Artikel
Khotbah Imam Ali tentang Pengutusan Rasulullah Saw, Alquran dan Sunah
Allah Memilih Para Nabi-Nya
Dari antara keturunannya, Allah Yang Mahasuci memilih nabi-nabi dan mengambil janjinya untuk wahyu-Nya dan untuk menyampaikan risalah-Nya sebagai amanat mereka. Dalam perjalanan waktu, banyak orang menyelewengkan amanat Allah dan mengabaikan kedudukan-Nya, dan mengambil serikat bersama-Nya. Iblis memalingkan mereka dari mengenal-Nya dan menjauhkan mereka dari menyembah kepada-Nya. Kemudian Allah mengutus rasul-rasul-Nya dan serangkaian nabi-Nya kepada mereka agar mereka memenuhi janji-janji penciptaan-Nya, untuk mengingatkan kepada mereka nikmat-nikmat-Nya, untuk berhujah kepada mereka dengan tablig, untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan kebijaksa-naan yang tersembunyi, dan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kemahakuasaan-Nya, yakni langit yang ditinggikan di atas mereka, bumi yang ditempatkan di bawah mereka, rezeki yang memelihara mereka, ajal yang mematikan mereka, sakit yang menuakan mereka, dan kejadian susul-menyusul yang menimpa mereka.
Allah Yang Mahasuci tak pernah membiarkan hamba-Nya tanpa nabi diutuskan kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada mereka atau argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah yang mendustainya. Di antara mereka ada pendahulu yang akan menyebutkan nama yang akan menyusul atau pengikut yang telah dikenalkan oleh pendahulunya.
Pengutusan Muhammad Saw
Secara demikian zaman-zaman berlalu dan waktu terus bergulir, ayah pergi sementara putra-putra mereka menggantikannya, sampai Allah mengutus Muhammad Saw sebagai rasul-Nya, dalam memenuhi janji-Nya dan untuk melengkapi Kenabian-Nya. Janji-Nya telah diambil dari para nabi, tabiat karaktemya termasyhur dan kelahirannya mulia. Manusia bumi pada saat itu terbagi dalam berbagai kelompok, tujuan mereka terpisah dan jalan-jalan mereka beraneka. Mereka menyerupakan Allah dengan ciptaan-Nya atau menggeser nama-nama-Nya atau berpaling kepada yang selain Dia.
Melalui Muhammad Saw, Allah memandu mereka keluar dari kesalahan, dan dengan usahanya la membawa mereka keluar dari kejahilan. Kemudian Allah memilih Muhammad Saw dan keturunannya, untuk menemui-Nya, memilihnya untuk kedekatan kepada-Nya sendiri, memandangnya terlalu mulia untuk tinggal di dunia ini, dan memutuskan untuk mengeluarkannya dari tempat percobaan ini. la menariknya kepada Diri-Nya sendiri dengan kemuliaan. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau dan keluarganya.
Alquran dan Sunah
Tetapi Nabi meninggalkan di antara Anda sesuatu yang sama sebagaimana yang ditinggalkan nabi-nabi lain di antara umat mereka, karena nabi-nabi tidak meninggalkan mereka dalam kegelapan tanpa jalan yang terang dan panji yang tegak, yakni Kitab dari Pencipta Anda yang menjelaskan yang halal dan haram, perintah-perintah dan keutamaan-keutamaannya, yang menasakh dan yang dinasakh, hal-halnya yang halal dan yang wajib, hal-halnya yang khusus dan umum, pelajaran dan amsalnya, yang panjang dan singkatnya, yang jelas dan samamya, mendetailkan singkatan-singkatannya dan menjelaskan yang samamya.
Di dalamnya ada beberapa ayat yang pengetahuan tentangnya diwajibkan, * dan yang lain-lainnya yang ketidaktahuan manusia tentangnya dibolehkan. la juga mengandung apa yang nampak sebagai wajib menurut Kitab tetapi nasakhnya disuguhkan oleh sunah Nabi atau apa yang nampak sebagai wajib menurut sunah Nabi tetapi Kitab membolehkan orang tidak mengikutinya. Atau ada yang wajib pada suatu waktu tertentu tetapi tidak sesudahnya. Larangan-larangannya juga berbeda. Ada yang berat, yang mengenainya ada ancaman api (neraka), dan yang lainnya ringan, yang untuk itu terdapat harapan keampunan. Ada pula yang dalam ukuran kecil dapat diterima (bagi Allah) tetapi dapat membesar (bila diteruskan).
Dalam Khotbah yang Sama, tentang Haji
Allah telah mewajibkan Anda berhaji ke Rumah Suci-Nya yang merupakan kiblat bagi manusia yang pergi kepadanya sebagaimana hewan liar atau merpati pergi ke sumber air. Allah Yang Mahasuci menjadikannya pertanda atas ketundukan mereka di hadapan Keagungan-Nya dan pengakuan mereka akan Kemuliaan-Nya. la memilih dari antara ciptaan-Nya orang-orang yang ketika mendengar seruan-Nya menyambutnya dan mem-benarkan sabda-Nya. Mereka berdiri pada posisi para nabi-Nya dan menyerupai para malaikat-Nya yang mengelilingi Mahligai-Nya untuk mendapatkan segala manfaat dari melaksanakan pengabdian kepada-Nya dan bergegas untuk (mendapatkan) keampunan yang telah dijanjikan-Nya. Allah Yang Mahasuci menjadikannya sebagai syiar bagi Islam dan objek penghormatan bagi orang-orang yang berpaling ke situ. la mewajibkan hajinya dan meletakkan klaimnya yang untuk itu la menuntut tanggung jawab Anda untuk melaksanakannya. Dan Allah Yang Mahasuci berfirman, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitulldh yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. ” (QS. 3:96)
——————————————————————————————————————–
[*] “Pangkal agama (din) adalah makrifat tentang Dia.” Makna din ialah ketaatan, dan makna populeraya tatanan. Baik dalam makna harfiah, ataupun populer, apabila pikiran kosong dari konsepsi Ketuhanan, tak akan ada masalah ketaatan, tidak ada pula urusan dengan mengikuti suatu aturan. Karena, bila tidak ada tujuan maka tidak ada alasan untuk menuju ke sana; bila tidak ada tujuan yang diharap, tidak akan ada usaha untuk mencapainya. Bagaimanapun, ketika fitrah dan naluri manusia mendekatkannya kepada Yang Mahatinggi, dan rasa taat serta penyerahan merendahkannya di hadapan Tuhan, ia merasa terikat dengan batasan-batasan tertentu, berlawanan dengan kebebasan semena-mena. Batasan-batasan inilah din, yang titik mulanya ialah pengetahuan tentang Allah serta pengakuan atas Wujud-Nya.
Setelah menunjukkan hakikat makrifat atau pengetahuan tentang Allah, Amirul Mukminin menggambarkan pokok-pokok dan syarat-syaratnya. la menganggap bahwa tahap-tahap pengetahuan yang umumnya dianggap sebagai titik pendekatan tertinggi tidaklah mencukupi. la mengatakan bahwa tahap pertamanya ialah dengan fitrah kerinduan kepada yang gaib dan bimbingan hati nurani, atau dengan mendengar dari para penganut agama, terbentuklah dalam pikiran suatu citra tentang Wujud Gaib yang dikenal sebagai Allah. Gambaran ini sesungguhnya adalah pendahulu dari kewajiban berpikir dan merenung serta mencari pengetahuan tentang Dia. Tetapi, orang yang senang bermalas-malas, atau dalam tekanan lingkungannya, tidak melakukan pencarian ini, sehingga walaupun ada tercipta citra semacam itu, citra itu tidak sampai beroleh kesaksian. Dalam hal ini mereka tidak mendapatkan pengetahuan, dan karena mereka tidak sampai pada tahap panyaksian dan pembuktian atas pembentukan citra itu maka pelanggaran mereka itu patut dimintai pertanggungan jawab. Tetapi, orang yang digerakkan oleh kekuatan citra ini maju lebih jauh dan memandang perlu berpikir dan merenungkannya.
Dengan jalan ini ia sampai ke tahap berikut dalam mencapai pengetahuan Ilahi, yakni mencari Yang Maha Pencipta melalui aneka ragam penciptaan dan makhluk, karena setiap gambar merupakan pandu yang kuat menuju kepada penggambarnya, dan setiap akibat merupakan hasil tindakan dari penyebabnya. Apabila ia melemparkan pandangan ke sekitarnya, ia tidak mendapatkan suatu apa pun yang menjadi ada tanpa tindakan si pembuat; ia tak dapat memperoleh suatu jejak langkah tanpa pejalan yang meninggalkan jejak, tiada pula bangunan tanpa pem-bangun. Bagaimana ia dapat memahami bahwa langit biru ini, dengan matahari dan bulan di cakrawala, bumi dengan kelimpahan rumputan dan bunga-bungaan dapat menjadi ada tanpa perbuatan Pencipta. Oleh karena itu, setelah mengamati segala yang ada di dunia dan sistem teratur dari seluruh penciptaan, orang tak dapat menyimpulkan lain kecuali bahwa ada Pencipta atas keanekaragaman dan keberadaan dunia; ini tak mungkin terjadi dari tak ada, tak ada keberadaan muncul dari ketiadaan. Al Quranul Karim menunjukkan penalaran ini,
“Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS. 14:10)
Tetapi, tahap ini pun tak akan cukup, apabila bukti-bukti adanya Allah ini dicemari oleh kepercayaan akan ketuhanan sesuatu yang lain.
Tahap ketiga, keberadaan-Nya diakui bersama kepercayaan akan Keesaan-Nya, Tauhid. Tanpa ini maka kesaksian akan adanya Allah tak mungkin sempuma; karena, apabila ada kepercayaan akan adanya banyak tuhan, maka la tidak akan Esa, padahal la Esa. Nalarnya, bila ada lebih dari satu tuhan maka akan timbul pertanyaan apakah salah satu darinya, atau mereka semua bersama-sama menciptakan semua ciptaan ini. Apabila salah satu darinya yang menciptakannya maka harus ada sebab yang membedakannya dari yang lain; kalau tidak, ia akan mendapatkan kedudukan istimewa tanpa alasan, yang tak dapat diterima akal. Apabila semua telah menciptakannya secara bersama-sama maka posisinya hanya mempunyai dua bentuk: ia tak dapat melakukan tugasnya tanpa pertolongan dari yang lain, atau ia tidak memerlukan bantuan mereka.
Kasus pertama berarti ia tidak mampu dan memerlukan bantuan pihak lain, sedang kemungkinan kedua berarti bahwa ada beberapa pelaku bersama dari suatu tindakan tunggal, dan kepalsuan tentang keduanya telah ditunjukkan. Apabila kita anggap semua tuhan itu melaksanakan penciptaan dengan saling membagi di antara sesamanya maka dalam hal ini tidak semua ciptaan akan mempunyai hubungan dengan pencipta itu, karena setiap makhluk hanya mempunyai hubungan dengan penciptanya sendiri, padahal setiap makhluk harus mempunyai hubungan yang satu dan sama kepada semua pencipta itu. Sebab, semua ciptaan harus mempunyai hubungan yang satu dan sama kepada semua pencipta itu, karena semua ciptaan, dalam kemampuannya untuk menerima pengaruh, dan semua pencipta, dalam kemampuannya untuk menghasilkan pengaruh, harus sama. Singkatnya, tidak ada jalan kecuali mengakui-Nya sebagai Esa; karena, bila ada banyak pencipta maka tidak akan ada apa pun lainnya, kehancuran pasti menimpa bumi, langit dan segala sesuatu dalam penciptaan. Allah SWT telah mengungkapkan argumen ini dalam kata-kata berikut:
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak-binasa …. (QS. 21:22)
Tahap keempat ialah bahwa Allah harus bebas dari segala cacat dan kekurangan, dan kosong dari jasad, bentuk, gambaran, kesamaan, kedudukan tempat dan waktu, gerak, diam, ketidakmampuan dan ketidaktahuan. Tak mungkin ada kekurangan atau cacat pada Wujud yang sempurna itu, tiada pula yang dapat disamakan dengan Dia, karena sifat cacat itu menurunkan Wujud dari posisi tinggi Pencipta ke posisi rendah ciptaan. Itulah sebabnya maka Keesaan dan Kesucian Allah dari segala kekurangan adalah sama pentingnya.
“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. dan tidak ada seorang pun yang setara dangan Dia.'” (QS. 112:1-4)
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Mahahalus lagi Mahatahu.” (QS. 6:103)
“Makajanganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 16:74)
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11) .
Tahap kelima penyempurnaan pengetahuan tentang Dia ialah sifat-sifat itu harus tidak dilekatkan kepada-Nya dari luar, supaya tidak ada kegandaan dalam Keesaan-Nya, dan bila kita menyimpang dari konotasinya yang semestinya tentang Keesaan, kita mungkin jatuh ke dalam jebakan satu dalam tiga dan tiga dalam satu; karena Wujud-Nya bukanlah suatu kombinasi hakikat dan bentuk maka sifat-sifat itu tak dapat melekat pada-Nya seperti bau dalam bunga atau cahaya pada bintang. la adalah sumber segala sifat dan tidak memerlukan perantara untuk perwujudan Sifat-sifat-Nya yang sempuma. la dinamakan Maha Mengetahui karena tanda-tanda pengetahuan-Nya nyata. la dinamakan Mahakuasa karena setiap partikel menunjukkan Kemahakuasaan dan kegiatan-Nya, dan bila pada-Nya disifatkan Kemampuan untuk mendengarkan atau melihat, hal itu disebabkan kepaduan antara seluruh penciptaan dan pengurusannya tidak dapat dilakukan tanpa mendengar atau melihat; tetapi adanya sifat-sifat ini pada-Nya tidak dapat dipandang sama dengan yang ada pada ciptaan, yakni tidaklah la baru dapat mengetahui setelah la beroleh pengetahuan, atau baru berkuasa setelah tenaga masuk ke dalam anggota-Nya, karena mengambil sifat sebagai terpisah dari Wujud-Nya akan mengandung makna ganda, dan di mana ada kegandaan maka keesaan menghilang. Itulah sebabnya Amirul Mukminin menolak ide sifat-sifat sebagai tambahan kepada Wujud-Nya; ia mengajukan Keesaan (Tauhid) dalam maknanya yang sesungguhnya, dan tidak mengizinkan Tauhid dinodai dengan kemajmukan.
Hal ini tidak berarti bahwa sifat-sifat sama sekali tak dapat diatributkan kepada-Nya, karena ini akan memberikan dukungan kepada orang-orang yang meraba-raba di jurang gelap negativisme, sekalipun setiap penjuru dan sudut di seluruh eksistensi melimpah dengan sifat-sifat-Nya dan setiap zarah ciptaan menyaksikan bahwa la mempunyai pengetahuan, la berkuasa, la mendengar, la melihat. la memelihara dan mengizinkan pertumbuhan dengan rahmat-Nya. Maksudnya ialah bahwa bagi Dia tak ada sesuatu yang dapat disarankan sebagai tambahan kepada-nya, karena diri-Nya meliputi sifat-sifat, dan sifat-sifat-Nya bermakna diri-Nya meliputi sifat-sifat. Marilah kita pelajari tema ini dalam kata-kata Imam Ja’far ibn Muhammad ash-Shadiq (as) dengan membandingkannya dengan keimanan akan Keesaan yang ditempuh oleh paham-paham lain, kemudian menilai siapakah pembela konsep Tauhid yang sesungguhnya.
Imam Ja’far Shadiq mengatakan,
“Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi sejak semula telah mempunyai penge-tahuan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu untuk diketahui, (mempunyai) penglihatan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu untuk dilihat, (mempunyai) pendengaran sebagai Diri-Nya, sekalipun tiada sesuatu untuk didengar, mempunyai kekuasaan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu di bawah kekuasaan-Nya. Ketika la menciptakan benda-benda dan obyek pengetahuan menjadi nyata, pengetahuan-Nya menjadi berhubungan dengan yang diketahui, pendengaran dengan yang didengar, penglihatan dengan yang dilihat, dan kekuasaan dengan objek-objeknya.” (Syeikh Shaduq, at-Tauhid, hal. 139)
Para imam Ahlulbait sepaham dalam kepercayaan ini, tetapi kalangan mayoritas telah menempuh jalan berbeda dengan menciptakan gagasan pembedaan antara Diri-Nya dan Sifat-sifat-Nya. Asy-Syahristani menulis dalam bukunya Kitab al-Milal wa an-Nihal,
“Menurut Abul Hasan Al-Asy’ari, Allah mengetahui melalui (sifat) tahu, Kuasa melalui kegiatan, berbicara melalui bicara, mendengar melalui pendengaran, dan melihat melalui penglihatan.”
Apabila kita memandang sifat-sifat berbeda dan Diri-Nya secara ini, maka akan ada dua alternatif: sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula atau sifat-sifat itu terjadi kemudian. Apabila sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula, kita terpaksa mengakui objek-objek itu kekal sejauh sifat-sifat itu, yang semuanya bersaham dengan-Nya dalam kekekalan, tetapi “Mahasuci Allah dari apa yang merekapersekutuan”. (QS. 9:31) Apabila kita menganggap bahwa sifat-sifat itu baru terjadi kemudian maka, di samping menundukkan-Nya pada perubahan-perubahan itu, akan berarti pula bahwa sebelum mendapatkan sifat-sifat itu la tidak tahu, tidak kuasa, tidak mendengar, dan tidak melihat, dan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.
[ii] Tentang Al Quran, Amirul Mukminin berkata bahwa ia mengandung uraian tentang perbuatan-perbuatan yang halal dan yang haram, seperti firman Allah:
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ….” (QS. 2:275)
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa) ….” (QS. 4:103)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ter-dapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyatd bagimu.” (QS. 2:168)
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal kepada Tuhannya.dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.'” (QS. 18:110)
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. 2:44)
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275)
Ia menjelaskan perbuatan-perbuatan yang wajib dan sunah, seperti:
“Apabilah kamu telah menyelesaikan shalat (takut), ingatlah akan Allah di waktu kamu berdiri, duduk atau berbaring, dan bilamana kamu merasa aman (dari musuh) maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa).” (QS. 4:103)
Di sini shalat (mengingat Allah) adalah wajib, sementara bentuk-bentuk lainnya dalam mengingat Allah adalah sunnah. Ia mengandung ayat-ayat yang n?sikh dan mans?kh, seperti masa iddah setelah kematian suami “empat bulan sepuluh hari”, (QS. 2:234) atau yang mans?kh seperti “hingga setahun lamanya tanpa disuruh pindah (dari rumah)”, (QS. 2:240) yang menunjukkan bahwa masa iddah itu harus setahun.
Di tempat-tempat tertentu ia menghalalkan yang haram, seperti, “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. 5:3)
la mengandung perintah-perintah yang khusus dan umum. Khusus ialah perin-tah di mana kata itu menunjukkan keumuman tetapi maknanya terbatas, seperti, “Aku telah melebihkan kamu (Bam Isra’il) atas seisi dunia.” (QS. 2:47) Di sini kata dial- ‘alamin (seisi dunia) terbatas pada masa tertentu itu, walaupun kata itu umum dalam makna harfiahnya.
Perintah-perintah yang umum ialah perintah yang luas dalam pengertiannya, seperti, “‘Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. 4:32)
la mengandung pelajaran dan gambaran, seperti:
“Allah menghukum di dunia ini dan yang akan datang, dan di situ terdapat pelajaran.” (QS. 79:25-26)
“Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.” (QS. 78:25)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya)”. (QS. 79:26)
“Perkataan yang baik dan pemberian maaflebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun”. (QS. 2:263)
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.” (QS. 2:63)
Maka Kamijadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:66)
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (QS. 3:5)
Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. 47:21)
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa danjanganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. 4:19)
Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.” (QS. 2:139)
Terdapat pelajaran di dalamnya bagi orang yang bertakwa kepada Allah.” (QS. 3:138)
Ayat yang berisi gambaran misalnya, “Misal orang-orang yang menafkahkan harta bendanya di jalan Allah adalah ibarat sebutir benih yang menumbuhkan lima butir yang masing-masing butir mengandung seratus butir,” (QS. 2:261)
la mengandung ayat-ayat yang kh?sh dan ‘?m. ‘?m ialah ayat yang tidak mengandung batasan tentang spesifikasi, seperti, “Ingatlah ketika Musa mengatakan kepada kaumnya, ‘Allah memerintahkan kamu untuk menyembelih seekor sapi betina.'” (QS. 2:67)
Ayat yang kh?sh ialah ayat di mana penujukannya terbatas, seperti, “bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah maupun mengairi tanaman”. (QS. 2:71)
Ada ayat muhkam?t dan mutasy?bih?t di dalamnya. Ayat muhkam?t ialah ayat yang tidak ada kerumitan di dalamnya, seperti, “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu,” (QS. 33:27) sedang ayat mutasy?bih?t ialah yang pengertiannya mengandung komplikasi, seperti, “Yang Rahman yang bersemayam di ‘arsy” (QS. 20:5), yang arti lahiriahnya memberi kesan seakan-akan Allah secara jasmani duduk di singgasana padahal maksudnya ialah untuk menekankan wewenang dan kekuasaan-Nya.
Di dalamnya ada perintah-perintah singkat, seperti, “Dirikanlah shalat,” (QS. 17:78) dan yang mengandung makna yang mendalam, seperti ayat-ayat yang mengatakan, “Dan tiadalah yang mengetahui takwilnya selain Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.” (QS. 3:7)
Kemudian Amirul Mukminin meluaskan tema ini dalam gaya lain dengan mengatakan bahwa ada beberapa hal di dalamnya yang wajib diketahui, seperti, “Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah.” (QS. 47:19), dan ada lain-lain yang tidak perlu diketahui, seperti “alif l?m m?m” (QS. 2:1) dan sebagainya.
la juga mengandung perintah-perintah yang telah diulang-ulang oleh sunah Nabi, seperti, “Tentang perempuan-perempuan kamu yang berbuat zina, ambillah empat saksi laki-laki dan, apabila empat saksi itu datang, kurunglah perempuan itu hingga ajal mengakhiri hidupnya.” (QS. 4:15) Hukuman ini berlaku di masa dini Islam, tetapi kemudian diganti dengan rajam dalam hal wanita bersuami.
Di dalamnya ada beberapa perintah yang menasakh perbuatan Nabi, seperti, “Hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram” (QS. 2:149) yang dengan itu perintah untuk berkiblat ke Baitul Maqdis dinasakh.
la juga mengandung perintah-perintah yang hanya wajib pada masa waktu tertentu, yang sesudahnya perintah itu berakhir, seperti, “Apabila seruan untuk shalat dilakukan pada hari Jumat, maka bergegaslah kamu mengingat Allah.” (QS. 62:9) la juga menunjukkan derajat-derajat larangan seperti pembagian dosa dalam yang ringan dan yang berat—yang ringan seperti “katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk merendahkan matanya” (QS. 24:30), dan yang berat seperti “barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka imbalannya ialah tinggal di neraka selama-lamanya “. (QS. 4:39) la juga berisi perintah-perintah di mana sedikit pelaksanaannya sudah cukup, tetapi ada kesempatan untuk pelaksanaan lebih jauh, seperti, “Bacalah Al Quran sebanyak yang dapat kamu lakukan dengan mudah. ” (QS. 73:20)
Katakanlah kapada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka mena-han pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetaui apa yang mereka perbuat.” (QS. 24:30)
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyui uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka danjiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surgu) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. 4:95)
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagi-mu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang ang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yung berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperolehnyu di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 73:20)
Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS. 26:9)
Nahjul Balaghah