Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Kegaiban Berkonsekuensi Durasi Usia Sepanjang Zaman (4/8)

Salah satu konsekuensi dan ciri konsep Mahdawiyah menurut Ahlulbait as adalah keyakinan terhadap kegaiban dan ketiadaan Imam Mahdi as dalam pandangan umat manusia. Dus, keberlangsungan hal ini sampai masa  yang telah diizinkan Allah Swt. Kita akan membuktikan ciri ini dalam dua fase.

Pembahasan sebelumya Klarifikasi Kepemimpinan Usia Dini Imam Mahdi as (3/8)

Fase pertama, pembuktian terhadap kemungkinan usia panjang hingga akhir zaman.

Sesungguhnya persoalan dari konsep Mahdawiyah menurut Ahlulbait itu terletak pada konsekuensi konsep ini, yaitu durasi umur sepanjang zaman. Sebenarnya, persoalan ini telah dijawab secara ekstensif. Hanya saja di sini, kami akan menyuguhkan jawaban yang diajukan Sayyid Baqir Shadr yang mengatakan, “Apakah mungkin manusia hidup berabad-abad sebagaimana kita asumsikan pada sosok Sang Pemimpin (Imam Mahdi) yang kita tunggu-tunggu kemunculannya ini dalam rangka mengubah dunia, di mana usia beliau sekarang lebih dari 1140 tahun, atau sekitar 14 kali usia manusia biasa yang telah melalui fase-fase kehidupan alami sejak masa kecil, kanak-kanak, hingga tua renta?

Kata ‘mungkin’ di sini memiliki tiga makna: mungkin secara praktis, saintifik, dan filosofis. Yang saya maksud dari “mungkin secara praktis” adalah sesuatu yang mungkin bagi kita untuk merealisasikannya dengan sarana yang ada, seperti perjalanan mengarungi samudra, menyelam hingga ke dasar lautan, dan menjejakkan kaki di bulan. Atau juga hal-hal lain yang memang mungkin terjadi secara praktis, dan telah terjadinya hal tersebut dengan berbagai cara.

Maksud “mungkin secara saintifik” adalah sesuatu yang tidak dapat direalisasikan secara praktis oleh kita melalui sarana mutakhir yang ada sekarang, namun sains dan ilmu pengetahuan tidak menolak bahwa hal tersebut dapat dilakukan pada suatu kondisi dan dengan sarana tertentu. Misalnya, tentang sampainya manusia di planet Venus. Tak ada penelitian yang mengatakan hal itu tidak mungkin dilakukan. Bahkan penelitian mutakhir mengindikasikan sebaliknya. Kendati untuk sekarang ini, hal itu belum dapat direalisasikan. Sebab, sampainya manusia ke planet Venus tak jauh beda dengan turunnya manusia ke bulan.

Bedanya, hanya pada cuaca yang tidak terlampau jauh, di mana perjalanan ke Venus amat menyusahkan lantaran jaraknya yang begitu jauh. Karena itu, perjalanan dan sampai di planet Venus adalah suatu kemungkinan saintifik, kendati secara praktis “belum” dapat diwujudkan. Pembicaraan tentang kajian ini sangat ilmiah dan terperinci. Dikatakan bahwa sesungguhnya hal itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi secara ilmia yang belum terealisasi sekarang, serta fakta seputar banyak inovasi di luar angkasa dan berputarnya planet-planet di galaksi-galaksi dan lain sebagainya yang baru saja tersingkap pada abad ke-20 ini.

Begitu pula sebaliknya. Sampainya manusia ke planet Matahari di jantung langit tidak dapat dilakukan secara ilmiah. Artinya, ilmu pengetahuan tidak pernah bermimpi untuk mewujudkan hal tersebut. Karena, tidak dapat dibayangkan, baik secara ilmiah maupun empiris, adanya sebuah pelindung yang mampu melawan derajat panas matahari yang luar biasa besarnya, sejauh yang bisa dibayangkan manusia.

Adapun “mungkin secara filosofis” atau logis adalah, tidak adanya argumentasi―berdasarkan kesimpulan akal dari hukum-hukum apriori, yakni hukum-hukum yang mendahului pengalaman empiris―untuk menolak sesuatu atau memastikan kemustahilannya. Misalnya, membagi tiga buah jeruk secara sama rata―tanpa dibelah dua―tidak akan mungkin terjadi secara logis, karena akal memahami―tanpa melakukan pengujian empiris―bahwa tiga adalah angka ganjil, bukan genap. Karenanya, hal itu tidak mungkin dibagi sama; karena terbaginya tiga menjadi sama berarti ia adalah bilangan genap. Maka, angka “tiga” pada saat bersamaan genap sekaligus ganjil menjadi berupa kontradiksi yang jelas mustahil terjadi menurut akal.

Namun, masuknya manusia dalam api tanpa harus terbakar, sampainya manusia ke bola matahari, tanpa harus terbakar panasnya, bukanlah sesuatu yang mustahil secara logis dan filosofis. Sebab, tak ada kontradiksi antara asumsi bahwa panasnya matahari tak lebih banyak diserap oleh panasnya tubuh. Ini berbeda dengan eksperimen yang pernah dilakukan, yaitu penyerapan panas dari benda yang lebih panas kepada benda yang lebih rendah suhu panasnya hingga hawa panas keduanya berimbang.

Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa “mungkin secara logis” itu lebih luas cakupannya dari “mungkin secara saintis”. Sementara “mungkin secara saintifik” lebih luas cakupannya dari “mungkin secara praktis”. Tak diragukan lagi, panjangnya usia manusia selama beribu-ribu tahun adalah fenomena yang mungkin terjadi secara logis; karena akal tidak menilainya sebagai sesuatu yang mustahil, juga tidak terdapat kontradiksi dalam asumsi terhadap fenomena ini; karena kehidupan secara konseptual tidak mengandung arti kematian yang cepat. Maka dalam hal ini, tidak ada lagi perdebatan.

Sebagaimana tak diragukan lagi, usia panjang bukanlah sesuatu yang mungkin terjadi secara praktis; serupa sarana ilmiah untuk menyelami dasar laut atau menjejakkan kaki di planet bulan. Sebab, dengan sarana yang ada sekarang ini dan telah diujicobakan, sains belum mampu memanjangkan usia manusia hingga ratusan tahun. Karena itu, kita menyaksikan mayoritas manusia yang bersikeras mempertahankan hidup dan mencapai kecanggihan produk sains, tidak mendapatkan sepenggal usia hidup kecuali sekadar yang umumnya mereka alami.

Sedangkan “mungkin secara saintifik” adalah tidak adanya teori ilmiah yang menolak kemungkinan terjadinya usia panjang itu dari aspek teoretis. Pada dasarnya, pembahasan ini bertali temali dengan model penjelasan fisiologis atas fenomena penuaan dan kerentaan manusia. Yaitu, apakah fenomena ini menyingkapkan hukum- hukum alamiah atas pertumbuhan organisme tubuh manusia dan sel-selnya, lalu―setelah sampai pada titik kematangannya―menjadi aus dan kaku secara bertahap, serta semakin berkurang potensinya untuk bekerja aktif, sampai akhirnya berhenti pada masa tertentu, sekalipun kita sisihkan faktor-faktor eksternal?

Ataukah pengausan dan pembekuan pada potensi kerja sel-sel tubuh ini diakibatkan oleh pengaruh faktor eksternal seperti virus, kuman, atau racun yang diserap tubuh pada saat mengonsumsi makanan?

Ini merupakan persoalan yang diperkarakan sains dan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang pada gilirannya berusaha memecahkannya secara intensif. Tentunya, persoalan ini senantiasa melahirkan lebih dari satu teori ilmiah. Jika kita perhatikan sudut ilmiah yang mengacu pada teori penuaan dan kerentaan usia lanjut sebagai akibat pengaruh-pengaruh faktor eksternal, maka bila sel-sel yang membentuk tubuh manusia itu terlindung dari pengaruh-pengaruh tersebut, usia hidup manusia secara teoretis akan memanjang dan melampaui fenomena penuaan hingga sanggup mengatasinya.

Namun, jika kita mengacu pada teori yang cenderung mengandaikan fenomena penuaan sebagai hukum alam atas sel-sel tubuh dan struktur organ yang hidup―yakni, sel-sel itu dalam dirinya sendiri membawa benih-benih kematiannya yang pasti, mulai dari fase penuaan, kerentaan, hingga kematian―maka saya katakan bahwa yang demikian itu tidak menafikan asumsi ihwal fleksibilitas pada hukum alamiah.

Sekalipun teori ini benar, hukum alam senyatanya bersifat fleksibel; karena kita menyaksikannya dalam kehidupan sehari-hari; dan karena para ilmuwan telah menguji secara ilmiah bahwa manusia lanjut usia (manula) merupakan fenomena fisiologis non-temporal; sehingga adakalnya datang di usia dini, terkadang pula datang begitu terlambat dari usia biasanya dan tidak muncul kecuali di masa-masa yang sedemikian lanjut.

Bahkan, ada orang yang sudah lanjut usianya tapi masih memiliki organ tubuh yang sangat lentur tak ubahnya anak-anak, dan pada dirinya tidak tampak tanda-tanda ketuaan, sebagaimana telah dilaporkan sebagian dokter. Para dokter dan riset-riset medis menegaskan hal ini. Mereka menemukan kasus yang begitu banyak dalam bidang ini, dan mungkin, inilah yang mendorong mereka bereksperimen dan berusaha memanjangkan usia lazim manusia. Dan, seperti biasanya, mula-mula mereka memeriksa hewan sebagai ujicoba awal eksperimen untuk memudahkan sekaligus menghindari risiko-risiko lain yang mencegah eksperimen itu dilakukan terhadap manusia.

Bahkan, secara ilmiah, para ilmuwan telah berhasil mempelajari fleksibilitas hukum-hukum alamiah tersebut sehingga mampu memanjangkan usia sebagian hewan seratus kali usia lazimnya dengan merekayasa lingkungan dan faktor-faktor yang memperlambat efektivitas hukum penuaan. Dengan demikian, dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa upaya mempelambat efektivitas hukum ini melalui rekayasa lingkungan, kondisi, dan faktor-faktor tertentu adalah sesuatu yang mungkin terjadi secara ilmiah. Dan jika sains tidak melakukan ihwal pelambatan ini terhadap makhluk yang begitu kompleks seperti manusia, itu hanya disebabkan tingginya tingkat kesulitan pada manusia ketimbang hewan ataupun makhluk hidup lainnya.

Ini berarti, dari aspek teori dan sesuai perkembangan ilmiah yang telah dilalui, sains sama sekali tidak pernah memustahilkan pemanjangan usia manusia. Baik penuaan itu ditafsirkan akibat dari pengaruh faktor-faktor eksternal, maupun kelaziman dari hukum alamiah terhadap sel-sel hidup itu sendiri yang akan mengalami kehancuran.

Bersambung…

Abdul Karim Albahbani, “Mahdiisme dalam Perspektif Ahlulbait as”

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *