Beberapa bulan terakhir, media secara bertubi-tubi menyiarkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, yang menjadi sasaran kekerasan itu adalah remaja muda belasan, bahkan balita dua tahunan tak luput menjadi sasaran luapan hasrat bejat setan bertopeng manusia tersebut.
Berbagai pandangan bermunculan menyikapi fenomena tersebut, termasuk tawaran memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual hingga memberikan hukuman kebiri pada pelaku. Alih-alih menawarkan solusi, sebagian malah justru menyalahkan korban karena dianggap berpakaian tidak wajar di depan publik. Para pencari citra juga tidak tinggal diam dengan meneteskan airmata ketika diwawancara mengenai pandangan mereka terkait kasus kejahatan seksual.
Mungkin para pihak perlu meluangkan waktu untuk duduk bersama memikirkan penyebab utama dari maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Tanah Air. Ini bukanlah sikap mundur ke belakang, melainkan upaya untuk mentradisikan lahirnya kebijaksanaan hasil pemikiran kolektif para tokoh masyarakat. Bukankah negara ini berfalsafahkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”?
Kita, rakyat Indonesia, dibiasakan menyaksikan fenomena tanpa dikenalkan dengan nomena atas sebuah kejadian. Sebagian besar media massa di Indonesia lebih senang mem-framing penikmat media di negeri ini dengan riak-riak di permukaan dibandingkan bercerita soal dalamnya informasi, atau berkisah soal akibat dibandingkan menemukan sebab sebuah peristiwa.
Tanpa bermaksud mengecilkan kasus-kasus kekerasan seksual yang mendadak ramai diperbincangkan, menarik untuk terlebih dulu melihat fakta negara dengan kasus kekerasan seksual terbanyak. Laman koran-sindo.com sempat menurunkan berita sepuluh negara dengan kasus kekerasan seksual terbanyak, dalam hal ini kasus pemerkosaan, yakni; Amerika Serikat, Afrika Selatan, Swedia, India, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Srilanka, Ethiopia.
Menarik juga untuk mengetahui, bahwa selain Ethiopia yang mengenal budaya menculik perempuan untuk dinikahi, sebagian besar merupakan negara dengan pergaulan yang sangat bebas. Sehingga bisa kita katakan bahwa semakin bebas pergaulan pada sebuah lingkungan akan berbanding lurus dengan tingginya kekerasan seksual pada komunitas itu. Besar kemungkinan hal itu disebabkan tidak adanya lagi kontrol sosial yang tersisa atas masing-masing individu yang berinteraksi.
Patut disyukuri Indonesia tidak masuk dalam urutan 10 besar itu, tapi fakta yang diungkapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan, pada tahun 2015 menyebutkan terdapat 321.752 kasus. Artinya rata-rata terjadi 881 kasus per hari. Angka ini meningkat 9% dari tahun sebelumnya.
Sanksi Bukan Solusi
Menurut Rocky Gerung, pengajar filsafat Universitas Indonesia, seperti dilansir Harian Kompas pada Rabu (25/5), mengatakan bahwa penggunaan instrumen hukum dalam menghapus kekerasan seksual merupakan upaya yang reaktif. Hal itu tidak akan mengurangi kekerasan, melainkan akan menambah tingkat kekejiannya. Karena itu yang harus diubah adalah kultur patriarki yang bermukim di agama, tradisi lokal bahkan struktur politik.
Hal senada juga disampaikan Koordinator Advokasi dan Komunikasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Frenia Nababan, yang melhat pemberatan hukuman tidak akan menyelesaikan permasalahan. Hal yang dianggap penting Frenia adalah fasilitas pelaporan korban, mengingat sulitnya korban untuk melaporkan kasus yang menimpa mereka dan bahkan banyak yang tidak tahu tempat pengaduan yang tepat.
Keluarga: Basis Pencegahan Dini
Wadah utama untuk melakukan upaya preventif bertambahnya kasus kekerasan seksual ada pada keluarga. Keluarga memegang peranan penting untuk membentuk karakter anak, terutama membangun kesadaran jender dan mengubah mindset patriarkis.
Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, menilai pemerkosaan terjadi karena relasi yang timpang antara pria dan wanita. Karena itu harus ada pembenahan relasi dengan mendorong penyadaran kesetaraan jender melalui pendidikan di tingkat keluarga dan komunitas. (Harian Kompas, 25/5).
Keluarga yang hangat meniscayakan lahirnya pendidikan yang baik untuk anak, sehingga kesadaran eksistensinya sebagai manusia mendapatkan pondasi yang baik. Dalam buku Mendidik Anak Sejak Kandungan karya Muhammad Baqir Hujjati disebutkan, “Pengaruh rumah dan keluarga pada seseorang amat tidak terbatas. Dapat dikatakan bahwa landasan pembianan seseorang adalah di rumah. Lingkungan rumah, dengan suasana yang dapat memberikan ketenangan pada jiwa anak, merupakan sebuah peluang untuk memuaskan berbagai kecenderungan dan insting anak. Sebab, nilai-nilai moral; cenderung pada kebenaran dan kejujuran serta mencintai sesama alhasil cinta pada sifat terpuji dan benci pada sifat tercela semua ini didapatkan anak dalam lingkungan rumahnya.” (Hal. 55).
Orang tua berperan besar membenahi suasana keluarga menjadi lebih baik untuk mengarahkan kecenderungan-kecenderungan anak, termasuk mengarahkan anak-anak mereka mengenai pendidikan seksual dan relasi lintas jender. Hal itu juga harus didukung dengan kebijakan pemerintah dalam melakukan pembatasan akses konten-konten media sosial yang berbau pornografi pada masyarakat umum.
Hari Keluarga yang jatuh pada 29 Mei ini setidaknya menjadi saat kontemplasi kita untuk memikirkan masa depan bangsa ini menjadi lebih baik. Selamat Hari Keluarga. (Ridha/Yudhi)