Berita
Kasus Bully Presiden: Antara Keadilan dan Kemurahan Hati
Oleh: Salman Parisi
Kasus penghinaan presiden menarik perhatian publik karena dianggap menampilkan dua sosok yang berbeda jauh statusnya, ibarat bumi dan langit, yaitu antara seorang tukang kipas sate dan presiden.
Kasus ini telah melahirkan dua kubu berseberangan. Kelompok pertama menuntut keadilan dengan memproses hukum pelakunya tanpa memandang status si pelaku. Yang dilihat oleh kelompok ini adalah pelanggaran hukum yang ia lakukan. Tindakan ini diambil berdasarkan prinsip bahwa semua orang sederajat di hadapan hukum (equality before the law). Dengan demikian meski tersangka adalah seorang tukang kipas sate dan korbannya adalah Presiden tetap saja dalam kaitan hukum keduanya sederajat sehingga proses hukum harus terus dilanjutkan.
Kelompok yang kedua melihat dari sisi kemurahan hati atau kedermawanan karena melihat status si tersangka yang adalah seorang rakyat biasa, bahkan katanya dia menjadi tulang punggung keluarga, maka alangkah lebih baiknya korban dalam hal ini Presiden RI Bapak Jokowi berkenan untuk memaafkannya sehingga si pelaku bisa kembali menghirup udara kebebasan.
Dua kelompok ini tampak benar dan memiliki argumen yang kuat. Karena itu penulis ingin menilainya dari sudut pandang seorang tokoh besar Islam, Sayyidina Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah.
Ada yang menarik dalam perkembangan kasus ini adalah bagaimana sikap Presiden Jokowi yang dengan tulus mengundang orang tua MA ke istana untuk memberikan maaf 100 % kepada anaknya. Bahkan lebih daripada itu beliau juga memberikan uang saku kepada keduanya (Maaf Jokowi Untuk si Penghina Presiden).
Dari kasus ini kita bisa melihat ada hal yang harus dipahami dalam hubungan antara keadilan dan kemurahan hati sehingga kita bisa menerapkannya secara proporsional.
Masalah hubungan keadilan dan kemurahan hati telah menjadi perhatian serius berabad-abad yang lampau dari seorang tokoh besar Islam, yaitu yang menjadi pintu ilmunya Rasulullah Saw, Imam Ali bin Abi Thalib as.
Masalah hubungan antara keadilan dan kemurahan hati adalah terkait dengan mana di antara keduanya yang harus didahulukan? Dan dalam konteks apa salah satunya mesti didahulukan?
Di dalam Nahjul Balaghah seseorang bertanya secara kritis kepada Amirul Mukminin Ali as: Mana yang lebih utama, keadilan atau kemurahan hati? Pertanyaan di atas menyangkut dua sifat manusia. Manusia senantiasa membenci penindasan dan kezaliman. Pada saat yang sama, ia mengakui sedemikian tinggi tindak kebajikan dan kasih sayang yang dilakukan tanpa mengharapkan pahala atau balasan.
Jawaban umum tentu saja amat jelas dan mudah: kemurahan hati lebih utama dari keadilan, karena keadilan tiada lain adalah pemenuhan atas hak-hak orang lain dan menghindar dari menganiaya mereka; namun seorang dermawan secara sukarela mengorbankan haknya sendiri demi orang lain. Seorang yang adil tidak melanggar batas hak-hak orang lain alias dia melindungi hak-hak mereka dari keteraniayaan. Namun seorang dermawan mengorbankan haknya demi kepentingan orang lain. Oleh karenanya, kedermawanan niscaya lebih utama dari keadilan.
Dalam kenyataan sehari-hari bangsa Indonesia terkenal memiliki kemurahan hati yang luar biasa. Tengoklah, misalnya, kedermawanan bangsa ini pada bulan Ramadhan. Karena itu, dalam kasus penghinaan ini khalayak menginginkan bahwa Presiden Jokowi menjadi seorang yang dermawan dengan langsung memberikan permohonan maaf yang berdampak pada dihentikannya proses hukum MA sehingga dia bisa langsung menghirup udara bebas.
Sebenarnya, jawaban di atas tampaknya sangat sahih ketika kita menilai kedudukannya dari perspektif moralitas individu. Di sini, kedermawanan, lebih dari sekedar keadilan, merupakan tanda kesempurnaan manusia dan kemuliaan dirinya.
Namun bagaimana dengan kedudukan Presiden Jokowi sebagai seorang kepala negara yang tentu saja beliau menjadi teladan dalam penegakan hukum dan kelangsungan sistem bernegara? Apakah diijinkan misalnya dengan alasan kemurahan hati membebaskan koruptor hanya karena dia memiliki tanggung jawab keluarga? Di sinilah jawaban di atas mulai terasa bermasalah.
Dalam kondisi ini, jawaban Imam Ali berlawanan dengan jawaban di atas. Menurut beliau as dalam konteks bernegara keadilan harus lebih didahulukan daripada kemurahan hati atau kedermawanan. Ali as menyampaikan dua alasan lebih utamanya keadilan ketimbang kedermawanan. Pertama-tama, ia berkata, “Keadilan menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak, sementara kedermawanan memindahkan segala sesuatu dari gerak (alamiah) mereka.”
Sebab arti keadilan adalah bahwa kebaikan alamiah setiap orang harus dibalas; setiap orang harus diberi balasannya sesuai dengan karya, kemampuan, dan kualifikasinya. Masyarakat ibarat sebuah mesin yang setiap komponennya mempunyai tempat dan fungsi yang tepat. Dengan demikian, dalam perspektif ini Presiden Jokowi harus mendapatkan haknya berupa proses hukum terhadap penghinanya dan MA pun harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya.
Dalam kaitan ini kebaikan hati Presiden Jokowi akan bersifat tidak alamiah karena beliau tidak menuntut haknya sebagai pihak yang dirugikan. Karena kalau berbaik hati ibaratnya beliau memberikan hak alamiah penuntutan hukum beliau kepada si tersangka dalam bentuk pemberian maaf. Timbul suatu pertanyaan kenapa Imam Ali as memiliki sikap lebih mendahulukan keadilan daripada kedermawanan?
Kembali kepada jawaban Imam Ali as, alasan lain mengapa ia lebih mengedepankan keadilan ketimbang kemurahan hati adalah, “Keadilan adalah pelaksana umum, sementara kemurahan hati merupakan sesuatu yang meringankan secara khusus.”
Yakni, keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup: ia suatu jalan raya yang melayani semua orang. Tetapi, kedermawanan sesuatu yang khusus dan terbatas, yang tidak bisa selalu disandarkan. Dengan kata lain, dalam konteks ini, bila misalnya polisi lalu lintas mengutamakan satu kendaraan karena alasan kasihan atau saudaranya, maka jalan raya itu akan mengalami kemacetan dan kesemerawutan.
Dengan keadilan semua anggota masyarakat bisa mendapatkan hak-haknya atau bisa menuntut kepada pihak berwenang apabila hak-haknya dilanggar. Pola pikir ini didasarkan atas gagasan betapa sangat pentingnya stabilitas negara atau masyarakat.
Dengan demikian kita bisa memahami bahwa proses hukum terhadap MA dalam konteks keadilan umum, sementara pemberian maaf Presiden Jokowi adalah konteks pemberian maaf secara individual sebagai kemurahan hati beliau. Adapun proses hukum tentu saja berada dalam ranah pengadilan yang berwenang. Dengan pemberian maaf ini bisa saja proses hukum akan lebih ringan bagi si tersangka.
Kesimpulannya, dalam konteks bernegara keadilan harus didahulukan daripada kemurahan hati karena akan memberikan kepastian hukum. Sementara dalam konteks pribadi kemurahan hati bisa saja didahulukan. Keadilan akan memberikan kepastian hukum, sementara kemurahan hati akan membuat hukum lebih manusiawi. (Salman/Yudhi)