Akhlak
Kecemerlangan Akal dan Akhlak Imam Muhammad Jawad as
Ketika ayahandanya wafat, Imam Muhammad Jawad as masih berusia belia. Namun begitu, beliau sungguh berkepribadian matang dan sempurna, yang mendesak setiap orang untuk mencurahkan rasa hormat di hadapannya.
Alkisah, setelah beberapa hari ayahandanya (Imam Ali Ridha as) wafat, Khalifah Ma’mun pergi berburu bersama pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di situ. Melihat Ma’mun datang, mereka segera bubar dan lari menjauh. Hanya seorang anak yang tidak beranjak dari tempat mainnya.
Ma’mun dan pasukannya berhenti lalu memandangi anak tersebut. Ia bertanya terheran-heran, “Hai bocah, mengapa kau tidak lari seperti anak-anak itu?”
Anak itu menjawab, “Jalan ini tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apapun sehingga aku harus takut kepadamu. Aku pikir engkau tidak akan mengganggu seseorang. Dan engkau tidak akan mengejar orang yang tak bersalah. Maka itu, aku tidak lari darimu.”
Ma’mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan, dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya, “Siapa namamu?”
“Muhammad bin Ali Ridha ” jawab anak itu.
Ma’mun spontan berpura-pura mengungkapkan duka cita atas kewafatan ayah beliau. Setelah itu, ia melanjutkan pemburuan bersama para pengawalnya.
Imam Ali Ridha as senantiasa memperlakukan putranya dengan penuh hormat dan selalu memperhatikan pendidikannya. Bazanthi berkata, “Suatu hari, Imam Ridha as menulis surat kepada putranya, Muhammad Jawad, di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:
Wahai putraku, aku mendengar bahwa para pelayan khalifah tidak memperkenankan orang-orang untuk datang mengunjungimu atau sekadar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka kepadamu.
Ketahuilah, mereka (para pelayan khalifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini, aku perintahkan dirimu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bilamana engkau pergi, bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan dan membutuhkan pertolonganmu.
Pikirkanlah orang-orang yang mendapat kesulitan hidup dan bantulah mereka dengan baik. Janganlah lupa untuk senantiasa bersikap murah hati dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan.”
Setelah berhasil meracun Imam Ali Ridha as, Ma’mun berusaha keras menunjukkan bahwa kematian beliau adalah peristiwa yang wajar dan alamiah. Namun, berangsur-angsur keculasan dan kebusukannya tercium kalangan ‘Alawiyun (keturunan Imam Ali as) dan para pengikutnya.
Mereka mengetahui bahwa Ma’mun telah melakukan tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridha. Karena itu, beragam protes, kecaman, kerusuhan, dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota. Ma’mun berupaya memadamkan api pemberontakan itu. Ia membawa putra Imam Ridha as itu, Imam Muhammad Jawad as, dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya sendiri, Ummul Fadhl.
Orang-orang Abbasiyah berusaha menggagalkan keinginan Ma’mun itu. Namun, Ma’mun tetap bersikeras pada keputusannya. Mereka mendebatnya, “Ia (Imam Jawad as) masih kecil dan belum mengerti agama. Bersabarlah supaya ia belajar agama terlebih dahulu.”
Ma’mun dengan sigap menjawab, “Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealim-alim manusia untuk kujadikan menantuku. Kalian dapat mengujinya jika kalian mau.”
Orang-orang Abbasiyah mendekati Yahya bin Aktsam, sang hakim agung, dan memintanya untuk menyiapkan beberapa pertanyaan demi menguji Imam Muhammad Jawad as di hadapan majelis resmi Ma’mun. Yahya mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma’mun dan menyampaikan kesediaan Yahya. Ma’mun menentukan hari untuk majelis tanya-jawab tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbasiyah bersama Yahya bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Hadir di situ sejumlah tokoh terpandang, bangsawan, dan pejabat pemerintahan.
Kemudian, datanglah Imam Muhammad Jawad as ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di situ kontan berdiri menyambut kedatangan beliau. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma’mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini, karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Ma’mun berkata kepada Imam as, “Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.”
“Ia boleh bertanya apapun yang ia ingin tanyakan,” jawab Imam as.
Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka’bah, pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?”
Imam Jawad as menjawab “Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah masalah yang masih begitu umum. Mana yang sebenarnya ingin kau tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau sosok merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya, atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?”
Yahya bungkam, tak menjawab. Ia kagum tatkala Imam as mengurai masalah itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya, terbesit tanda kekalahan dan kegagalan. Mulutnya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan kekaguman pada Imam Jawad as setelah menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmu beliau.
Akhirnya, Ma’mun mengumumkan acara akad pernikahan putrinya dengan Imam Jawad di majelis itu juga. Imam as bangkit lalu menyampaikan khutbah nikah.
Namun sesungguhnya Ma’mun menyimpan maksud-maksud tertentu di balik keputusannya menikahkan putrinya dengan Imam Jawad as. Di antaranya untuk menepis kecaman dan tuduhan orang-orang sekaitan pembunuhannya terhadap Imam Ali Ridha as dan merebut kembali hati masyarakat. Dan juga agar putrinya dapat mengawasi dan memantau Imam sedekat mungkin.
Imam Muhammad Jawad as mengambil keputusan bulat untuk segera kembali ke Madinah. Keputusan itu beliau laksanakan dengan cara berangkat ke Makkah dan menunaikan ibadah haji di sana. Masyarakat pun ramai mengantarkan Imam sampai di jalan yang mengarah ke kota Kufah. (al-shia.org)