Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Kasito, 35 Tahun Jajakan Cobek di Jakarta

Kasito Menjual Cobek di Jakarta

Sukito penjual Cobek di JakartaPagi masih buta saat lelaki paruh baya itu menyiapkan pikulan bambunya. Ditatanya bertumpuk satu-satu cobek batu cadas berbagai ukuran ke dalam keranjang bambu kecilnya. Cobek ukuran besar ditaruhnya paling bawah sebagai landasan cobek ukuran lebih kecil. Bentuknya jadi mirip candi kecil. Namun hanya sepuluh cobek yang muat di keranjang kecil berdiameter sekitar 40 cm itu.

Lelaki beranak dua itu sebenarnya ingin membawa lebih, tapi pengalamannya puluhan tahun keliling menjual cobek batu membuatnya berhitung. Berat cobek batu cadas yang dibawanya tak boleh melebihi berat tubuhnya yang cuma 60 kg. Itu triknya.

Kasito, itulah nama lelaki paruh baya asli Kebumen ini. Sejak tahun 1979 ia ikut bosnya di Cempaka Putih menjadi tukang menghaluskan cobek batu kiriman dari kampung sekaligus memasarkannya ke toko-toko langganan.

Sekarang, Kasito menjual sendiri cobek dari bosnya ini di pasar-pasar rakyat dan di sudut-sudut kampung Jakarta. Dari bosnya ia menambah separuh harga untuk laba. “Kalo ulekannya, jual Rp. 5.000,- dapetnya separoh. Kalau cobeknya, misalnya yang harga Rp. 20.000,- dapetnya separoh juga,” ujar Kasito.

Menjual di Pasar dan Keliling Kampung

Di mess tempat bosnya, Kasito tinggal bersama lima orang rekannya yang juga menjajakan cobek batu ini. Mereka keluar sejak pagi buta. Biasanya mereka menyebar ke berbagai pasar tradisional di berbagai penjuru Jakarta. Dari Cilincing, Priok, Senen, Grogol, Cililitan, Jatinegara, hingga Blok M, Pesing, dan Cengkareng mereka jelajahi untuk menjajakan cobeknya ini.

Kasito mengaku tak punya lapak sendiri. Namun jika ada lapak yang kosong, ia memakainya sementara. Saat ABI Press menemuinya di Pasar Gaplok, Kramat Pulo Senen, Kasito menggelar dagangannya di lapak penjual ikan asin yang sedang tidak jualan.

“Ini lapak tetangga saya, penjual ikan asin. Orang Kebumen juga,” ujar Kasito. “Kalo gak ada lapak yang kosong, ya… kita nyempil di mana gitu, di pasar.”

Namun menjajakan dagangan di pasar hanya separuh dari kisah Kasito. Sebelum dzhuhur biasanya ia dan sesama penjual lainnya keluar dari pasar yang sudah sepi dan berkeliling ke perkampungan padat penduduk untuk menawarkan cobeknya.

Kasito mengaku zaman Soeharto pendapatannya lebih baik dibanding masa sekarang untuk memenuhi kebutuhan. “Lebih lancar dulu rejekinya. Bisa dapat Rp. 1.000,- sampai Rp. 2.000,-” aku Kasito. Namun meski pendapatannya tidak sebaik dulu, Kasito mengaku justru sekarang penjual cobek batu di Jakarta ini semakin banyak.

“Yang paling banyak dari Kebumen, ada 50-an orang. Paling banyak kedua dari Cirebon, ada 30-an orang, belum yang lainnya,” tutur Kasito.

Menurut Kasito, cobek batu itu berbeda kualitasnya. Dari yang paling jelek yang dibuat dari semen, lalu yang medium dari batu cadas, dan yang paling bagus teruat dari batu kali yang berwarna hitam. Menurut Kasito, banyak orang yang tak bisa membedakan antara cobek dari semen dan dari batu. “Bedanya ada pada bentuknya yang halus, kalau yang dari batu itu kasar. Juga berat dan kerasnya beda.”

Namun menurut Kasito baik cobek yang asli dari batu maupun dari semen, keduanya aman digunakan, asal sebelumnya dicuci bersih terlebih dahulu. (Muhammad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *