Berita
Kisah Keagungan Akhlak Imam Ali Zainal Abidin as
Farazdaq, seorang pujangga Arab tersohor, pernah melukiskan Imam Ali Zainal Abidin as. Paras beliau sangat tampan. Tubuhnya menebar aroma harum nan segar. Di keningnya terdapat bekas sujud. Karenanya, orang-orang mengenal beliau dengan gelar as-Sajjad (yang banyak bersujud).
Putra beliau, Imam Muhammad Baqir as, pernah bercerita, “Sesungguhnya, apabila tiba musim dingin, ayahku, Ali bin Husain as, menyedekahkan pakaiannya kepada fakir-miskin. Begitu pula jika datang musim panas, beliau melakukan hal yang sama.”
Sudah termasyhur bahwa Imam Ali Zainal Abidin as senantiasa mencuci dan memakai pakaian terbaik bilamana hendak melakukan salat, serta menaburkan wewangian. Khalayak seringkali menjumpai beliau memanjatkan doa, munajat, dan menangis.
Salah seorang sahabat beliau bernama Thawus Yamani menuturkan, “Aku melihat seorang laki-laki sedang salat di Masjidil Haram. Di samping Kabah, ia berdoa sembari menangis. Kuhampiri ketika ia telah menyelesaikan salatnya. Ternyata ia adalah Ali bin Husain as.
Aku menyapa, ‘Wahai putra Rasulullah, kulihat Anda menangis. Bukankah Anda putra Rasulullah?!’
Beliau menjawab, ‘Meskipun aku putra Rasulullah, namun apakah beliau akan menjamin keselamatanku dari azab Allah Swt, sedangkan Allah Swt telah berfirman: Ketika itu tidak ada lagi ikatan keluarga antara mereka?
Sesungguhnya Allah Swt menciptakan surga bagi siapa saja yang berbakti kepada-Nya dan berbuat baik, sekalipun dia seorang hamba Habasyi (berkulit hitam), dan menciptakan neraka bagi siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya dan berbuat buruk, sekalipun dia seorang tuan dari Quraisy.’”
Imam Ali Zainal Abidin as telah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah sebanyak 20 kali dengan berjalan kaki.
Kepada para sahabatnya, beliau berwasiat agar menunaikan amanat dan berkata, “Demi Dia yang telah mengutus Muhammad saw di atas kebenaran! Seandainya pembunuh Husain as mengamanatkan kepadaku sebilah pedang yang telah digunakannya untuk memenggal beliau, sungguh akan kuserahkan kembali kepadanya.”
Imam Ali Zainal Abidin as juga mewasiatkan kepada mereka agar berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah Swt mempunyai hamba yang bekerja guna memenuhi hajat manusia. Merekalah yang beriman pada Hari Kiamat. Maka, barangsiapa membenamkan kegembiraan ke lubuk hati seorang mukmin, kelak Allah Swt akan membahagiakan hatinya di Hari Kiamat.”
Suatu hari, Imam Ali Zainal Abidin as duduk bersama sebagian sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang lelaki dari keturunan bibinya yang lantas memaki dan melontarkan kata-kata kasar. Beliau tidak menjawab sampai lelaki itu menghentikan kata-katanya dan pergi.
Kemudian Imam as berkata kepada para sahabatnya, “Kalian dengar apa yang dikatakan lelaki tadi? Saya lebih suka kalian bersamaku hingga mendengarkan jawabanku kepadanya.” Lalu mereka berdiri bersama Imam as dan mengira bahwa Imam as akan membalas dengan perbuatan serupa.
Imam as mengetuk pintu rumah orang tersebut. Lelaki itu pun keluar dengan penuh hati-hati dan waspada. Sementara itu, Imam as berkata dengan santun, “Wahai saudaraku, sungguh telah kau katakan sesuatu padaku. Seandainya benar apa yang kau katakan, aku memohon ampunan kepada Allah. Namun, jika semua itu tidak benar, semoga Allah memberikan ampunan kepadamu.”
Lelaki itu terpengaruh akan budi bahasa beliau. Seketika itu pula ia menyesali perbuatannya, dan Imam as menerima permohonan maafnya.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa Abdul Malik Umawi meninggal dunia setelah menyerahkan tahta kekhalifahannya kepada Hisyam. Suatu hari, Hisyam menunaikan ibadah haji dan tawaf di sekitar Kabah. Di sana ia bermaksud mencium Hajar Aswad, namun tidak berhasil karena banyaknya para jemaah haji yang berdesak-desakan.
Kemudian, Hisyam duduk beristirahat sambil menunggu kesempatan, sementara warga Syam berkerumun di sekitarnya. Tiba-tiba datanglah Imam Ali Zainal Abidin as, menebarkan aroma harum semerbak, lalu tawaf di sekeliling Kabah.
Tatkala Imam as sampai di hadapan Hajar Aswad, orang-orang berhenti dengan penuh hormat dan membukakan jalan untuk beliau, sehingga beliau dapat dengan mudah mencium batu hitam itu. Selepas itu, orang-orang kembali melanjutkan tawaf mereka.
Menyaksikan peristiwa menakjubkan itu, warga Syam yang tidak mengenal Imam as bertanya-tanya kepada Hisyam tentang siapa gerangan laki-laki tersebut. Dengan berlagak bodoh bercampur kesal, ia menjawab, “Aku tidak kenal.”
Farazdaq, penyair yang berada di tengah mereka, tak lagi kuasa menahan rasa hormatnya. Spontan ia melantunkan bait-bait syair yang begitu indah, sebagai jawaban atas ketidaktahuan orang-orang Syam itu.
Dialah lelaki yang dikenal Mekah tapak kakinya.
Dikenal Kabah, di dalam dan dan di luar tanah Haram.
Dialah putra sebaik-baiknya hamba di antara semua hamba Allah.
Dialah manusia bertakwa, tersuci, dan terkemuka.
Dialah putra Fatimah jika kau tak lagi kenal.
Kakeknya adalah penutup segenap nabi Allah.
Imam Ali Zainal Abidin as mengirimkan hadiah kepada Farazdaq sebagai penghargaan atas sikap yang ditunjukkannya dalam bait-bait itu. Ia pun menerima hadiah tersebut dengan berharap mendapatkan berkah darinya.
Pada kesempatan lain, Imam Ali Zainal Abidin as menjenguk Muhammad bin Usamah bin Zaid yang sedang sakit. Melihat Muhammad menangis, Imam bertanya, “Gerangan apa yang membuatmu menangis?”
Muhammad menjawab, “Aku dililit hutang.”
“Berapa jumlah hutangmu?” tanya Imam as.
“15.000 Dinar,” jawab Muhammad.
Imam as berkata, “Serahkan kepadaku.” Lalu beliau melunasi hutang tersebut.
Di tengah malam yang sunyi, Imam Ali Zainal Abidin as keluar kota sambil memikul sejumlah uang dan makanan untuk dibagikan kepada seratus kepala keluarga fakir, sementara mereka tidak mengetahui identitas beliau.
Ketika Imam as menemui kesyahidan, mereka benar-benar merasakan kehilangan seorang lelaki. Barulah mereka sadar, ternyata orang yang selama ini membagi-bagikan uang dan makanan kepada mereka tak lain dari sosok agung, Imam Ali Zainal Abidin as.