “Pernah Mas, kerja jadi buruh bangunan dan buruh di pabrik, tapi nggak enak. Enakan nyari rumput, tidak terikat,” sambil terus melemparkan senyuman ramahnya kepada ABI Press.
Terkait kendala dalam menjalankan profesinya, Mustaqim ternyata memiliki keluhan yang sama dengan para pengendara mobil-mobil mewah yang bertebaran di jalanan Jakarta, yaitu soal macet.
Dalam sehari Musatqim harus menyetor sebanyak dua kali, pada pagi hari dan siang atau sore hari.
Petang itu, Mustaqim merasa kurang beruntung karena hanya membawa pulang 30 ikat rumput saja, padahal biasanya dia bisa membawa pulang 50 ikat rumput untuk 100 kambing milik haji Dawut yang menjadi majikannya di kawasan Menteng Dalam, jalan masuk Gang Gober.
Tak jarang karena mengalami kesusahan saat melewati tanjakan, para tukang ojek dan tukang parkir di sekitar Pasar Festifal membantu mendorong gerobak Mustaqim.
Dalam usahanya mengumpulkan rumput tak jarang kaki pak Mustaqim terkena paku ataupun pecahan barang-barang bekas yang terbuat dari gelas. Namun dengan pengalaman yang telah dia miliki hal tersebut tidak mampu menghambat pekerjaannya selama ini.
Setiap dua bulan sekali, Mustaqim pulang ke Kebumen untuk bertemu dengan keluarganya yang masih tinggal di sana.
Pembangunan yang sangat pesat di Jakarta ternyata juga telah menggusur mata pencaharian Mustaqim. Dulu menurutnya lebih mudah untuk mencari rumput, namun karena banyak yang tergusur dan makin menjamurnya pembangunan gedung, kini Mustqim harus mencari rumput di bantaran-bantaran sungai di Jakarta.
Semakin banyaknya tempat yang tergusur untuk pembangunan itu pula yang menurut Mustaiqim sebagai sebab para peternak sapi perah yang dulu banyak di Jakarta, kini semakin minim.
“Pada tahun 80an hingga 2000an masih lumayan mas, tapi 2000an ke atas sudah susah untuk beternak, banyak yang digusur,” terang Mustaqim.
Saat Azan Maghrib berkumandang, Mustaqim pun beranjak melanjutkan perjalanannya dan menyegerakan berbuka puasa. ABI Press pun memberikan takjil yang ABI Press miliki untuk Mustaqim berbuka puasa.
Wajahnya berbinar menerima takjil tersebut yang akhirnya membuat Mustaqim menunda menarik gerobak rumputnya dan memutuskan berbuka terlebih dahulu dengan takjil yang ABI Press berikan.
Sebagai kota metroplitan yang terus melakukan pembangunan dan penataan kota, Jakarta telah menjadi moster yang akan melumat semua yang menentangnya, termasuk para peternak dan sapi perah yang menurut pengakuan Mustaqim, sejak dulu telah menjadi bagian dari Jakarta, namun kini sedikit demi sedikit tersingkirkan.
Mustaqim merupakan sebagian kecil dari pencari rumput yang masih tersisa di Jakarta setelah sebagian besar mereka dilumat gencarnya pembangunan kota Metropolitan. (Lutfi/Yudhi)