Berita
Ketika Terorisme Bukan Semata Soal Terorisme
Paham-paham intoleran dan radikal merupakan bibit dan titik awal dari ekstremisme dan terorisme. Namun harus dipahami bahwa itu hanyalah salah satu penyebab, bukan satu-satunya sumber dan penyebab aksi-aksi ekstremisme dan terorisme.
Hal ini penting untuk dipahami agar ketika kita tepat memahami ekstremisme dan terorisme, maka penyikapan kita dalam menanggulanginya juga tepat dan tidak salah sasaran. Sehingga tidak makin memperburuk keadaan.
Berikut ini wawancara ABI Press dengan seorang pemerhati politik progresif dan kerakyatan, dosen Unair Surabaya yang baru pulang dari Murdoch University, Australia, yang saat ini sekaligus menjabat sebagai Associate Director Akar Rumput Strategic Consulting, Airlangga Pribadi, terkait hal tersebut.
Bagaimana Anda memandang aksi terorisme di jalan Thamrin yang mengagetkan masyarakat Indonesia baru-baru ini?
“Setelah peristiwa bom itu kan ada hastag #kamitidaktakut, itu jangan kita selesai hanya pada hastag saja. Kita jangan pernah berhenti belajar dari sejarah dan terhadap apa persoalan utama dari kehidupan kita. Sebetulnya kan peristiwa teror atau misalnya peristiwa-peristiwa lain, kebencian, atau kelompok-kelompok teror itu bukan hanya semata persoalan ideologi-kultural, tapi lebih luas lagi. Ini adalah persoalan problem sosial yang terkait dengan struktur kekuasaan politik yang berlangsung di Indonesia.”
“Ketika kita bilang, tidak selesai pada hastag, itu kemudian kita harus melihat, merenungkan, dimana kemudian sensitifitas kita, kesadaran kita dan kemudian lebih jauh lagi keberanian kita ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan kebencian, persoalan intoleransi. Karena sebetulnya itu semua adalah bentuk moderat dari ekstremisme, bom dan teror. Yang satu sama lain itu tidak terpisah.”
Tidak terpisah bagaimana?
“Begini, kita lihat bahwa misalnya ketika peristiwa bom terjadi, banyak kalangan yang kemudian secara reaktif mengatakan ini semata-mata sebagai pengkambinghitaman atau persoalan konspirasi pada umat Islam. Ketika kemudian terjadi peristiwa bom, atau kebencian pada kelompok-kelompok lain, masyarakat, sebagian tidak peduli, atau ada yang malah cenderung membenarkan.”
“Nah ini yang saya bilang bahwa aktor-aktor politik yang melakukan kontribusi pada radikalisme, atau aktor-aktor yang melakukan bentuk-bentuk pemboman itu memiliki dukungan konstituen yang luas di masyarakat. Negara, semestinya juga konsen pada basis sosial terhadap persoalan-persoalan intoleransi dan juga teror seperti ini. Bukan hanya terfokus pada persoalan momen-momen sempit seperti di Thamrin.”
“Problemnya dalam konteks kebencian sosial, adalah bagaimana kemudian mereduksi atau menetralisir dukungan basis massa pada persoalan-persoalan tadi, intoleransi dan fanatisme, sehingga tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Juga bagaimana kita melihat bahwa di banyak tempat, ternyata aktor-aktor Negara itu juga banyak terlibat. Baik membiarkan atau terlibat di dalamnya dalam isu provokasi-provokasi kekerasan tadi. Dengan alasan untuk mendapatkan dukungan politik.”
Bagaimana justru aktor-aktor Negara terlibat dalam persoalan intoleransi dan radikalisme?
“Di Indonesia, proses de-ideologisasi politik dan pragmatisme politik yang berlangsung dalam era demokratis itu seringkali juga tak menjadi obat bagi problem intoleransi. Selama ini kan asumsinya bahwa semakin pragmatis politik, semakin terjadi de-ideologisasi politik. Maka kemudian arena politik tak lagi mempersoalkan isu-isu agama. Ternyata sebaliknya. Kita tahu sebagian besar aktor-aktor Negara yang terlibat dalam pembiaran atau terlibat dalam mendorong proses-proses kebencian pada yang lain itu juga adalah aktor-aktor politik yang pragmatis dalam konteks pendekatan-pendekatan dalam politik mereka itu.”
Bagaimana pendapat Anda mengenai penanggulangan terorisme oleh Negara?
“Saya lihat Negara masih menggunakan cara-cara monolitik, hanya fokus pada masalah terorismenya saja. Tapi kemudian tidak melihat pada bagaimana mengantisipasi atau menghadapi apa yang terjadi di lingkungan sosial pendukung-pendukung dari kelompok ini yang kemudian terekspos dengan gagasan-gagasan intoleransi. Kita tak bisa memisahkan antara pelaku teror, kelompok-kelompok radikal ini dengan kekuatan-kekuatan sosial pendukungnya.”
“Disitulah kemudian menjadi penting bagaimana menciptakan desain strategi kultural untuk menghadapi persoalan ini. Sehingga tujuan politik dan ideologi politik kaum teroris ini tidak mendapatkan pendukung. Tidak berhasil untuk mendapatkan dukungan politik yang kuat di masyarakat.”
“Kalau kemudian berpusat hanya pada strategi koersif, maka pertama tidak ada pemahaman dan tak ada concern atau perhatian terhadap kelompok-kelompok yang menjadi tujuan dari ideologi tersebut. Ideologi takfiri, ideologi kebencian segala macam. Kedua, ketika kemudian dihadapkan semata pada pendekatan kekerasan, maka justru tujuan politik dari kelompok teroris atau kelompok-kelompok takfiris ini mendapatkan dukungannya, karena kemudian terbukti mereka bisa berkata, Negara koersif, kok. Negara taghut segala macam. Buktinya apa? Terjadi penangkapan, terjadi proses ini-itu. Nah, itulah kenapa penting membangun sebuah strategi yang komprehensif.”
“Ketika hanya terfokus pada pendekatan koersif, maka yang terjadi adalah kelompok takfiris ini semakin kuat. Karena kita tidak terfokus pada kondisi sosial, pendukung dari gagasan-gagasan tersebut. Dan proses bagaimana paham-paham radikal itu terinfiltrasi pada masyarakat yang lebih luas karena hanya terfokus pada tindakan satu teroris itu sendiri.”
Adakah pengaruh interkoneksi global terhadap isu radikalisme dan terorisme ini di Indonesia?
“Bahwa antara yang global dan lokal itu berhubungan, itu ada. Dan tak bisa juga dilepaskan bahwa kekuatan-kekuatan global, aliansi-aliansi global misalnya, itu juga menyebar di Indonesia. Yang menarik, bahwa dalam tingkat global kan ternyata kelompok-kelompok radikal dan ekstremis tadi, yang mereka beranggapan bahwa mereka bergerak beradasarkan sebuah basis ideologi politik yang pada awalnya mereka anggap sebagai bentuk perlawanan pada Amerika, pada kelompok-kelompok (yang dianggap) kafir, dan sebagainya, dalam tindakan-tindakan selanjutnya justru aktivitas mereka itu menguntungkan imperialisme secara lebih luas. Nah, ini yang tidak diekspos oleh banyak pihak ketika bicara soal terorisme.”
“Selama ini pendekatan yang dominan, ini kan soal radikalisme dan ekstremisme yang merupakan problem internal dalam peradaban masyarakat Islam saja. Sehingga kemudian yang muncul adalah kategorisasi Good Muslim vs Bad Muslim. Good Muslim itu adalah kaum liberal, progresif, yang bertarung dengan Bad Muslim, yaitu kelompok fanatis, fundamentalis.”
“Tapi, dalam konteks dunia makin mengglobal dan perkembangan kapitalisme, tak bisa kita melihat sebuah persoalan yang terjadi dalam konteks teror ini, hanya semata-mata problem masyarakat Islam. Ini adalah produk koneksitas ketika kemudian dalam satu sisi masyarakat Islam itu juga berhubungan dengan kekuatan-kekuatan politik yang lain. Ini adalah bagaimana proses konflik sosial yang berlangsung di masyarakat Islam juga berhubungan dnegan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik yang dominan yang bertarung di tingkat global. Yang saya kira kemungkinan yang sama juga berlangusng di tingkat Nasional dan lokal.”
“Jadi yang berlangsung itu bukan antara komunitas Islam liberal lawan fundamentalis belaka, tapi itu terkoneksi juga dengan kepentingan-kepentingan state dan kekuatan-kekuatan aliansi di sekitar state, yang sebenarnya itu hal yang biasa dalam sejarah Indonesia.”
Bisa diterangkan bagaimana kelindan dan pengaruh Negara pada radikalisme dan ekstremisme ini?
“Ya misalnya tadi, kita kehilangan kejelian memahami persoalan dalam bidang budaya dan sosial. Mereka mendapatkan dukungan yang tidak sedikit di masyarkat karena itu juga terkait dengan persoalan pengelolaan negara. Ini problem social justice.”
“Ketika problem maraknya kelompok-kelompok yang pro kebencian, itu kalau ditarik lebih jauh kan merupakan persoalan kebangsaan, persoalan bagaimana membingkai hubungan-hubungan sosial di antara orang-orang Indonesia itu sebagai ‘kita’. Imajinasi ‘kita’ ini, kalo kata Ben Anderson kan imagine community, dari Sabang-Merauke tak saling kenal tapi bisa terhubung menjadi ‘kita’. Nah, problemnya kan ketika meluruhnya ‘kita’ ini sebetulnya terkait dengan problem pengelolaan negara, karena Negara tak bisa memberikan sosial justice. Jadi ini adalah problem keadilan.”
“Negara misalnya, absen terhadap persoalan-persoalan sosial. Yang membuat masyarakat jadi frustrasi. Misalnya, ada salah seorang yang saya temui mengutarakan dia bekerja sebagai tukang AC untuk memperluas bisnisnya, dia mau meminjam uang sebesar 10 juta di bank milik Negara, tapi tidak mendapatkan kredit yang ia inginkan. Sementara di sisi lain, kita tahu bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi besar itu tidak sulit untuk mendapatkan kredit bank. Juga ada problem inequality jadi masalah. Ada 10% masyarakat di Indonesia menguasai 70% masyarakat dari pembangunan ekonomi. Ada 1% masyarakat Indonesia menguasai 50% ekonomi, sementara 23% kekayaan ekonomi itu diperebutkan oleh 90% masyarakat Indonesia. Ini sebuah problem sosial yang harus diantisipasi. Dan kita tahu bahwa dalam faktanya, komitmen Negara dalam mendorong kekuatan masyarakat kecil dan menengah itu jadi masalah.”
“Keadaan-keadaan seperti ini adalah satu contoh, dan kita bisa melihat banyak contoh soal ini yang menunjukkan Negara mengalami krisis dalam pengelolaan negara. Hal-hal yang mendasar dari tanggung jawab Negara untuk memberikan kesejahteraan ini juga harus diantisipasi oleh state, sehingga masyarakat itu tetap merasa bagian dari ‘kita’, bahwa ‘kita’ masih punya Negara yang peduli pada persoalan ‘kita’. Kalau misalnya kita kondisinya tidak sejahtera, tapi setidaknya negara tidak abai pada persoalan ‘kita’. Kalau abai, itu masyarakat berpijak pada siapa? Padahal, pemahaman tentang bangsa sebagai ‘kita’ itu bisa berjalan dan dirawat ketika Negara itu adil. Nah, ini adalah juga sebuah persoalan yang menurut saya harus diaddres oleh state.”
Cara apa yang harus kita tempuh agar bisa menuju ke arah yang lebih baik?
“Saya tak bilang ini optimis atau apa. Tapi masalah mendasar di depan kita yang harus dikerjakan adalah kekuatan dari kelompok masyarakat sendiri itu harus concern pada persoalan-persoalan sosial. Artinya tidak melihat persoalan yang dihadapi masyarakat yang kebetulan saat ini tidak kita alami, itu persoalan orang lain. Kalau kita terikat dalam satu bangsa, itu juga persoalan kita.”
“Persoalan yang dihadapi kawan-kawan Ahmadiyah, kawan-kawan Syiah, kelompok-kelompok non-Muslim, yang kemudian hak-hak sipilnya direduksi oleh kelompok-kelompok yang lain dengan pembiaran pemimpin, itu bukan persoalan orang lain, itu persoalan kita juga. Persoalan awareness kesadaran sosial tentang persoalan publik sebagai persoalan bersama itu yang harus diaddres dulu. Titik kuncinya itu di situ.”
“Nah, dari situ kita endorse, mendorong, apa yang kemudian lahir dari kesadaran masyarakat ketika masyarakat sudah bangun kesadarannya, kita bisa mendorong agar Negara bekerja untuk kebaikan publik.” (Muhammad/Yudhi)