Berita
Kami Berziarah Bukan Menyembah Kuburan
Minggu (1/5), suasana pesarean (pekuburan) Pangeran Singosari atau lebih dikenal dengan Kiai Raden Santri di desa Gunungpring Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang tampak ramai didatangi peziarah. Pria-wanita, tua-muda, berjalan bergerombol melewati puluhan anak tangga menuju makam yang terletak di area perbukitan, lebih tinggi dari jalan dan pemukiman penduduk. Namun demikian, tak tampak raut wajah lelah peziarah meski terik matahari terasa menyengat.
Sesekali terlihat beberapa peziarah berhenti di depan kios sambil melihat-lihat pernak-pernik dagangan yang dipajang para penjual. Seperti lazimnya destinasi wisata, di kanan-kiri tangga menuju makam pun berderet kios-kios makanan, minuman, asesoris, pakaian, peci, perlengkapan salat, minyak wangi, bahkan ada pula alat-alat pertanian.
Di dalam area makam, para peziarah yang berkelompok sesuai asal mereka, silih berganti melantunkan doa dan wirid dengan khusyuk. Prosesi ini biasanya akan dipandu salah seorang di antara mereka sebagai imam.
Syahdu lantunan doa dan wirid bersahut-sahutan, serasa dapat meruntuhkan kerasnya hati akibat seringnya bergumul kehidupan duniawi belaka. Siapapun yang menyaksikan secara langsung suasana ini, biasanya akan ikut lebur hatinya, merendah di hadapan Sang Kuasa, dan bisa jadi tanpa disadari akan mengalirkan butiran-butiran air mata. Tak heran, ada juga di antara peziarah yang sampai sesenggukan sambil terus mewiridkan asma-asma Allah.
Menurut Rohmadi, salah seorang petugas penjaga makam, kelompok-kelompok peziarah itu datang dari berbagai daerah. Bahkan banyak pula yang berasal dari luar Jawa seperti Bali, Kalimantan, Sulawesi dan daerah lain.
“Memang para peziarah yang datang kemari dari berbagai daerah di seluruh Indonesia,” kata Rohmadi yang kemudian menyebutkan nama-nama daerah di Jawa dan luar Jawa.
Ketika ditanya apakah para peziarah di makam tersebut berasal dari kelompok Islam tertentu, Rohmadi mengatakan bahwa tidak benar jika dikatakan para peziarah yang datang hanya berasal dari kelompok Islam tertentu semisal dari kalangan orang-orang NU saja.
“Mereka bukan hanya berasal dari kelompok Islam tertentu saja. Bahkan yang non-Muslim pun ada yang datang ke makam ini dan berdoa sesuai dengan cara mereka. Itu hak mereka, dan kita tidak melarangnya,” tambah Rohmadi.
“Jadi, siapapun boleh datang dan berziarah di sini asalkan mereka tidak berbuat menyimpang, berniat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat atau tidak menghormati apa yang ada di makam ini.”
Jika ada peziarah yang datang dengan niat ngalap pesugihan, maka Rohmadi akan menegur dan berusaha menyadarkan orang tersebut.
“Dan sebagai contoh tidak menghormati apa yang ada di makam ini adalah ketika seseorang datang hanya untuk mengatakan apa yang terjadi di sini adalah bid’ah dan perbuatan syirik. Menganggap bahwa para peziarah adalah para pelaku syirik,” terang Rohmadi.
“Pernah ada orang yang demikian itu datang, tapi ketika itu kami tidak mengusirnya. Apa yang kami lakukan hanya menghindar dari orang itu ketika dia terus-menerus berceramah sesuai dengan pahamnya itu. Dengan berusaha menghindar maka lama-kelamaan dia akan pergi dengan sendirinya. Hal itu kami lakukan karena beberapa dialog dengannya hanya berujung pada pemaksaan pendapatnya sendiri saja. Hingga terakhir apa yang kami katakan kepada orang itu adalah agar dia menghormati apa yang kami yakini. Itu saja. Mengatakan apa yang kami lakukan adalah bid’ah, atau bahkan sampai mengatakan kami adalah golongan penyembah kuburan, hanya akan membuat hubungan menjadi renggang sebagai sesama ciptaan Allah.”
“Sungguh mereka benar-benar tega jika mengatakan kami adalah penyembah kuburan,” ulang Rohmadi.
Meski tujuan para peziarah tak dapat diketahui secara pasti karena hal itu ada di dalam hati masing-masing, namun pernah ada obrolan dengan beberapa peziarah berkaitan dengan hal ini, bahwa tujuan mereka melakukan ziarah di antaranya adalah untuk mendoakan para ulama yang ada di makam tersebut atau ingin berwasilah untuk beberapa hajat.
Hal ini sebagaimana dikatakan Mangun, salah seorang peziarah asal Pondok Pandanaran Jl. Kaliurang Km 12 Yogyakarta.
“Kolo wau nggih ndonga kagem leluhur, kagem ulama ingkang katah jasanipun kalian piyambak (tadi itu ya berdoa untuk leluhur, untuk ulama yang banyak jasanya kepada kita),” kata Mangun dalam bahasa Jawa khas Yogya.
Dilihat dari cara berpakaian dan cara bicaranya, Mangun tipikal orang kampung yang sederhana. Tapi, apakah dia boleh dicap bodoh sehingga tak paham seperti apa perbuatan menyembah kuburan itu? Bahkan dari kata-katanya pun kita sama sekali tidak menangkap kesan itu. Jadi tampaknya anggapan bahwa para peziarah itu penyembah kuburan adalah wujud sikap sekelompok orang yang suka merendahkan orang lain saja. (Malik AZ/Yudhi )