Berita
Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha [1/2]
Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha [1/2]
Pengantar
Sudah lama diidentifikasi bahwa praktek-praktek religius kelompok Syiah dan Sunni diposisikan sebagai pihak-pihak yang berlawanan dalam praktek keagamaan Islam, sesuatu yang tentunya tidak dijumpai di masa Nabi Muhammad. Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Agama telah menyatakan bahwa Islam yang dianut orang Indonesia adalah Ahlas-Sunnah wa al-Jam’aah atau singkatnya, Sunni. Hal itu didasari oleh beberapa alasan. Pertama, fakta bahwa dari segi kuantitas, total penganut Sunni Indonesia lebih besar daripada penganut Syiah. Kedua, para peneliti sejarah langsung mengaitkan sejarah Islam Indonesia dengan kaum Sunni.
Lagipula, ada usaha sistematis dari Pemerintah Indonesia, khususnya selama era Orde Baru, untuk mengintegrasikan unsur-unsur yang beragam atau berbeda yang dianggap berpotensi mengancam harmoni dan kesatuan bangsa. Karena itu, menurut saya, generalisasi komunitas Islam Indonesia sebagai Sunni sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari strategi politik integrasi dalam sektor agama, yang sebenarnya kurang masuk akal untuk masa kini, karena ada agama-agama dan tradisi-tradisi keagamaan yang beragam di kalangan komunitas.
Baca juga : Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha [2/2]
Mempelajari komunitas Syiah yang tersebar di Indonesia sangat penting mengingat:
Pertama, pendirian historis Islam di berbagai wilayah sangat dipengaruhi oleh komunitas Syiah.
Kedua, mencermati praktek-praktek tradisional religius sebagian besar komunitas Muslim Indonesia, dapat dikenali secara jelas eksistensi ajaran-ajaran Syiah.
Ketiga, mengikuti kecenderungan makro atau global perkembangan Islam, khususnya setelah Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini, orang mulai mengamati dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang pemikiran Syiah. Pemikiran para pemimpin Syiah seperti Imam Khomeini, Ali Shariati, Syed Hossein Nasr dan Murtada Mutahhari telah memunculkan minat yang lebih besar, teristimewa di kalangan muda Muslim baik dari komunitas Syiah maupun Sunni di seluruh dunia. [1]
Wacana mengenai para pemikir Syiah sudah mulai didiskusikan secara luas di Indonesia sejak awal 2000-an. Sejumlah universitas sekuler dan yang berbasis-iman menyelenggarakan diskusi dan seminar untuk membahas pemikiran para pemimpin Muslim berlatar belakang Syiah. Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, pada 2004 atau 2005, ketika saya sedang menjalani program master, juga menyelenggarakan diskusi dan seminar sehari mengenai Murtada Mutahhari yang dihadiri dengan bersemangat oleh para mahasiswa prasarjana dan tingkat sarjana dari berbagai perguruan tinggi yang ada di dalam dan di luar Yogyakarta.
Di sini, saya akan menunjukkan bagaimana kebudayaan Syiah mempengaruhi praktek-pratek keagamaan Muslim di Maluku. Makalah ini ditulis berdasarkan riset lapangan mengenai Islam di Maluku Tengah yang saya laksanakan pada 2009-2011. Berfokus pada Komunitas Muslim Hatuhaha (KMH) di Pulau Haruku, Maluku Tengah, [2] ditemukan bahwa praktek-praktek religius Islam di wilayah ini didominasi oleh kebudayaan Syiah. Sesungguhnya, secara historis komunitas Muslim di Maluku Tengah telah mengakui bahwa nenek moyang mereka adalah Syiah, meskipun sekarang ini mereka digolongkan sebagai Sunni. Hal ini terjadi sejak era orangtua mereka, setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945. Selain KMH di Pulau Haruku, khususnya di negeri Rohomoni, Kabauw dan Pelauw yang masih menganut tradisi Syiah, praktek-praktek religius berbasis Syiah masih ditemukan di kalangan komunitas Muslim yang lebih tua di Pulau Ambon dan Pulau Seram. Hal ini dapat dikenali dengan jelas dari ritual-ritual mereka yang yang dilaksanakan secara harian dan juga musiman.
Baca juga : Jejak Pengaruh Syiah di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar dan Mandar [1/4]
Keberadaan praktek-praktek ritual itu adalah wilayah yang bagus untuk memahami eksistensi kelompok komunitas Syiah di wilayah individual. Hal ini karena melalui pelaksanaan ritual, mereka mampu mengkomunikasikan dan mencerminkan keberadaan mereka,atau saya lebih senang menyebut hal itu sebagai media konstruksi dan reproduksi identitas.[3] Ritual sebagai suatu medium untuk konstruksi dan reproduksi identitas memberi informasi mengenai hal-hal menyangkut kehidupan sosial komunitas atau para individu.Dalam kasus ini, pelaksanaan ritual menyajikan aneka unsur, termasuk peristiwa-peristiwa masa lampau yang diberi makna yang baru (Rumahuru 2012: 99). Konsisten dengan pemikiran ini, untuk memahami tradisi-tradisi budaya dan religius kelompok Syiah di Maluku, saya mempelajari dua ritual musiman KMH di Pulau Haruku, Maluku Tengah.
Bersambung………..
Dikutip dari tulisan Yance Zadrak Rumahuru, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Ambon dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggara
Catatan Kaki
1⋅ Ada tiga faktor penyebab mengapa orang muda Islam tertarik kepada ajaran-ajaran dan pemikiran-pemikiran Syiah, antara lain:
pertama, mereka melihat Syiah sebagai suatu ajaran yang mengandung poin-poin yang masuk akal. Orang muda sering melakukan eksperimen dengan menggunakan keahlian penalaran, dan pada titik ini, ditemukan arena diskusi. Penggunaan keahlian penalaran oleh komunitas Syiah untuk mengenali sisi buruk atau baik dari sesuatu dianggap orang muda sebagai hal realistis yang perlu diikuti;
kedua, mereka mengenali isu kepemimpinan di Syiah, yang menghendaki kriteria khusus dari sang pemimpin (imam) yang didasarkan pada kecakapan intelektual, terlihat dari karya-karya mereka, dan mereka dianggap lebih menarik dan lebih cocok dengan semangat demokratis dan lebih menghargai hak-hak manusia sebagai simbol negara modern;
dan ketiga, mereka mengenali spiritualisme di dalam Syiah sebagai alternatif untuk mengatasi tekanan kehidupan, sesuai dengan aneka masalah kehidupan yang terus menerpa era modern. Lihat M. Hamdan Basyar, “Bila Syi‘ah di Indonesia Berpolitik” dalam Syiar, edisi Muharram 1423 H, No.12.
2. Istilah Komunitas Muslim Hatuhaha, yang mulai dari sekarang disingkat sebagai KMH digunakan dalam makah ini, mengikuti konstruksi komunitas lokal, dan juga membedakannya dari komunitas-komunitas Muslim lokal di Maluku Tengah dan komunitas-komunitas yang ada di Maluku, juga komunitas yang berasal dari Maluku dan komunitas yang berasal dari berbagai tempat lain di Indonesia atau di luar Indonesia, sekarang ini juga hidup hidup bercampur dengan komunitas-komunitas lokal di negeri-negeri Muslim Maluku.
3. Konstruksi identitas dan reproduksi identitas didefi nisikan sebagai bentuk-bentuk identifi kasidiri dan-kelompok dan signifi kansi di dalam suatu ruang sosial yang tersedia untuk menentukan eksistensi-diri atau-kelompok dari para individu atau kelompok lain (Rumahuru 2012: 99)
Baca juga : Rukun Iman Syiah Berbeda?