Berita
Kerja Husain, Kerja Zainab, Kerja Pahlawan
“Dek, apa kamu punya baju tentara? Kalo ada aku pinjem buat anak-anak karnaval 10 November”, tanya Tante beberapa hari lalu sebelum pulang kembali ke kampung halaman. Saya berpikir sejenak, mencari alternatif karena memang tidak punya baju seperti yang diminta. Lalu saya usulkan agar memakai saja baju putih berselempangkan sarung untuk mencerminkan petani di masa perjuangan atau mengenakan kopiah dan berpakaian rapi seperti Bung Karno.
Namun usulan tersebut diurungkan sebab pakaian yang disandang saat berkarnaval haruslah mencerminkan pahlawan kemerdekaan sungguhan: berpakaian doreng layaknya tentara.
Baiklah, saya dapat memakluminya meski di sisi lain agak miris. Memang mindset yang tertanam sejak kecil dalam benak sebagian dari kita ketika mendengar kata “pahlawan” adalah sosok pria gagah, memegang senjata api maupun tajam dengan tampilan army-look layaknya Bung Tomo atau menunggang kuda bak sang ratu adil seperti gambaran Pangeran Diponegoro. Konstruksi semacam ini dipertegas oleh negara melalui berbagai medium seperti monumen yang menggambarkan heroisme tentara, buku teks sekolah, dan film kolosal seperti serial Merah Putih.
Benar adanya bila tentara dan laskar pejuang kemerdekaan yang memanggul senjata melawan penjajah memiliki andil besar dalam mendirikan Republik Indonesia. Tetapi, tidak boleh dilupakan bahwa tidak hanya pejuang di garis depan palagan pertempuran saja yang pantas dicitrakan sebagai pahlawan.
Beratus kilometer di garis belakang, kita mendapati sebuah kelompok yang mengekspresikan perjuangan melalui guratan pena sebagai senjata. Kelompok ini lazim disebut sebagai kelas intelektual pro-kemerdekaan yang tidak hanya terdiri atas kaum pribumi tetapi juga golongan Indo-Eropa, Arab, dan Tionghoa. Lewat reportase mengenai kondisi riil masyarakat yang tertekan akibat siksaan rezim kolonial seperti Douwes Dekker dalam Max Havelaar, atau seruan tertulis Sneevliet di surat kabar De Indier untuk bangkit melawan penjajah, kelas intelektual ini memainkan peran dalam menyadarkan kemandirian politik rakyat Indonesia.
Bila dibuat analogi, dalam sebuah organisasi mahasiswa kelompok intelektual diibaratkan adalah tim konseptor yang bertugas mempersiapkan cetak biru pembangunan negara-bangsa Indonesia, merumuskan ideologi serta bentuk metode perjuangan. Sedangkan tentara dan laskar di front terdepan adalah tim pelaksana lapangan yang bertugas merealisasikan konsep yang telah dirancang sedemikian rupa.
Tentu saja, ini meniscayakan bahwa baik intelektual maupun pejuang di garis depan sama-sama berperan penting. Tanpa kehadiran intelektual maka perlawanan bersenjata hanya akan bersifat sporadis, tidak berjangka panjang. Pula jika intelektual hadir minus adanya pejuang di lapangan maka berbagai ide megah tadi tak lebih nilainya setara dengan macan kertas.
Menggunakan istilah Ali Syariati, sejatinya para intelektual di masa revolusi fisik adalah penerus kepahlawanan Zainab yang berjuang dengan lisan maupun tulisan untuk menggoyang kuasa penindas. Sedangkan tentara beserta laskar rakyat adalah para penempuh kafilah Imam Husain yang siap menegakkan kemuliaan bangsa serta agama dengan perlawanan rakyat semesta. Kerja Husain, kerja Zainab. Sama-sama mulia dan layak dicitrakan sebagai pahlawan.
Tetapi citra bahwa pahlawan adalah sosok pemanggul senjata yang ditanamkan oleh negara rupanya masih cukup kuat karena peran kelompok intelektual dipandang sebelah mata. Masih ada anggapan bahwa mereka yang hanya duduk-duduk saja di belakang meja, menulis, dan enggan berjibaku satu lawan satu di medan tempur, kurang pantas mendapat imej “pahlawan.”
Pendek kata, menjadi intelektual dinilai tidak gagah. Bahkan mengenakan busana yang merepresentasikan kalangan cerdik cendekia di masa kemerdekaan dinilai “tidak seperti pahlawan sungguhan.” Ha! (Fikri/Yudhi)