Berita
Kemenag Persiapkan RUU Perlindungan Beragama
“Sunni-Syiah bukan agama! Dia adalah visi daripada sebuah agama,” ungkap Dr. Hasim Muzadi dalam sebuah seminar nasional “Perlindungan Pemerintah Terhadap Pemeluk Agama” di kantor Kementerian Agama RI (18/12). Seminar itu membahas tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan beragama.
Lebih lanjut Hasim Muzadi menegaskan bahwa kebencian terhadap Syiah, begitu juga terhadap Sunni bukan suatu hal yang baik untuk dilakukan. Jika terjadi konflik antar keduanya, ranahnya bukan agama, namun pada taraf sosiologis. “Masalahnya bukan terjadi dalam ranah agama, tapi visi keagamaan,” ungkapnya.
Tidak hanya pada taraf intern suatu agama. “Negara berdasarkan agama pun bukan terbebas dari konflik, karena visi-visi yang berbeda dari para pemeluk agama itu,” tambahnya. Namun menurutnya, hal itu dapat diselesaikan dengan cara saling pengertian.
Pernyataan-pernyataan Hasim Muzadi tersebut ditujukan menanggapi pernyataan sebelumnya yang dilontarkan oleh Syamsuddin Baharudin, salah seorang Muslim Syiah yang mewakili ormas Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI). Dalam forum itu, Syamsuddin menilai ada dua hal yang perlu diperhatikan terkait RUU tersebut. Pertama, umat beragama akan bergembira dengan rencana perlindungan tersebut, kedua justru harus berhati-hati karena jangan sampai di dalam RUU itu akan ditemukan pasal-pasal yang justru akan digunakan kelompok tertentu untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lain.
“Yang perlu diwaspadai adalah adanya multitafsir misalnya yang dimaksud melindungi umat beragama dari kekerasan non fisik. Apakah tafsir tertentu terhadap suatu agama tertentu dan kelompok tertentu yang berbeda dengan kelompok lain yang mayoritas, dianggap kekerasan yang non fisik? Misalnya kalau ada perbedaan penafsiran Muslim Sunni dan Muslim Syiah, bisa dianggap kekerasan non fisik oleh Sunni atau sebaliknya, misalnya. Ini perlu diperjelas supaya tidak digunakan kelompok tertentu yang berbeda penafsirannya,” ungkapnya.
Menurutnya tanpa RUU tersebut, sudah banyak peraturan yang jika dilakukan dengan baik oleh aparat pemerintah, aturan itu sebenarnya sudah cukup memberikan perlindungan terhadap umat beragama. “Misalkan jika terjadi penyebaran kebencian dan kekerasan di masyarakat tanpa melihat agama dan keyakinanya, UU KUHP misalnya bisa digunakan untuk menjerat mereka-mereka yang menggunakan isu agama untuk melakukan tindak kekerasan,” Syamsuddin menyontohkan.
Namun menurutnya apa yang terjadi dilapangan justru sebaliknya. kelompok yang menyebar fitnah, hingga taraf menghalalkan darah Muslim Syiah yang kemudian mendeklarasikan diri sebagai Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) justru didukung oleh sebagian oknum pemerintah. “Apakah pemerintah akan membiarkan seperti itu?’’ tanyanya.
Peserta lain yang hadir pun memiliki pandangan berbeda. Suhartoyo, dari Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri di Wonogiri mengungkap, satu agama saja bisa konflik, bagaimana dengan beda agama? “Saya juga berfikir bahwa perlindungan pemeluk agama ini sebaiknya perlindungan terjadi di masyarakat sendiri. Masyarakat bisa saling melindungi. Perlu dibuat rekayasa sosial atau sistem sosial dari pemerintah yang mengarah pada perlindungan yang ditumbuhkan dari bawah,” ungkapnya.
Sementara itu Muhammad Hatem dari Humas DPP ABI juga turut menghadiri undangan seminar tersebut. Dalam forum itu, ia menuntut komitmen dari RUU ini jika disahkan agar benar-benar menjadi payung hukum yang kongkrit bagi semuanya, terutama Muslim Syiah sampan yang hingga saat ini di pengungsian.
Ida Padmanegara dari Kemenkumham yang juga menjadi salah satu narasumber menanggapi apa yang dituturkan Muhammad Hatem. “ RUU perlindungan beragama ini seandainya nanti bisa lolos, tidak hanya untuk melindungi Syiah dan Ahmadiyah saja tapi untuk seluruh umat beragama di Indonesia baik itu resmi atau tidak, baik kepercayaan,” tuturnya. (Malik)