Berita
Kasus JIS, Antara Fakta dan Rekayasa
Masih ingat heboh pemberitaan media soal kasus kekerasan anak di JIS (Jakarta International School, kini; Jakarta Intercultural School)?
Senin (22/12) lalu, merupakan hari kelam bagi 5 pekerja JIS yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap salah satu siswa JIS. Beberapa pekerja sekolah JIS berkumpul menghadiri persidangan putusan itu. Mereka memberikan dukungan terhadap para terdakwa. Kekecewaan meliputi mereka selepas majelis hakim memvonis bersalah 5 rekan mereka dan menjatuhinya hukuman penjara 7-8 tahun plus denda. Dari keterangan beberapa pengacara dan juga rekan kerja terdakwa, banyak kejanggalan atas putusan yang dijatuhkan majelis hakim.
Hari berikutnya, Selasa (23/12) mereka kembali menghadiri persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu. Sidang kali ini adalah sidang terkait dua guru yang juga turut dilaporkan menjadi pelaku kekerasan seksual. Para staf JIS dan keluarga pun kembali turut memberikan dukungan, karena mereka yakin tersangka tidak bersalah.
Kejanggalan-demi kejanggalan persidangan itu juga diungkapkan Hotman Paris Hutapea. Pengacara kondang yang menangani kasus ini mengungkap, sama sekali tidak ada kasus sodomi seperti yang dituduhkan. (Hotman Paris Beberkan Keanehan Terbaru Kasus JIS)
Tidak hanya dukungan dalam bentuk moril, melainkan juga materiil diberikan kepada para pekerja yang telah dijatuhi vonis itu. Beberapa wali murid dan pekerja JIS berinisiatif mengumpulkan dana untuk dibagikan kepada 5 tersangka. Faiz Mercury, salah satu asisten guru (Classroom Assistant), di JIS turut memberikan dukungan terhadap mereka. Ia juga turut hadir memberikan dukungannya. “Mereka hanya korban fitnah, dan tulang punggung keluarga yang harus kita bantu,” tuturnya.
Hal itu diperkuat Rully Iskandar selaku ketua serikat pekerja JIS, yang juga berpendapat sama. “Saya yakin mereka tidak bersalah, kan terlihat jelas dari hasil 19 kali persidangan. Sementara terkait ‘saweran’ para guru dan wali murid, itu semua dilandasi rasa kemanusiaan karena mereka juga yakin bahwa tersangka tidak bersalah.”
Kejanggalan lain juga diungkapkan beberapa pengacara tersangka. Salah satunya Patra M Zen (Tuduhan Sodomi Tak Terbukti pada Kasus JIS) yang dalam wawancaranya dengan ABI Press mengungkap bahwa dalam kesaksian anak pelapor banyak yang janggal. Banyak lupa dan sebagainya. Selain itu, keterangan anak tidak bisa dijadikan alat bukti.
Kejanggalan lain diungkap Patra terkait salah satu tersangka bernama Azwar yang meninggal dunia saat berstatus tahanan kepolisian. “Keterangan tersangka dan terdakwa di persidangan mengaku disiksa, tapi penyidik kepolisian mengaku tidak pernah menyiksa,” ungkap Patra. Hal ini yang menurutnya juga harus diungkap kebenarannya. “Ada keterangan berbeda dan bertolak belakang, dan faktanya ada yang meninggal,” tambahnya. Sebab itu menurutnya harus segera dilakukan otopsi demi mencari kebenarannya.
Dalam pemberitaan di media, Azwar dikabarkan bunuh diri oleh pihak kepolisian, (Tersangka Kekerasan Seksual JIS Tewas Bunuh Diri) sementara foto-foto lebih menunjukkan keganjilan dan kuatnya dugaan telah terjadi tindak kekerasan daripada bunuh diri.
“Selama ini belum dilakukan otopsi, polisi beralasan keluarga tidak menghendaki dilakukan otopsi, padahal demi hukum walaupun keluarga melarang harus tetap dilakukan otopsi. Seperti halnya ketika orang tuanya melarang polisi menahan anaknya, polisi tetap harus menahan anaknya demi hukum,” ungkap Patra.
“Selagi belum diotopsi, orang akan selalu mempertanyakan hal itu,” pungkas Patra. (Malik/Yudhi)