Berita
Ketika Mayoritas Diam Mulai Bangkit Melawan
Tak ada orang yang ingin hidup dalam gangguan, ketakutan, dan ancaman. Semua orang menginginkan hidup yang aman, tenteram, dan damai. Fitrah kedamaian dan cinta ini adalah hal yang paling inheren tertanam dalam diri tiap manusia. Terlebih di bumi Nusantara yang secara antropologis masyarakatnya moderat dan cinta damai.
Bagaimana jika fitrah cinta damai ini diganggu dan dirusak? Tentu masyarakat akan bangkit.
Hal ini kita lihat jelas di masa sekarang ini, ketika serangan provokasi-provokasi permusuhan dan hasutan kebencian banyak beredar di masyarakat melalui media sosial, khotbah-khotbah, buku, spanduk dan selebaran-selebaran bernuansa kebencian, yang membuat masyarakat resah, sehingga bermunculan banyak tokoh yang bangkit menyuarakan kegelisahannya. Menginginkan Indonesia kembali damai.
Permadi Arya, dikenal di dunia maya dengan nama Ustad Abu Janda al-Bolliwudi dan berperan sebagai tokoh parodi ISIS dari Indonesia, adalah salah satunya. Lelaki dengan puluhan ribu follower dan kerap menyuarakan sikap anti adu-domba dan takfirisme ini mengisahkan kepada ABI Press, bahwa ia melakukan ini karena merasa sakit hati Islam telah dicoreng namanya oleh kelompok teroris-takfiri.
“Saya awalnya aktivis anti-teroris. Sejak tahun 2004, di forum-forum diskusi kayak Kaskus. Terorisme atas nama Islam ini kan bikin orang gebyah-uyah bahwa Islam itu agama biadab, yang dibawa oleh nabi sesat. Seolah-olah gitu,” tutur Permadi.
“Aku sayang ama Islam. Aku pikir siapa pun yang peduli ama Islam, yang bener-bener peduli, pasti sakit. Pasti gak terima. Lihat Islam dicoreng namanya kayak gini sama gerakan sekelompok orang yang mengaku Islam tapi sudah keluar dari nilai-nilai Islam.”
“Kedua, aku lihat semakin ke sini makin gak sehat dari cuman terorisme yang dilakukan secara sporadis dan terisolir, ini menjelma jadi gerakan politik global. Ya ini, gerakan penghasutan kebencian, provokasi konflik sektarian, pembenturan umat, dan semacamnya. Yang kalo dirunut-runut pelakunya sama alirannya sama, itu-itu saja. Pendananya pun itu-itu juga. Jadi ya, makin marah aku melihatnya!”
“Kan kurang ajar! Dari teroris mereka pasang-pasang bom aja itu Islam udah babak belur. Ini masih belum cukup, masih mencoba menghancurkan Islam dengan cara membenturkan kalangan internal Islam. Dan ini yang tadinya sporadis jadi gerakan global. Jadi makin terstruktur, sistematis, dan massif,” lanjut Permadi geram.
Permadi menengarai semua ini merupakan konspirasi jahat untuk membusukkan Islam. “Ideologi terorisme ini seolah-olah mau dijadikan sebagai barometer Islam. Ini maunya pembusukan Islam. Entah itu teror bom, entah propaganda ideologi takfirisme, intinya sama, pembusukan Islam. Semua yang jelek-jelak itu mau diidentikkan, diidentifikasikan sebagai jatidiri Islam,” ujar Permadi.
Melawan dengan Parodi dan Humor
Seiring waktu, dalam upayanya menyuarakan bahwa Islam bukanlah agama teroris, Permadi mengakui bahwa salah satu cara paling efektif menyampaikan pesan adalah dengan cara humor dan parodi.
Salah satu video yang melambungkan nama Ustad Abu Janda al-Bolliwudi adalah video parodinya atas tokoh ISIS dari Indonesia yang mengancam TNI, yang disambut antusias oleh masyarakat. Kali ini pun ia dengan grup Aswajalogi Band membuat video parodi bertajuk ‘Kamu Syiah’ yang mengkritik kelompok takfiri yang mudah memberi label Syiah pada orang yang tak setuju pada pendapatnya.
“Aku ingin mengulang video parodi ISIS yang dulu. Aku belajar dari hebohnya video parodi anceman ISIS itu. Aku belajar bahwa ternyata melawan radikalisme itu, ternyata kalau melawannya pake humor itu ternyata cukup efektif,” aku Permadi.
“Awalnya aku juga gak sengaja. Siapa yang tahu akan heboh begitu, bakal menasional gitu? Tapi aku lihat waktu itu karena memang orang ini udah pusing lihat teroris. Jadi kalau ada yang berani ngeledekin dan ngelecehin teroris itu, mereka itu kayak nemu satu apa… gitu. Mereka nemu kayak penyegaran. Orang sebel itu banyak sebenarnya. Cuman takut bersuara,” terang Permadi.
“Saya nih, lihat ISIS sebel, lihat teroris sebel, lihat Wahabi (takfiri) sebel. Banyak yang kayak gitu sebenernya. Tapi mereka takut. Nah, mereka itu butuh figur yang berani bersuara, berani ngelecehin orang-orang itu. Supaya mereka bisa tumpah unek-unek.”
Menurut Permadi, saat ini salah satu yang membuatnya geram adalah organisasi pengkafir ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah) yang kerjanya memprovokasi orang untuk mengkafirkan sesama Muslim. Dan tanpa malu ANNAS mencatut nama NU dan Muhammadiyah, padahal dua ormas besar ini anti takfirisme.
Permadi Arya atau Ustad Abu Janda al-Bolliwudi tidaklah sendirian, ada banyak orang yang tergerak melawan gerakan pembusukan pada Islam ini. Salah satunya Muhammad Arul dari Aliansi Nasionalis yang beberapa kali melakukan aksi menyuarakan sikap toleran dan anti adu-domba sesama anak bangsa.
“Ada yang menerimanya, tapi ada juga yang “menolak”. Kami sering dituduh menghina Islam. Padahal kami tidak menghina Islam. Yang selalu kami “hina” ya kelakuan mereka yang mengaku pengikut setia Nabi dan mengamalkan sunah Rasul tapi kelakuannya malah gak sesuai,” ujar Arul.
“Selain itu, kalo saya pribadi sih kebanyakan mengajak untuk toleransi, dikasih pemahaman tentang radikalisme Islam dan tak termakan fitnah justru ke kawan-kawan saya yang non-Muslim, seperti rekan kantor dan beberapa teman di komunitas anime,” tambah Arul.
Masyarakat Indonesia Prihatin dan Merindukan Kedamaian
Achmad Nurcholis, Ketua Divisi Pendidikan Kebhinekaan dan Perdamaian Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) saat ABI Press wawancarai menyebutkan fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang cinta damai sangat prihatin dan rindu akan kedamaian.
“Saya melihat bahwa sebetulnya masyarakat kita itu rindu terhadap kondisi sesama masyarakat itu saling berinteraksi mewujudkan kebersaman, dan mereka tak ingin ada konflik, ada kaum takfiri yang mudah sekali mengkafirkan orang, mengatakan orang lain sesat,” ujar Nurcholis.
“Jadi kalau ada poster, ada tulisan, atau status yang menurut mereka mewakili, kan langsung like, membagikan, menshare di Twitter dan yang lain. Nah, saya melihat masyarakat ada kerinduan untuk itu. Dan yang kedua sebetulnya masyarakat kita ini basisnya adalah toleran. Hanya karena mungkin entah faktor dari luar lingkungan mereka, dari luar Indonesia, yang kita sebut sebagai organisasi trans-nasional, yang kemudian mendakwahkan agamanya dengan cara-cara intoleran, itu yang kemudian mempengaruhi pola pikir mereka,” keluh Nurcholis.
Mengenai munculnya figur-figur seperti Ustad Abu Janda al-Bolliwudi ini, yang langsung disambut oleh masyarakat, Nurcholis menyebutkan bahwa mereka adalah sosok-sosok pemicu (trigger) dari mayoritas yang diam untuk bersuara, karena merasa terwakili.
“Selama ini kan mereka gak berani karena khawatir, takut dibully. Dan tak hanya takut, tapi memang kenyataannya itu, mereka diteror. Saya banyak temen-teman yang inbox atau ketemu langsung. Curhat ke saya soal itu,” tutur Nurcholis. “Nah, ketika mereka menemukan teman-teman seperti ini mereka merasa terwakili.”
“Jadi memang harus ada orang yang bisa dan berani jadi trigger. Dia bisa, katakanlah menginisiasi. Tak hanya menyuarakan dirinya sendiri, tapi juga sebetulnya ia menyuarakan kerindudan dari banyak orang.”
Gunakan Semua Cara, Lawan Intoleransi dan Takfirisme
Menurut Nurcholis, untuk melawan paham intoleransi ini, semua cara, mulai dari cara ilmiah yang serius hingga parodi yang mengocok perut harus digunakan semuanya. Karena semua memiliki segmennya sendiri-sendiri.
“Tergantung segmen yang kita bidik. Saya lebih setuju, semua pake cara sendiri-sendiri. Karena pasti masing-masing punya segmen. Misalkan temen-temen yang bisa buat video, bikin video. Yang bisa membuat poster untuk diposting saya kira punya segmen juga. Segmen di sini, selain menikmati audio-visual, juga teks. Jadi, bagaiman setiap orang sesuai dengan skill-nya, sesuai dengan kebisaan yang bisa dia lakukan, ya lakukan saja. Yang penting kan tujuan kita sama,” ujar Nurcholis. “Kita dorong itu semua. Dan harus massif.”
“Yang sangat menarik sebetulnya bikin meme, sangat mudah. Dan jangan salah, itu efeknya luar biasa. Saya melihat itu. Tiap kali saya posting bentuk meme, bukan buatan saya, itu selalu banyak yang like dan yang bagikan ulang. Lebih nendang kira-kira gitu, ketimbang hanya teks,” ujar Nurcholis.
Untuk melawan derasnya propaganda, provokasi, dan hasutan kebencian ini, Nurchlis menyebutkan harus dilawan secara terus-menerus dengan menyebarkan pesan-pesan perdamaian.
“Saya kira, kalau semua orang sesuai kemampuannya masing-masing, tapi rutin, menyebarkan pesan perdamaian ini, lambat-laun akan mewarnai pola pikir masyarakat secara umum. Karena selama ini mayoritas yang diam tak melakukan apa pun. Mereka hanya nggrundel saja. Tak melakukan apa pun meski sebetulnya dia protes tapi tak ia sampaikan. Jadi ini yang bikin seolah-olah warnanya lebih dominan yang sebelah sana itu, yang intoleran itu.”
“Tapi kalau semua orang menyuarakan pesan perdamaian, pada saatnya itu akan kembali seperti saat negeri ini berdiri. Kan basisnya masyarakat kita ini masyarakat toleran. Bahkan sebelum Indonesia ini terbentuk. Pada masa Majapahti kan toleransi sudah tertanam dalam diri masyarakat kita. Itu bisa kita lihat pada agama-agama lokal agama Nusantara itu yang sangat toleran dan moderat.”
Jangan Diam, Terus Suarakan Perdamaian!
Dalam ayat suci telah ditegaskan, bahwa ketika kebaikan disebarkan, keburukan akan hilang dengan sendirinya. Semangat menyebarkan kebaikan dan perdamaian inilah yang harus terus kita suarakan, demi menjaga agama dan negeri yang kita cintai ini.
“Jangan diam. Kita harus bersuara. Seperti yang saya tuliskan dan menjadi motto di page Abu Janda kan itu, jangan diam, waktunya kita bergerak, buka suara. Ayo rapatkan barisan. Bersatu Muslim dan non- Muslim, tingkatkan kewaspadaan atas paham-paham yang yang mengatasnamakan Islam tapi menghasut, menyebar kebencian dan permusuhan. Selalu tebar pesan damai. Tebarkan sapaan cinta. Saling mengingatkan di lingkungan masing-masing. Karena kebaikan itu menular,” pungkas Permadi Arya. (Muhammad/Yudhi)