Artikel
Kepemimpinan dalam Islam
Secara rasional setiap komunitas membutuhkan seorang pemimpin. Karena sebagai makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk mencapai hubungan yang harmonis di antara anggota masyarakat, maka diperlukan seorang pemimpinan yang mengatur dan menata interaksi sosial tersebut.
Akal sulit menerima apabila ada sekelompok masyarakat hidup tanpa seorang pemimpin. “Nabi Muhammad saw berpesan, apabila kalian bertiga atau lebih dalam suatu perjalanan, maka angkatlah salah seorang di antara kalian sebagai pemimpinnya.”
Ini menunjukkan signifikasi seorang pemimpin dalam masyarakat.
Secara normatif, al-Qur’an menggunakan tiga term yang menunjukkan makna kepemimpinan.
1. Khilafah
“Khilāfah” adalah sebuah sistem kepemimpinan yang pernah dirumuskan dan diaplikasikan pada masa islam klasik. Para ulama masa lalu telah mencoba memahami dan memformulasikan konsep khilafah sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an tentang kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan berbangsa.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah/2: 30)
Pertanyaan malaikat bukan protes atau kritik kepada Allah Ta’ala tetapi keinginan mereka untuk menjadi khalifah karena mereka telah bertasbih dan menyucikan-Nya. Permohonan ini juga menjadi isyarat bahwa khilafah itu bukan sistem politik dunia tetapi sistem universal yang berlaku dunia dan akhirat hingga malaikat berhasrat juga untuk menjadi khalifah. Namun, Allah Ta’ala menjawab bahwa pengetahuan malaikat tentang itu tidak cukup hingga Allah Ta’ala menegaskan bahwa Dia Maha Tahu dari apa yang diketahui oleh malaikat. Dari sini dapat dipahami bahwa makna khilafah bersifat universal.
2. Wilayah
“Wilayah” artinya kepemimpinan. Orang yang memimpin disebut wali. Secara umum pemimpin umat adalah Allah Ta’ala, Rasulullah saw dan orang-orang beriman.
Allah Ta’ala berfirman.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. al Mā’idah/5: 55).
Baca juga: “Sebuah Renungan” di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan
Para ulama berbeda pendapat tentang makna wali. Sebagian berpendapat bahwa makna wali adalah “teman dekat.” Sebagian yang lain berpendapat wali artinya “penolong” dan sebagian ulama mengatakan wali adalah “pemimpimpin.”
Dalam terminologi keindonesiaan, kata wali bermakna pemimpin, seperti kata wali kota artinya pemimpin kota bukan penolong kota dan bukan pula teman kota.
Allah Ta’ ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۚ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah ?” (QS. al-Nisā’/4: 144)
Ayat ini menjelaskan larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin bukan larangan berteman dengan orang kafir.
3. Imamah
“Imamah” adalah sistem kepemimpinan dan orang yang memimpin disebut imam. Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat umum, baik kepemimpinan negara atau kepemimpinan “ibadah mahdah” seperti shalat. Pemimpin dalam ruang lingkup orang-orang yang bertakwa adalah “imām lil muttaqīn” atau pemimpin bagi bagi orang-orang yang bertakwa.
Pemimpin orang yang beriman disebut “imām lil mukminin” atau pemimpin orang beriman dan pemimpin manusia disebut “imām lil al-nās” atau pemimpin seluruh manusia tanpa membedakan agama, suku, daerah dan sebagainya. Kepemimpinan ketiga inilah yang pernah “eksis” pada masa Rasulallah saw.
Allah Ta’ala berfirman
وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata, Dan saya mohon juga dari keturunanku. Allah berfirman, Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang yang zalim.” (QS. al-Baqarah/2: 124)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus adil dan orang-orang zalim tidak boleh menjadi pemimpin. Nabi Ibrahim adalah hamba Allah, setelah melalui proses pendekatan diri kepada Allah, hingga naik menjadi kekasih Allah atau “khalilullāh.” Setelah menjadi “khalilullāh” naik lagi menjadi rasulallah dan saat beliau menjadi Rasulallah saw, Allah Ta’ala mengangkatnya menjadi “imam” bagi seluruh manusia. Saat Nabi Ibrahim berharap agar semua keturunannya menjadi imam, Allah Ta’ala menjawab bahwa kepemimpinan tidak akan jatuh ke tangan orang-orang yang zalim.
Syarat pemimpin
Pemimpin adalah orang yang paling berkualitas di antara anggota komunitas. Allah Ta’ala Maha Tahu siapa di antara umatnya yang paling berkualitas hingga diangkat menjadi nabi dan rasul. Nabi dan rasul adalah “al-musthafā” atau orang pilihan dan yang memilih dan mengangkatnya adalah Allah Ta’ala.
Baca juga: Agama dan Cinta
Pemimpin yang bukan nabi dan rasul dipilih dan diangkat oleh orang-orang di antara mereka.
Karena yang mengetahui orang cerdas hanyalah orang cerdas. Memberikan hak pilih kepemimpinan kepada orang awam hanya akan melahirkan kegagalam dalam memilih pemimpin. Oleh sebab itu politik adalah perwakilan komunitas bukan perwakilan pribadi. Al-Qur’an mengisyaratkan umat islam dengan “khairu ummat”, umat terbaik atau umat pilihan.
Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imrān/3:110).
Rasulallah saw ditanya tentang “khairu umat.”
Beliau menjawab, khairu umat itu mempunyai empat syarat, yaitu; Pertama, mereka yang paling banyak membaca teks maupun konteks. Kedua, orang yang paling bertaqwa, baik individual maupun sosial. Ketiga, orang yang paling banyak membangun jaringan silaturahim. Keempat, mereka selalu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Dari beberapa ayat dan riwayat para ulama memformulasikan bahwa syarat pemimpin itu adalah:
- Adil.
- Berilmu pengetahuan yang luas.
- Sehat indrawi seperti sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan.
- Sehat anggota tubuh dari kekurangan yang menghalanginya melakukan aktivitas.
- Memiliki pemikiran yang cerdas dalam menyikapi perkembangan politik dan kemaslahatan umat.
Wallahu a’lam
(Buku: Sebuah Renungan – Dr. H.M. Zuhdi Zaini, MA)