Berita
Kang Rahmat, Lewat Seni Merekam Aksi
Berkunjung ke daerah Dago Pojok di Kota Bandung tentulah kurang afdhol jika tidak bertandang ke sebuah perkampungan yang kini mulai dilirik wisatawan domestik maupun mancanegara. Ya, Kampung Kreatif, begitulah biasanya disebut, menawarkan alternatif wisata kota dengan mengajak pengunjung terlibat proses pembuatan berbagai kerajinan tangan maupun menyaksikan atraksi daerah seperti silat tradisional.
Siapakah inisiator Kampung Kreatif Dago Pojok? Adalah Rahmat Jabaril (46), seorang aktivis sejak era Orde Baru yang akrab disapa Kang Rahmat. Ia tidak hanya dikenal luas sebagai seniman, tetapi juga orang pergerakan tulen.
Ditemui di rumahnya yang sederhana namun penuh akan koleksi buku bermutu serta rupa-rupa lukisan dan hasil kriya, Kang Rahmat menceritakan bagaimana dirinya terlibat dalam pergolakan selama menjelang Reformasi 1998. “Wah iya di zaman itu mah Kang Rahmat sama temen-temen seniman dan aktivis lainnya harus hidup pindah-pindah ngehindarin intel”, ujarnya santai di ruang tengah.
Tidak salah memang jika pria berambut gondrong ini tinggal tak menentu pada era Soeharto karena ia aktif mengorganisasikan seniman, intelektual, dan aktivis pro-demokrasi di Jakarta-Jawa Barat dengan membentuk budaya perlawanan. Salah satunya selain melalui musik adalah mendirikan kelompok studi Gerbong Bawah Tanah. “Gerbong Bawah Tanah ini mengajak mereka yang lebih tertarik bahasan filsafat progresif”, jelasnya. Tentu saja di mata pemerintah kala itu, tindak tanduk Kang Rahmat dinilai sebagai subversif.
Lantas, dengan segudang pengalaman hidup dalam memperjuangkan Reformasi, bagaimanakah cara pria kelahiran Bandung, 17 Agustus 1968 ini untuk tetap mendokumentasikan sejarah kecilnya agar dapat diwariskan ke anak cucu? “Karena di saat itu belum ada kamera, ya aku mah gambar aja setiap pengalaman yang ditemuin di jalan-jalan”.
Rupanya, Kang Rahmat benar-benar secara harfiah menggambar berbagai momen yang ia jumpai. Entah di rapat-rapat di kampus, riuhnya barikade massa, suasana rumah persembunyian, bahkan ketika situasi chaos sekalipun, dengan bakat seninya ia bisa segera membuat sketsa peristiwa yang dilihatnya langsung di tempat kejadian. Kemanapun dirinya pergi, kertas dan alat tulis adalah senjata wajib bagi pecinta buku satu ini.
Bagaimana jika misalnya Kang Rahmat lupa membawa kertas ketika tiba-tiba ada sebuah kejadian menarik, demo misalnya? “Pernah itu saya ada ricuh massa sama aparat di Jakarta kalo nggak salah, terus mau gambar nggak ada kertas, liat ada kalender di dinding toko, ya saya ambil buat gambar”, katanya tersenyum.
Tidak hanya kalender, dengan mencoba sedikit kreatif, spanduk atau apapun yang bisa dimanfaatkan pernah digunakannya sebagai sarana dokumentasi. Meski demikian usahanya merekam aksi massa bukan tanpa resiko. Beberapa kali aparat mencoba merampas gambarnya dengan alasan “untuk diamankan”. Sebagian berhasil disita pihak berwajib dan tak pernah kembali, sisanya ada yang rusak karena terkena hujan.
Sebagai dokumen bersejarah yang merekam rentetan aksi periode 1998, Kang Rahmat menjaga betul gambar-gambar itu dalam tempat khusus. Karena nilai otentisitasnya, gambar itu hanya boleh dilihat di tempat. “Ada keinginan juga sih dari saya buat membukukan gambar ini supaya bisa dibaca orang banyak,” selorohnya sambil menjelaskan sekilas beberapa momen historis di guratan penanya.
Sebagai contoh, ada gambar hasil liputan langsungnya ketika massa gabungan organisasi Partai Rakyat Demokratik, Forkot, dan Famred menggelar aksi menolak Sidang Istimewa (SI) pada masa pemerintahan BJ Habibie. Ada pula gambar suasana penggerebekan sebuah rapat kecil di taman kota Bandung.
Menurutnya, bahasa gambar jauh lebih mudah dipahami ketimbang narasi, terutama bagi pangsa pasar pembaca Indonesia yang lebih tertarik pada ilustrasi gambar. Sasaran utama dari proyek buku ini adalah generasi muda. Kang Rahmat mengharap, upayanya merekam sepenggal sejarah perjuangan bangsa ini melalui media seni rupa dapat menjadi inspirasi agar anak-anak tidak menjadi generasi yang amnesia sejarah.
“Apapun itu sih, seremeh apapun saya usahain setiap peristiwa diabadikan, penting buat diceritakan ke depan. Minimal buat sejarah pribadi. Anak muda juga harusnya begitu, apalagi sudah ada kamera canggih”, pesannya.(Fikri)