Berita
Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha [2/2]
Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha [2/2]
Kebudayaan dan Tradisi Keagamaan Syiah di Maluku Utara
pembahasan sebelumnya Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha [1/2]
Sebelum melihat tradisi-tradisi budaya dan religius Syiah di Maluku Tengah, perlu disajikan secara singkat pendirian historis Islam di Maluku Tengah. Penelitian saya mengenai Islam di MalukuTengah menemukan bahwa pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, para Cina dan Arab220 mengunjungi Maluku Tengah yang sangat sibuk. Agama para pedagang Cina tidak diketahui; akan tetapi, pedagang Arab jelas beragama Islam. Mengacu kepada pendapat yang mempertimbangkan bahwa Islam telah memasuki wilayah-wilayah tertentu jika ada seorang atau lebih Muslim asing di wilayah itu, maka Islam telah memasuki Maluku Tengah sejak abad ke-8 atau ke-9 Masehi meskipun ia baru terlembaga pada abad-abad berikutnya.
Masuknya Islam ke Maluku Tengah dan Maluku Utara dikenali dari pelayaran lada (cengkeh dan pala) dan perdagangan di wilayah timur. Cengkeh dan pala adalah salah satu komoditi niaga yang menguntungkan dan bernilai-tinggi semasa abad ke-7-17 Masehi dan memotivasi bangsa-bangsa di dunia untuk mencari produsennya. Diketahui bahwa Kepulauan Maluku menghasilkan cengkeh dan pala yang bermutu tinggi; karena itu, para pedagang dari planet ini mencari jalan menuju Kepulauan Maluku (Tjandrasasmita 1971).
Putuhena, yang mempelajari Islam di Ternate, menemukanbahwa masuknya Islam ke Ternate (Maluku Utara) dilakukan oleh empat Syaikh Irak, yaitu. Syaikh Mansur, Syaikh Ya’cub, Syaikh Amin and Syaikh Omar. Para Syaikh itu meninggalkan Irak karena pergolakan politik melanda negeri mereka. Empat orang asing Syiah itu kemudian menyebarkan Islam di Ternate, Halmahera, Tidore danMakian. Putuhena berasumsi bahwa keempat syaikh itu adalah orang Muslim pertama yang tiba di Maluku Utara. Kedatangan keempat syaikh dikaitkan dengan pergolakan politik Irak, yaitu jatuhnya dinasti Bani Abbasid pada 1258 Masehi atau pertengahan abad ketiga belas (Putuhena 1997: 75-76). Temuan Putuhena lebih mengukuhkan bahwa Islam yang tiba dan berkembang di Maluku berasal dari komunitas Syiah.
Dalam konteks KMH di Maluku Tengah, ditemukan bahwa komunitas itu mempunyai kisah sendiri mengenai agama yang kini mereka anut. Para informan di negeri Pelauw, Rohomoni, dan Kailolo sama-sama sepakat bahwa ketika para leluhur mereka pindah dari Kepulauan Seram ke Kepulauan Haruku, mereka telah menganut Islam. Tidak diketahui pasti, kapan leluluhur mereka mulai berserak dari Kepuluan Seram ke Haruku; tetapi, diduga keras bahwa Islam telah tersebar di Maluku Tengah sejak abad kesembilan Masehi, meskipun Islam terlembaga secara formal sebagai agama resmi banyak negeri di Maluku Tengah, baru pada abad-abad berikutnya. Secara ekstrim, dikatakan bahwa para leluhur Hatuhaha telah menganut Islam sejak Nabi Muhammad dan para sahabatnya masih hidup. Sesungguhnya, mereka menganggap bahwa para sahabat Nabi Muhammad lah yang mengajarkan agama Islam kepada mereka. Tidak heran, sebagian besar orang Uli Hatuhaha mengklaim bahwa mereka adalah komunitas Muslim tertua di Maluku Tengah, dan bahkan di Maluku. Akan tetapi, mereka tidak ingin hal ini diketahui secara publik. Berikut ini adalah pernyataan informan mengenai kehadiran Islam di Hatuhaha Kepuluan Haruku:
[K]hususnya di daerah Hatuhaha ini sudah ada Islam dari abadabad awal Masehi. Waktu katong pung orang tua-tua dari pulau Seram dong su (mereka sudah memeluk) Islam. Jadi memang Islam di tampa laeng (lain) ada lae (lagi), tapi kalupar katong (bagi kami), di sini tua. Memang di Jawa, sejak Majapahit sudah ada Islam, tetapi kalu lia perjalanan-perjalanan syaikh-syaikh, orang yang khusus mengajarkan Islam, ya di sini yang duluan, kitayang duluan. Mereka pung (punya) tanda ada, ada punya kramat, kramat itu artinya kemuliaan, pujaan terhadap mereka. Dong punya kemuliaan-kemuliaan jadi tanda-tanda, yang dia bersaksi untuk mereka punya anak cucu, dan mereka bisa liat, mereka bisa lanjutkan (M. Salampesi, tokoh agama di Pelauw, 2009).
Meskipun orang Hatuhaha menganggap mereka Muslim atau komunitas Muslim yang lebih tua di Maluku, sampai sekarang tidak dilakukan usaha untuk menolak sejarah kehadiran Islam di Maluku, yang memposisikan Ternate di Maluku Utara sebagai pusatnya. Dalam pandangan KMH, ada waktu bagi orang untuk memahami tentang keberadaan mereka sebagai kelompok Muslim yang lebih tua. Untuk membuktikan bahwa KMH adalah penganut Islam yang lebih tua di Maluku Tengah, ada tiga makam para guru Islam di Pulau Haruku, antara lain, pertama, makam Maulana Malik Ibrahim, yang diacu oleh komunitas lokal sebagai Pandita Mahu; kedua, makam Sidi ‘Alim, putera Pandita Mahu, dan ketiga, makam Zainal Abidin. Dinyatakan bahwa ketiga guru itu memberi sumbangan yang lebih besar dala m menyebarkan dan mengembangkan Islam di Pulau Haruku.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa kebudayaan dan tradisi Syiah di Maluku Tengah dijumpai dengan jelas dalam pelaksanaan ritual-ritual. Karena itu, dalam bagian berikut disajikan dua ritual yang mengacu kepada tradisi Syiah. Pertama, maatenu, yaitu ritual peperangan yang dilaksanakan setiap tiga tahun, pada hakikatnya ia memperagakan keberanian dan kewaspadaan penduduk lokaluntuk mempertahankan keberadaan Islam. Kedua, ritual Aroha, suatu ritual untuk merayakan kelahiran dan wafatnya Nabi Muhammad, dan penghormatan kepada para leluhur dan wali, yang mengajarkan Islam. Dalam melaksanakan kedua ritual itu, ada simbol-simbol yang benar-benar mengukuhkan bahwa Islam yang dianut penduduk lokal
didasarkan pada Syiah. Kedua ritual tersebut digambarkan sebagai berikut:
Ritual Ma’atenu
Ma’atenu atau disebut juga cakalele adat adalah ritual perang yang khas di kalangan penduduk Hatuhaha di Pulau Haruku di Maluku Tengah, [Sekarang ini, di kalangan lima negeri di dalam persekutuan Uli Hatuhaha, negeri Pelauw lah yang melaksanakan ritual Ma’atenusecara teratur sejak dahulu sampai sekarang] dan tidak ditemukan di komunitas-komunitas Muslim Maluku lainnya. Ma’atenu atau Ma’atenu’o (dalam bahasa Hatuhaha) mempunyai arti harafi ah sebagai undangan untuk ujian. Hal ini mengacu pada tindakan aktif dan keberadaan para peserta Ma’atenu menguji secara publik kekuatan kekebalan dan ketakterkalahan mereka dengan memotong, mengiris dan menikam anggota tubuh mereka dengan menggunakan kalewang dan benda-benda tajam lainnya. Dalam konteks historis, Ma’atenu mempunyai pengertian yang lebih luas, yaitu mengukuhkan keberadaan Islam di antara kelompok-kelompok lain. Ma’atenu sebagai suatu simbol kekuatan yang dimobilisasi untuk memperagakan kekuatan fi sik maupun moral sebagai Muslim atau penganut Islam tulen.
Ma’atenu diacu sebagai perang ritual karena pertama, Ma’atenu dikaitkan secara langsung dengan perjuangan para nenek moyang Hatuhaha dalam mempertahankan Islam. Kedua, para peserta Ma’atenu digunakan sebagai simbol angkatan perang Hatuhaha. Ketiga, alat-alat ritual, yaitu kelewang atau pedang ternyata merupakan alat-alat tradisional yang digunakan dalam perang-perang di masa lampau. Keempat, atraksi-atraksi yang disajikan di dalam Ma’atenu seperti memotong, menikam, dan mengiris tubuh sebenarnya mengacu kepada penaklukan musuh. Kelima, roh-roh para kapitan atau leluhur yang menyatakan diri di dalam diri para peserta Ma’atenu dan membawa mereka ke dalam Ka’a atau kondisi kesurupan yang kebal terhadap benda-benda tajam, adalah roh pemimpin perang soa individual.
Mereka sama dengan komandan kelompok, bahkan sama dengan panglima perang pada masa kini. Pada umumnya, orang Pelauw mengacu konteks lahirnya Ma’atenu sebagai pertempuran komunitas Hatuhaha melawan kolonilisme Portugis dan Belanda dan usaha-usaha Kritenisasi pada abad ke-16 dan 17. Ketika diamati, beberapa aspek ritual Ma’atenu seperti penikaman, pemotongan dan penyayatan tubuh dengan menggunakan pedang atau pisau identik dengan tradisi kelompok Syiah saat memperingati Asyura dalam rangka memperingati kematian cucu Nabi Muhammad, yaitu Imam Husein (Abubakar Aceh, 1980; Enayat, 1982:28-29). Mayoritas kaum ulama Syiah sebenarnya sudah sejak lama melakukan berbagai upaya persuasi agar praktek-praktek ritual seperti ini dikurangi atau bahkan dihilangkan. Akan tetapi, ritus ini sering kali dipercayai oleh sebagian pengikut Syiah sebagai pembuktian sikap cinta mereka kepada Ahl al-Bayt (Penyunting).
Ritual Ma’atenu yang menggunakan simbol-simbol berupa alatalat perang tradisional seperti kelewang atau pedang, kekebalan “yang benar-benar mistis” terhadap benda-benda tajam, dan para peserta Ma’atenu bahkan bertugas sebagai “para prajurit Hatuhaha”, yang mempertahankan keberadaan Islam dalam konteks perang nenek moyang Hatuhaha empat abad silam, menurut pendapat saya, adalah suatu cara untuk menyajikan sejarah dalam konteks masyarakatkontemporer. Selain sejarah perang di antara rakyat Hatuhaha melawan orang Portugis dan Belanda, diduga bahwa ritual Ma’atenu tersebut juga terkait dengan sejarah kaum Syiah, khususnya kematian Ali. Hal ini terlihat dalam simbol-simbol yang digunakan, seperti pedang yang mirip dengan pedang Ali, atraksi-atraksi dan kata-kata ritual yang mengacu kepada kesetiaan kepada Ali. Para informan di Pelauw mengaitkan pelaksanaan ritual Ma’atenu dengan Sayyidina Ali sebagai panglima perang Islam dalam perang melawan para kafir, dan Ma’atenu dianggap sebagai perang ritual melawan kaum kafir (Jamallah Angkotasan, berusia 62 tahun, anggota komunitas Pelauw, 2009). Konon Sayyidina Alimempunyai anak tiri berikut:
1. Umar Ali
2. Talib Ali
3 . Akar Ali
4. Hasan Ali
5. Ali Hasan
6 . Nesibel Ali
7. Kakang Ali
8 . Alima Ali
9 . Muhammad Ali
Para informan cenderung menghubungkan keberadaan orang Hatuhaha, khususnya orang-orang Negeri Pelauw, dengan para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad. Menurut Jamallah Angkotasan, margamarga yang ada di Pelauw dikaitkan dengan empat sabahat Nabi Muhammad. Penjelasannya adalah berikut ini:
1. Paria (Tuankota) adalah keturunan Abubakar
2. Poisina (Angkotasan) adalah keturunan Umar bin Khattab
3. Nua (Tuakia) adalah keturunan Utsman bin Affan
4. Paua (Tualepe) adalah keturunan Sayyidina Ali
Konsisten dengan Jamallah, Taha Tualepe (berusia 58 tahun, pemimpin komunitas Pelauw dari kelompok orang biasa) mengatakan dalam bahasa sehari-hari, konon: …Marga Tualepe selaku pemimpin ritual Ma’atenu atau Ma’ahala Lahat datang dengan sendiri. Karena namanya asal dari sini atau tetesan darah maka itu sudah menjadi warisan yang tidak dapat dipisahkan. Secara tersirat, sang informan (Taha Tualepe) memperkuat penyataan informan lain (Jamallah Angkotasan) bahwa karena hubungan di antara marga Tualepe dan Saidina Ali, maka marga ini mempunyai posisi strategis untuk melaksanakan ritual Ma’atenu,sebagai pemimpin ritual Ma’atenu atau Ma‘ahala Lahat.
Ritual Aroha
Aroha atau juga dikenal sebagai manian atau kemanyian223, bagi KMH Pelauw bukan ritual tahunan yang biasa karena pelaksanaan Aroha dikaitkan dengan keberadaan kolektif dan individual setiap anggota negeri Pelauw. Aroha dilakukan setiap Rabi’ul Awal kalender Arab atau pada Februari pada kalender Barat. Esensi ritual Aroha yang dilakukan oleh KMH di Pelauw berbeda dengan yang dilaksanakan di negeri-negeri Maluku lainnya. Aroha yang dipraktekkan di negeri-negeri Muslim lainnya pada dasarnya sama dengan ritual maulid, yaitu merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad; sementara Aroha di negeri Pelauw adalah untuk memperingati kelahiran, wafatnya Nabi Muhammad, dan untuk menghormati para leluhur dan para wali yang mengajarkan Islam kepada penduduk Hatuhaha.
Pada hari pertama setiap Rabi’ul Awal, semua anggota soa berkumpul di rumah soa untuk mendengar “tita” (keputusan) Juru Pusaka (Jurpus), apakah tahun itu aroha (manian) akan dilaksanakan atau tidak. Meskipun semua anggota soa ingin melaksanakan aroha, tetapi mereka tetap menunggu tita dari jurpus. Hal ini karena aroha tidak dipahami hanya sebagai ritual keagamaan, lebih tepatnya juga suaturitual tradisional yang menghendaki legitimasi pemimpin tradisional. Bila tita dari jurpus untuk perayaan aroha diperoleh, maka pertemuan soa harus segera dilaksanakan untuk memutuskan waktu dan masalah-masalah teknis pelaksanaan Aroha di dalam soa (Taha Tualepe, berusia 58 dan Taher Angkotasan, berusia 63 tahun para pemimpin komunitas Pelauw). Tita dari jurpus dipahami sebagai simbol titah ilahi kepada ciptaan-Nya. Titah atau pesan ilahi demikian disampaikan melalui para leluhur. Untuk orang Pelauw dan komunitas Maluku Tengah, pada umumnya para leluhur diposisikan lebih dekat dengan sang Pencipta. Sebagai yang lebih dekat, mereka bertugas sebagai mediator di antara anak-anak dan cucu (manusia) dengan Otoritas Tertinggi (Allah). Dalam konteks pelaksanaan Aroha, leluhur bertindak sebagai mediator untuk keturunannya dengan Otoritas Tertinggi atau pencipta, sementara itu, jurpus memperantarai anak-cucu-cicit dengan leluluhur mereka. Fungsi para mediator tersebut dapat ditemukan di hampir semua agama di dunia karena ada jarak di antara subyekyang sakral atau suci dengan subyek-subyek yang profan atau biasa (Eliade 1987; Durkheim 2001). Lalu, didasarkan pada konsep Eliade mengenai simbol, para leluhur dapat diposisikan sebagai simbol dalam memahami yang transenden dan Yang Suci.
Setelah tita dari jurpus disampaikan, semua anggota soa mempersiapkan semua pelaksanaan aroha pada tahun itu. Dibuat kesepakatan di kalangan soa; karena itu, semua soa melaksanakan ritual aroha. Pelaksanaan aroha pada soa individual tidak dilakukan pada saat yang sama. Maksudnya adalah untuk memungkinkan bukan hanya para anggota soa (cucu), tetapi juga upu anas atau cucu dan anggota soa lainnya yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan soa dapat menghadiri aroha itu. Seorang informan menceritakan kepada saya bahwa tanda makin dekatnya hari pelaksanaan aroha terlihat dari makin sibuknya kegiatan-kegiatan orang-orang di rumah soa dalam mempersiapkan semua bahan dan membuat kue-kue istimewa untuk manian atau aroha.
Tahap-tahap pelaksanaan aroha atau manian adalah sebagai berikut: pertama, ma’akuku sanama, artinya membawa jatah untuk disumbangkan. Pada tahap ini, para anggota para anggota soa akan memberi secara sukarela sumbangan mereka berupa makanan untuk pelaksanaan manian. Bahan-bahan makanan yang dikumpulkan mencakup sagu, pisang, beras, tepung, kasbi (singkong), talas, ubi rambat, petatas, kelapa, gula merah, dan walnuts (sejenis kenari). Bahan-bahan makanan ini ternyata merupakan ramuan dasar untuk membuat hidangan-hidangan istimewa seperti kue-kue yang akanmenjadi hidangan khas untuk merayakan aroha di Pelauw. Tajin jangung (sago manta) diproses menjadi papeda, sagu kering atau sagu lempeng, dan paumeit. Tidak hanya diproses sebagai nasi, beras juga digunakan untuk membuat bowsprit (cucur perahu) dan karas. Kenari dapat diproses untuk membuat kue yang manis dan halua. Kelapa dapat disuling untuk menghasilkan minyak dan santan untuk berbagai kegunaan.
Kedua, adalah manu e mata, artinya penyembelihan ayam. Pada tahap ini, tiap anggota keluarga soa membawa ayamnya untuk disembelih oleh para pemimpin religius dan daging ayam itu digunakan sebagai makanan tambahan selama inti ritual aroha. Penyembelihan ayam pada aroha di Pelauw menyimbolkan bahwa tiap anggota negeri siap berkorban untuk mewujudkan komitmen dalam melaksanakan pengajaran agama yang diperlukan dalam kehidupan saling berbagai dengan orang lain. Melalui percakapan dengan para informan teridentifi kasi bahwa penyembelihan ayam adalah personifi kasi hewan (bouraq) yang dikendarai Nabi Muhammad dalam perjalanan Isra Mi’raj-nya. Dalam perspektif ini tidak mengejutkan bahwa setiap anggota negeri berusaha memberi usaha terbaik bagi pelaksanaan ritual karena dipercaya bahwa sumbangan dan ketaatan dalam ritual itu berfungsi sebagai amal mereka untuk kehidupan akhirat.
Ketiga, adalah tahap ma’ahitirima. Ma’ahiti rima berarti posisi tangan ke arah atas, yang mengacu kepada posisi berdoa atau memohon. Doa selamatan atau ma’ahiti rima adalah puncak ritual aroha. Pada puncak ritual ini, semua anggota soa dan upu ana hadir karena tiap anggota soa akan didoakan. Dalam kasus ini pemimpin soa mewakili soanya dalam mengungkapkan ucapan syukur kepada Allah, meminta keselamatan dan berkat untuk para anggota soa, dan upu anas, dan seluruh negeri. Seusai doa selamatan sebagai puncak aroha, dilangsungkan resepsi yang diurus oleh pria dan wanita muda dari soa, bersama manua dan malamaitsoa itu. Manua adalah nama biasa bagi wanita yang menikah kepada pria dari suatu soa tertentu. Ketika seorang wanita soa Latuconsina menikah dengan seorang pria soa Tuasikal, maka sang istri adalah manua dari soa Tuasikal. Sementara malamait mengacu kepada nama seorang pria yang menikah dengan seorang wanita dari marga atau soa tertentu. Contohnya, seorang pria marga Tuasikal dinikahkan dengan seorang wanita Latuconsina, sang suami dari wanita Latuconsina ini lazimnya akan disebut sebagai malamait.
Ma’ahiti rima atau pembacaan doa sebagai klimaks maniang atau aroha dilaksanakan pada malam hari. Doa selamatan dipimpin oleh seorang kepala atau sesepuhsoa. Sebelum membaca doa, orang tertua di soa membakar manian (kemenyan) dan semua ruangan dan peserta dibuat terkena asapnya. Fenomena ini mengesankan bahwa ada sinkretisme di dalam praktek-praktek ritual yang mencirikan KMH di Pelauw. Sesaji dan kemenyan yang sering ditemukan dalam praktek-praktek religius Hindu atau agama suku, digabungkan dengan ajaran-ajaran Islam. Doa yang dipraktekkan dalam aroha didasarkan pada cara Islam. Akan tetapi, ada mantra-mantra yang diucapkan dalam bahasa lokal dan pembakaran manian pada umumnya tidak ditemukan dalam tradisi Islam.
Pelaksanaan aroha di Pelauw menggambarkan dengan jelas bagaimana penduduk lokal menyesuaikan ajaran-ajaran religius dan lazim atau kebudayaan lokal ke dalam ritual-ritualnya. Dalam kasus ini, orang biasa mengacu kepada manusia dengan agama dan kebudayaan pribumi. Makanan-makanan dalam aroha disebut sanama, terdiri dari makanan-makanan yang terbuat dari hasil-hasil kebun termasuk sagu, beras, pisang dan akar umbi yang dicampur dengan ayam dan ikan. Hidangan istimewa aroha berfungsi sebagai simbol-simbol tubuh manusia dan mempunyai signifi kansi istimewa bagi penduduk Pelauw. Signifi kansi itu adalah sebagai berikut:
- Jawada (bokol) menyimbolkan paru-paru
- bowsprit (papananan) menyimbolkan limpa manusi.
- Pau meit menyimbolkan taliporo atau usus manusia
- Halua kenari menyimbolkan jantung manusia
- santan dan gula menyimbolkan darah manusia
Tradisi untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai Maulid adalah suatu ritual atau perayaan di kalangan komunitas Muslim di berbagai tempat. Tentu saja, hari kelahiran Nabi Muhammad (12 Rabi’ul Awal ) bukan salah satu dari hari raya Islam karena Islam hanya mengenal dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi, sekarang ini perayaan Maulid Nabi Muhammad telah menjadi bagian dari perayaan-perayaan di kalangan komunitas Muslim, dan perayaan itu sangat bervariasi di kalangan komunitas Muslim di berbagai wilayah. Tradisi memperingati hari lahir Nabi Muhammad muncul menyusul ekspansi Islam di luar jazirah Arab (Abdullah 2002: 28).
Berbeda dari praktek-praktek komunitas Muslim di Maluku Tengah dan di komunitas Muslim pada umumnya, yang merayakan maulid untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad, dengan inti fokus perayaan hanya sang Nabi, di negeri Pelauw, perayaan maulid atau aroha atau manian dilaksanakan dengan tiga fokus, yaitu Nabi Muhammad, para leluhur, dan para wali penyebar Islam. Ritual aroha di negeri Pelauw dilakukan dengan cara dan maksud yang berbeda dari yang dipraktekkan orang Muslim lain di negeri-negeri Maluku Tengah. Di tempat lain, ritual itu dilaksanakan sekali pada permulaan bulan Rabi’ul Awal; tetapi, di Pelauw, khususnya kelompok Islam yang biasa, sudah ada keputusan mengenai bulan Rabi’ul Awal yang dibagi ke dalam dua perayaan. Oleh karena itu, aroha dapat dibedakan sebagai perayaan yang bertujuan merayakan Maulid Nabi Muhammad dan sebagai perayaan untuk mengenang wafatnya Nabi Muhammad, menghargai para leluhur dan para wali. Di kalangan KMH, ditemukan bahwa bagi komunitas lokal, penghormatan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya adalah suatu keharusan (mutlak), dan Ali memiliki posisi penting dalam keluarga Nabi Muhammad. Dalam praktek sosial sehari-hari KMH di Pelauw, Ali merupakan simbol Islam yang disosialisasikan dari generasi ke generasi. Sebagai ilustrasi di dalam perkawinan, semua pengantin pria disebut dengan nama Alidan semua pengantin wanita disebut Fatima. Dalam kasus ini Ali mengacu kepada kemenakan dan menantu Nabi Muhammad, dan Fatimah adalah puteri Nabi yang menjadi istri Ali. Tradisi-tradisi religius KMH dan praktek-praktek sosialnya menunjukkan dengan jelas bahwa Islam di kalangan KMH adalah Syiah.
* Aroha berasal dari kata ’aroho’(Bahasa Hatuhaha), yang berarti pergi ke jalan roh. Aroha disebut manian atau kemanyian karena dalam praktek-praktek aroha, doa selamatan selalu dilakukan dengan membakar kemenyan (Taha Tualepe, berusai 58 tahun, tokoh komunitas Pelauw, 2009).
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan sebagai berikut: pertama, kaum Syiah adalah kelompok Muslim yang lebih tua di Maluku. Kelestarian eksistensi mereka terancam oleh hegemoni “politik integrasi agama” di Indonesia, yang menggeneralisasi Muslim Indonesian sebagai Sunni. Kedua, keberadaan KMH Syiah lewat riset ditemukan dengan jelas dalam ritus-ritusnya dan adat kebiasaan lokal komunitas itu. Ketiga, ritual itu adalah suatu cara untuk mengingatkan generasi-generasi masa kini pada berbagai peristiwa historis dan penurunan nilai-nilai yang ditemukan dari generasi-ke generasi. Ritual-ritual Ma’atenu dan aruho di kalangan HCM yang diteliti dan dicatat di dalam makalah ini tidak hanya menyajikan sejarah komunitas lokal, tetapi juga sejarah Islam (Syiah), sebagai pluralisme faktual dalam komunitas Islam Indonesia yang tidak dapat diabaikan dalam pembangunan peradaban bangsa.
Dikutip dari tulisan Yance Zadrak Rumahuru, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Ambon dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggarara