Berita
Kelangkaan BBM: Ngantri Premium Dapat Pertamax
Selasa (26/8) pagi, tim ABI Press melakukan perjalanan menuju Gedung Joang 45 di Jakarta Pusat untuk menghadiri Sarasehan Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Trisakti (Puskatri) dan Lembang 9 (L9).
Di tengah perjalanan, seperti liputan-liputan biasanya, tak lupa tim berhenti sejenak untuk mengisi bensin kendaraan.
Ngantri, itu hal yang sudah biasa bahkan setiap hari terjadi saat mengisi bensin di pom-pom bensin di Jakarta. Namun, ada hal yang tak biasa di salah satu pom bensin di Jakarta Timur, tempat tim ABI Press membeli bensin pagi tadi. Premium ternyata habis. Ya, akhirnya terpaksa membeli Pertamax dengan harga sedikit lebih mahal.
Tema Sarasehan Kebangsaan di Gedung Joang itu, ternyata relevan dengan peristiwa habisnya premium tadi, yaitu tentang “Pemanfaatan Energi dan Sumber Daya Mineral di Kawasan Perairan.”
Dari data yang dirilis Lembang 9 (L9), kebutuhan BBM dalam negeri tidak dapat terpenuhi oleh kilang minyak di Indonesia, 20%-30% adalah impor dari luar. Sedangkan 90% produksi minyak di Indonesia dihasilkan dari lapangan yang usianya sudah lebih dari 30 tahun. Ini yang kemudian juga dianggap mengkhawatirkan.
Selain itu, dari data L9 yang bersumber dari Pertamina, Stok BBM Indonesia berada pada titik terendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya yaitu hanya bisa untuk bertahan hingga 18-20 hari saja. Ini sangat memprihatinkan, apalagi jika dibandingkan dengan Myanmar yang memiliki stok BBM hingga 91 hari.
“Jika terjadi embargo, hancurlah Indonesia,” kata Iskandar, seorang pengamat energi yang menjadi salah satu pembicara dalam sarasehan itu.
Menurutnya, Indonesia harus berani membangun sendiri kilang-kilang minyak untuk ketahanan energi ke depan. Minimnya kilang minyak saat ini menyebabkan Indonesia harus impor sekadar untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Padahal, kalau sumber-sumber energi bisa dikelola dengan benar, tidak hanya kebutuhan energi dalam negeri yang akan tercukupi, bahkan Indonesia akan mampu ekspor ke luar.
Terkait teknologi, menurut Iskandar, Indonesia sebenarnya sudah mampu mengelola sendiri sumber-sumber energinya. Hanya saja, seluruh alat-alat teknologi serta tenaga ahlinya disuplai oleh perusahaan asing.
“Bohong, kalau Indonesia tidak memiliki teknologi untuk mengolah kekayaannya. Hanya saja, alat-alatnya dimanipulasi Amerika dan perusahaan-perusahaan gas di Indonesia dikuasai Amerika dan Cina,” tegasnya.