Berita
Kesadaran Hukum Cegah Kriminalisasi
“Sebagai kaum terdidik, kita semua merasa terpanggil bagaimana mendorong rakyat memiliki kesadaran hukum yang tinggi, sehingga hukum bisa menjadi budaya.”
Quote yang disampaikan almarhum Adnan Buyung Nasution, salah seorang pakar hukum kawakan Indonesia itu menunjukkan bahwa kesadaran hukum yang dimiliki oleh rakyat Indonesia masih sangat kurang hingga melahirkan berbagai masalah, salah satunya tentang kriminalisasi.
Hal ini terbukti saat sejumlah korban kriminalisasi menggelar mimbar bebas testimoni untuk menceritakan apa yang mereka alami dalam acara “Gelar Perkara: Pemidanaan yang Dipaksakan” di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (17/11).
Kesaksian
Terdapat 6 korban kriminalisasi yang hadir dan memberikan testimoni pada siang itu, di antaranya adalah Ismail, pekerja out sourcing di sebuah ATM yang dituduh mencuri uang 200 juta. Dia mengaku disiksa saat dalam proses penyidikan.
Ada pula Sulthoni, salah satu buruh yang dikriminalisasi dan lebih dari satu kali ditersangkakan oleh pihak aparat. Korban lain adalah Apung Widadi seorang Aktivis Save Our Soccer (SOS) yang karena kekritisannya, diajukan ke pengadilan karena statusnya di sebuah group Facebook dengan tuduhan melanggar UU ITE.
Korban lain yang melakukan testimoni adalah Maulana. Sopir taksi yang masih dalam perawatan karena kecanduan obat-obatan itu, kemudian ditangkap oleh pihak kepolisian dan dianggap sebagai seorang pemakai dan pengedar obat terlarang.
Testimoni terakhir dari beberapa anggota keluarga para pelaku kasus tindak asusila di Jakarta Internasional School (JIS) yang menurut pengakuan mereka, salah satu anggota keluarganya dipidana tanpa melalui prosedur yang jelas dan transparan.
Keputusan Hakim
Hadir sebagai hakim ahli dalam acara Gelar Perkara tersebut adalah Ganjar Laksamana Bonda, Pakar Hukum Pidana UI dan Febionesta Mayong, MH, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Dari seluruh kasus yang disampaikan dalam forum tersebut, menurut Mayong teridentifikasi adanya motif kriminalisasi yang terbagi menjadi dua motif. Pertama, motif pembungkaman dan kedua, motif Skip Coating yaitu menimpakan kesalahan kepada orang yang bukan semestinya.
“Contohnya adalah dalam kasus JIS yang kelihatan sekali nuansa untuk mengejar pelakunya, siapapun dia,” jelas Mayong. “Yang penting harus ada pelaku yang ditangkap.”
Semata-mata hanya kejar target untuk secepat-cepatnya mendapatkan tersangka dan menurut Mayong motif Skip Coating untuk kejar target juga tampak pada kasus Maulana dalam kasus obat-obatan terlarang. Sementara penyiksaan adalah modus yang sangat umum dialami oleh sebagian besar mereka yang ditersangkakan.
Sementara itu Ganjar memberikan beberapa catatan dalam kesimpulan akhir dalam forum tersebut. Pertama, menurut Ganjar, kriminalisasi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dilakukan dimana saja.
“Tak hanya bicara Polisi atau Jaksa tapi juga penyidik KPK atau penyidik sipil lainnya,” terang Ganjar.
Kemudian proses hukum acara menjadi sesuatu yang sangat penting dalam penegakan hukum, sebab proses hukum acara bisa menunjukkan kepada kita apakah dasar proses hukum tersebut benar atau tidak. Termasuk juga menjadi alat ukur kebenaran substansinya.
Selanjutnya proses tidak mengandung kesalahan sekecil apapun, sebab segala sesuatu telah diatur. Kalau mau menangkap pun ada prosedurnya. Begitu juga dalam menetapkan tersangka, melakukan penangkapan dan meminta keterangan, ada syarat dan prosedurnya.
“Apa sulitnya memenuhi prosedur?” tanya Ganjar.
Dugaan kriminalisasi akan terasa sangat kuat dalam hal proses yang cepat, tertutup, apalagi dilengkapi dengan kekerasan, penyalahgunaan kewenangan oleh aparat dan informasi yang sangat minim.
“Potensi kriminalisasi itu bisa kita lihat pada proses-proses yang seperti itu,” jelas Ganjar.
Kesadaran Hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, baik aparat maupun masyarakat biasa merupakan salah satu kunci untuk menghindari terjadinya kriminalisasi hukum. Jika kesadaran hukum telah terbangun maka otomatis celah untuk melakukan kriminalisasi akan tertutup. (Lutfi/Yudhi)