Berita
Kepemimpinan Imam Ali as dan Keturunannya dalam Tinjauan Hadis dan Sunnah [5/6]
Sebelumnya Kepemimpinan Imam Ali as dan Sebelas Keturunannya [4/6]
Dalam buku-buku referensi hadis, baik di kalangan Ahlussunnah maupun Syiah, terdapat bayak riwayat dari Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa Ali as adalah imam dan khalifah setelah beliau. Riwayat-riwayat ini mengindikasikan bahwa semenjak diutus, Nabi SAW telah diperintahkan untuk menyampaikan hal penting ini kepada muslimin, dan beliau juga telah menyampaikannya di berbagai kesempatan. Kami hanya akan membawakan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa Al-Ghadir secara terperinci, dan selanjutnya kami akan membawakan riwayat-riwayat lain secara global.
Hadis al-Ghadir
Hadis Al-Ghadir berkaitan dengan sebuah momen yang terjadi di penghujung kehidupan nabi SAW. Peristiwa ini terjadi pada waktu beliau kembali dari menunaikan haji Wadâ’ yang beliau laksanakan. Peristiwa akbar ini terjadi di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum. Tempat ini adalah tempat berpisahnya para jamaah haji dari Mesir, Irak, dan para jamaah haji yang berangkat dari kota Madinah.
Pada tahun kesepuluh Hijriyah, Nabi SAW bersama sekelompok besar dari sahabat pergi ke kota Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah usai menunaikan ibadah tersebut, beliau memberi titah kepada para sahabat untuk kembali ke kota Madinah. Ketika para rombongan sampai di kawasan Râbigh,sekitar tiga mil dari Juhfah, Jibril datang dan turun menjumpai Rasul di Ghadir Khum dengan menyampaikan misi dan wahyu dari Tuhan: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukannya, niscaya kamu tidak menyampaikan risalah-Nya, dan (ketahuilah) Allah akan menjagamu dari manusia.” (Al-Maidah: 67)
Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk berhenti, dan menyuruh mereka yang telah berlalu ke depan untuk kembali, serta beliau memerintahkan untuk menunggu para rombongan yang masih tertinggal di belakang. Saat itu adalah waktu Zuhur. Hawa sangat panas sekali, sebuah mimbar pun didirikan. Salat Zuhur didirikan secara berjamaah. Kemudian setelah para sahabat berkumpul, beliau berdiri di atas mimbar setinggi 4 unta, dan dengan suara lantang beliau pun berpidato,
”Segala puji bagi Allah, dari-Nya kita minta pertolongan, dan kepada-Nya kita beriman dan berserah diri, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan amal perbuatan kita. Tuhan yang tiada pembimbing dan pemberi hidayah selain-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh-Nya, tidak akan ada seorangpun yang sanggup menyesatkannya. Aku bersaksi bahwa tiada yang layak disembah selain-Nya, dan Muhammad adalah utusan dan Hamba-Nya. Wahai Manusia, sudah dekat rasanya aku akan memenuhi panggilan-Nya, dan akan meninggalkan kalian. Aku akan dimintai pertanggungjawaban, kalian pun juga demikian.
Apakah yang kalian pikirkan tentang diriku?”
“Kami bersaksi bahwa anda telah menjalankan dan telah berupaya untuk menyampaikan misi yang telah anda emban. Semoga Allah SWT memberikan pahala kepadamu.”
“Apakah kalian bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan Muhammad hamba sekaligus nabi-Nya, surga, neraka, dan kehidupan abadi di dunia lain adalah benar dan pasti?”
“Iya, kami bersaksi”.
“Wahai manusia, aku akan menitipkan dua hal berharga pada kalian supaya kalian beramal sesuai dengan dua hal tersebut”.
Pada saat itu berdirilah seorang dari mereka seraya berkata, ”Apa kedua hal tersebut?”
“Pertama kitab suci Allah di mana satu sisinya berada di tangan-Nya, sedang yang lain berada di tangan kalian, sedang hal lainnya yang akan aku titipkan pada kalian adalah itrah dan Ahlulbaitku. Tuhan telah memberitahukan kepadaku bahwa kedua hal tadi tidak akan berpisah sampai kapanpun.
Wahai manusia, janganlah kalian mendahului Alquran dan Itrahku dan sekali-kali janganlah kalian tinggalkan keduanya, karena kalian akan binasa dan celaka”.
Tak lama Kemudian nabi mengangkat tangan Ali as setinggi-tingginya sehingga tampaklah kulit ketiak kedua pribadi agung itu, dan beliau memperkenalkan Imam Ali kepada khalayak seraya berkata, ”Wahai manusia, siapa gerangan yang lebih layak dan lebih berhak terhadap kaum Mukminin dari pada mereka sendiri?”
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”.
“Sesungguhnya Allah maulâ-ku dan aku adalah maulâ bagi mukminin, dan aku lebih berhak atas diri mereka ketimbang mereka. Maka barangsiapa yang maulâ-nya adalah diriku, maka ketahuilah bahwa Ali adalah maulâ-nya”.
Sesuai dengan penuturan Ahmad bin Hanbal, nabi mengulang ungkapan ini sebanyak empat kali. Kemudian beliau melanjutkan dengan doa, “Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya, kasihanilah mereka yang mengasihinya, murkailah mereka yang membuatnya murka, tolonglah mereka yang menolongnya, hinakanlah mereka yang menghina dan merendahkannya, dan jadikanlah ia sebagai sendi dan poros (mihwar) kebenaran”.
Koreksi Sanad Hadis
Hadis Al-Ghadir adalah salah satu hadis yang sangat populer, baik dalam Syiah maupun Ahlussunnah. Sebagian ahli hadis mengklaim bahwa hadis ini adalah mutawâtir. Selain para ulama Syiah, sekelompok ulama Ahlussunnah pun secara independen membahas dan mengenalisanya, seperti: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari (wafat 310 H.), Abu Abbas Ahmad bin Ahmad bin Said Hamadani (wafat 333 H), dan Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Salim Tamimi Baghdadi (wafat 355 H). Dan masih banyak lagi.
Untuk lebih memperjelas sejauh mana perhatian tâbi’în dan tâbi’ut-tâbi’în serta para ilmuwan dan fuqaha terhadap penukilan hadis ini dan kesahihan Sanad-Nya, kami akan bawakan secara singkat sejumlah perawi hadis ini dari Ahlussunnah di setiap abad. Untuk membahasnya lebih detail, bisa dirujuk kepada kitab-kitab yang memuat hal ini secara panjang lebar.
Para penukil hadis ini adalah:
- 110 sahabat
- 84 tâbi’în.
- ulama abad kedua.
- 92 ulama abad ketiga.
- 43 ulama abad keempat
- 24 ulama abad kelima.
- 20 ulama abad keenam.
- 20 ulama abad ketujuh.
- 19 ulama abad kedelapan.
- 16 ulama abad kesembilan.
- 14 ulama abad kesepuluh.
- 12 ulama abad kese belas.
- 13 ulama abad kedua belas.
- 12 ulama abad keiga belas.
- 19 ulama abad keempat belas.
Para muhaddis (ahli hadis) Ahlussunnah yang menukil hadis ini di antaranya adalah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibânî dengan 40 sanad, Ibn hajar al-‘Asqallânî dengan 25 sanad, al-Jazri Syafi’î dengan 80 sanad, Abu Said as-Sajistani dengan 120 sanad, Amir Muhammad al-Yamani dengan 40 sanad, Nasai dengan 250 sanad, Abu Ya’la al-Hamadani dengan 100 sanad, Abul ‘Irfân Haban dengan 30 sanad.
Dengan demikian, peristiwa Ghadir Khum dan pelantikan yang dilakukan oleh nabi SAWW, merupakan salah satu dari hal-hal yang pasti dalam sejarah, sehingga siapapun yang mengingkarinya, ia tidak akan bisa menerima kejadian dan peristiwa-peristiwa historis lainnya.
Arti Hadis
Poin utama dari hadis ini adalah penggalan riwayat yang berbunyi “man kuntu maulâh fa ‘Aliyun maulâh”.
Dengan memperhatikan berbagai konteks yang ada, maksud dari kata maulâ dalam hadis ini berartiaulâ (lebih utama). Pada akhirnya, hadis ini mengindikasikan bahwa Ali as adalah wali setelah Nabi dan penanggung jawab kaum muslimin, dan ia lebih utama dari diri mereka. Konteks-konteks (qarînah) tersebut adalah:
- Di pembukaan hadis Nabi SAW bersabda, ”Tidakkah aku terhadap diri kalian lebih utama dari diri kalian sendiri?” Ungkapan setelahnya yang mengatakan man kuntu maulâhu, berdasarkan pada ungkapan ini. Dengan demikian, keserasian keduanya memberikan pengertian bahwa maulâ di sini berarti awlâ dalam mengurusi urusan muslimin (tasharruf).
- Pada akhir hadis Rasul bersabda, “Allôhumma wâli man wâlâh”. Doa ini merupakan penjelas kedudukan Imam Ali as, dan hal ini dapat bermakna sebagaimana mestinya jika wali itu berarti kepemimpinan dan wilayah.
- Rasulullah SAW meminta penyaksian dari khalayak, dan ungkapan man kuntu … dalam kontek penyaksian terhadap ke-Esaan Tuhan, dan kenabian Rasul. Sehingga nilai hal tersebut (kewalian Ali as) dapat dipahami dari konteks tadi (penyaksian dengan ke-Esaan Allah dan kenabian Rasul).
- Setelah selesai dari sabdanya dan sebelum khalayak berpencar, Jibril datang dengan membawa wahyu: “Hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu…” dan pada saat itu Rasulullah bersabda, ”Maha Besar Allah atas penyempurnaan agama dan nikmat. Ia telah ridha dengan misiku dan kepemimpinan Ali as setelahku.” Atas dasar ini, apakah ada penafsiran lain selain imamah dan kepemimpinan Ali as dari penyempurnaan agama dan nikmat itu?
Selain konteks-konteks yang telah kami sebutkan tadi, masih terdapat konteks-konteks lain yang mengindikasikan keagungan misi yang harus disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu. Untuk lebih lengkapnya, dapat dirujuk dalam kitab Al- Ghadîr, 1: 370-383.
Sekilas Tentang Hadis-Hadis Yang Lain
- Ketika ayat indzâr turun, nabi meminta Abu Thalib untuk menyiapkan makanan, dan mengundang semua anak keturunan Abdul Muthalib. Pada waktu itu beliau berkata, “Siapakah dari kalian yang sudi menjadi partnerku dan membantuku, niscaya ia akan menjadi saudara, khalifah, dan washi setelah aku?”Pada waktu itu tidak ada satu orang pun yang menjawab panggilan dan seruan nabi selain Ali as, beliau berkata, “Aku siap membaiat dan menolongmu”. Kemudian Nabi berkata, “Ia adalah saudaraku, washî, khalifah dan pewaris sepeninggalku. Maka dengarkanlah dan patuhilah ucapannya!”
- Ketika Rasul berhijrah ke Madinah, beliau mengikat tali persaudaraan di antara para sahabat kecuali Ali as, Ali as berkata, ”Wahai Rasulullah, Anda telah mengikat persaudaraan di antara para sahabat, bagaimana dengan diriku?” Beliau berkata, “Apakah kamu tidak rela untuk menjadi saudaraku dan khalifah sepeninggalku?
- Dalam riwayat yang tidak sedikit jumlahnya Rasulullah meminta dari para sahabat untuk memanggil Ali as dengan gelar Amirul Mukminin. Kemudian beliau bersabda, “Engkau adalah penghulu kaum Muslim, imam muttaqin dan pemimpin orang-orang suci di surga”.Beliau juga bersabda, “Ia adalah wali setiap Mukmin laki-laki dan wanita”. Hadis ini diriwayatkan oleh kedua kelompok baik Syiah maupun Ahlussunnah, dan kompilasi dari keduanya mencapai pada batas mutawâtir.
- Berdasarkan penukilan ulama Syiah dan Ahlussunnah secara mutawatir Rasulullah bersabda kepada Imam Ali, “Posisi dan kedudukanmu di sisiku seperti posisi dan kedudukan Harun di sisi Musa as”. Artinya, setiap hal yang dimiliki oleh Harun dari Musa as, juga dimiliki oleh Ali as dari Rasulullah. Dan hal terpenting dari semua itu adalah khilafah dan kewashiaan Harun dari Musa as.
Imamah Para Imam yang Lain
Keimamahan para imam yang lain dengan berbagai ungkapan dan penjelasan telah disampaikan pula oleh Rasul SAW. Riwayat-riwayat yang bertalian dengan hal ini dapat kita kategorikan dalam 6 kategori:
- Kategori pertama adalah riwayat-riwayat yang menyinggung Ahlulbait, Itrah, dzurriyah, dan dzawil qurbâ. Begitu juga telah dijelaskan ciri-ciri umum dan universal para imam yang berhak, dan keberlangsungannya dari keturunan Az-Zahra as. Riwayat-riwayat yang memuat masalah tersebut sangat banyak kita dapati dalam kitab-kitab Shahîh dan Jâmi’ Ahlussunnah. Riwayat tersebut secara luas dan panjang lebar telah termuat dan terkumpul dalam kitab Abaqâtul Anwâr, al-Ghadîr, al-Murâja’ât, dan Ihqâqul Haqq.
- Kelompok riwayat yang menjelaskan peralihan kepemimpinan (imâmah) dari imam Ali as kepada Imam Hasan as dan dari beliau kepada Imam Husain as. Sebagian dari riwayat-riwayat tersebut telah dimuat dalam kitab Ihqâqul Haqq, jilid 19.
- Kelompok riwayat yang menyebutkan jumlah imam sebanyak 12 orang dengan tanpa penyebutan nama. Riwayat ini mencapai 130 riwayat. Dan sekitar 40 riwayat yang menyebutkan bahwa khalifah dan pengganti setelah nabi SAW sejumlah Nuqaba nabi Musa as.
- Kurang lebih 91 riwayat menyebutkan jumlah imam dengan membawakan nama imam pertama dan terakhir. Dan sejumlah 94 riwayat yang hanya menyebutkan nama imam yang terakhir.
- Sekitar 139 hadis yang menyebutkan bahwa imam berjumlah 12 orang, dan secara gamblang riwayat-riwayat ini mengatakan bahwa 9 orang dari mereka adalah anak keturunan Imam Husain as dan sekitar 107 dari riwayat tadi menyebutkan nama imam yang terakhir.
- Sekitar 50 hadis menyebutkan nama-nama imam secara lengkap dari awal sampai akhir. Sebagai contoh, Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika ayat 55 dari surah an-Nisâ` turun “Taatilah Allah, dan taatilah Rasul, dan para pemimpin dari kalian”, aku bertanya pada Rasul SAW, “Kami telah mengetahui Tuhan dan Rasul-Nya, namaun Ulil Amr yang wajib kita taati tersebut belum kami ketahui, siapakah gerangan mereka itu? Beliau berkata, “Mereka adalah pengganti-penggantiku, para imam dan pemimpin sepeninggalku; yang pertama Ali, kemudian secara berurutan Hasan putra Ali, Husain putra Ali, Ali putra Husain, Muhammad putra Ali yang dalam Taurat dikenal dengan julukan Bâqirul ‘Ulûm; kamu pada suatu saat akan berjumpa dengannya, dan kapanpun kau menjumpainya, sampaikanlah salamku pada-Nya; kemudian setelahnya secara urut Ja’far putra Muhammad, Musa putra Ja’far, Ali putra Musa, Muhammad putra Ali, Ali putra Muhammad, Hasan putra Ali, dan Kemudian putranya yang nama dan panggilannya sama dengan nama dan panggilanku. Tuhan akan menjadikannya pemimpin bagi dunia, dan ia akan ghaib dari pandangan lama sekali. Sampai suatu saat di mana hanya ada orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh, yang teruji dan mendalam akan keyakinan terhadap kepemimpinannya”.
Hadis-hadis Ahlussunnah Berkenaan dengan Imâmah 12 Orang Imam
Tepat sekali kalau pada kajian ini kita bawakan riwayat-riwayat tentang keimâmahan para imam 12 yang termuat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Riwayat- riwayat tersebut di antaranya:
- Bukhari menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia berkata, ”Aku mendengar Rasul berkata, “Setelahku 12 orang pemimpin akan datang.” Saat itu beliau melanjutkan ucapannya yang tak terdengar olehku. Kemudian ayahku berkata bahwa keseluruhan imam tersebut semuanya dari bangsa Quraisy.”
- Muslin juga menukil dari Jabir bin Samurah bahwa ia pernah berkata, “Aku mendengar Rasul SAW berkata, ‘Islam akan memiliki pemimpin sampai 12 orang’. Kemudian beliau bersabda yang tak bisa kupahami. Aku bertanya pada ayahku tentang apa yang tidak aku pahami itu. Ia berkata, “Beliau bersabda bahwa semuanya berasal dari kaum Quraisy.”
- Muslim menukil dari Jabir bahwa ia (Jabir) berkata, ”Aku dan ayahku berjalan bersama Rasul SAW saat itu beliau berkata, “Agama ini akan memiliki 12 pemimpin, yang kesemuanya dari bangsa Quraisy”.
- Muslim juga menukil dari Jabir, “Aku mendengar Rasul berkata, Agama Islam akan langgeng sampai hari Kiamat nanti, sampai dua belas orang khalifah memerintah yang kesemuanya dari Quraisy”.
Ringkasan
Alquran sama sekali tidak menyebut nama seorang imam pun. Bisa jadi hal ini sebagai sebuah bentuk penjagaan Alquran dari tahrif. Akan tetapi, secara global alquran telah menyinggung kepemimpinan Imam Ali as, yang telah dijelaskan langsung oleh Rasul SAW, di mana tidak ada kesamaran dalam hal ini.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang tak sedikit jumlahnya, baik dari kalangan Syiah maupun Ahlussunnah, ayat 55 dari surah al-Maidah turun berkenaan dengan Imam Ali as.
Arti asli dari kata wali adalah kedekatan dua benda sehingga tidak terdapat jarak di antara keduanya. Kata ini digunakan dalam masalah persahabatan, pertolongan, penanggung jawaban sebuah permasalahan.
Kedekatan terbagi pada dua bagian: material dan spiritual, dan jelas bahwa arti dan maksud dari ayat ke surah al-Maidah itu mengarah pada arti kedua, yaitu bersifat spiritual. Konsekuensi dari kedekatan spiritual adalah setiap wali menjadi wakil dari setiap permasalahan mawallâ ‘alaih yang bisa diwakilkan.
Pada awal pembahasan telah disinggung mengenai wilâyah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini merupakan bukti lain yang menetapkan bahwa arti wali yang diinginkan di sini adalah arti aslinya yang berkonsekuensi interfensi dalam masalah masyarakat dan prioritas dalam jiwa, harta dan kehormatan mereka.
Mayoritas ulama Ahlussunnah menerima bahwa ayat wilâyah turun berkenaan dengan imam Ali as. Namun, mereka berkeyakinan maksud dari kata wali dalam ayat ini adalah teman, bukan penanggung jawab dan pemilik ikhtiar. Untuk menyangkal interpretasi semacam ini kita dapat mengatakan bahwa jika memang demikian maksudnya, maka akan memberikan konsekuensi pelarangan persahabatan dan pertemanan dengan selain Allah SWT, Rasul SAW dan Imam Ali as.
Peristiwa Ghadir Khum merupakan kisah mutawatir, baik dari kalangan Syiah maupun Ahlussunnah. Beliau bersabda di hadapan khalayak, “Sesungguhnya Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula kaum Mukminin. Akupun lebih berhak terhadap kaum Mukminin ketimabang diri mereka sendiri. Maka barangsiapa aku maula baginya, maka Ali as adalah maula baginya juga.
Dalam peristiwa Ghadîr Khum terdapat berbagai konteks dan bukti-bukti yang menetapkan bahwa maksud dari maula di sini adalah yang lebih layak dan utama. Artinya, Ali as adalah orang yang lebih berhak terhadap kaum muslimin dari pada diri mereka sendiri. Salah satu dari bukti-bukti tersebut adalah bahwa sebelumnya beliau berkata, Tidakkah aku lebih berhak terhadap jiwa kalian dari kalian sendiri? Juga setelah menyampaikan semua pesan, beliau berdo’a akan hak Ali as, dan indikator keagungan beliau; dan peletakan ungkapan man kuntu maulahu … dalam kontek penyaksian terhadap keesaan Tuhan dan risalah Rasul SAW, dan turun-Nya Jibril selepas khutbah beliau dengan membawa ayat ikmâlud-dîn.
Bersambung….