Artikel
Kajian – Kenikmatan Dunia yang Sementara
(لا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذينَ كَفَرُوا فِي الْبِلادِ (196) مَتاعٌ قَليلٌ ثُمَّ مَأْواهُمْ جَهَنَّمُ وَ بِئْسَ الْمِهادُ (197
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. (Surat Ali Imran, ayat 196-197)
Menjelaskan sebab turun ayat di atas, Ayatullah Makarim Syirazi dalam kitab tafsir Nemuneh berkata kebanyakan Ahli Mekah pada waktu itu berprofesi sebagai pedagang. Dengan profesi ini, mereka mendapatkan harta yang begitu banyak. Sehingga mereka bisa hidup dengan bahagia di sana. Dan hal ini juga terjadi dan dirasakan oleh orang Yahudi yang bertempat tinggal di Madinah. Di sana mereka terkenal sebagai orang-orang yang mahir berdagang. Ketika mereka pergi ke suatu tempat untuk berdagang tatkala kembali mereka mendapatkan untung yang berlimpah dari dagangannya tersebut.
Namun sayangnya pada waktu itu keadaan kaum Muslimin malah sebaliknya. Dikarenakan beberapa masalah seperti hijrahnya kaum Muslimin dari Mekah ke Madinah, dan embargo ekonomi kepada mereka yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, membuat mereka harus hidup sengsara, penuh kesusahan dan kesulitan. Perbandingan inilah yang membuat orang-orang beriman bertanya-tanya kenapa keadaan orang-orang kafir itu lebih baik dari keadaan mereka? Lebih jelasnya lagi, orang-orang kafir hidup berlimpah harta sedangkan orang yang beriman harus hidup dalam keadaan susah dan penuh dengan kesulitan. Hal seperti ini bisa menyebabkan keraguan bagi kaum Muslimin apabila tidak dijawab dan dijelaskan dengan benar.
Al-Quran dalam menjawab pertanyaan ini, pertama mengingatkan bahwa kondisi material orang-orang kafir jangan sampai menipu menipu diri kita. Karena penghasilan dan fasilitas tersebut adalah temporal dan bakal sirna. Sebaliknya, kesulitan hidup yang kita alami juga hanya sementara. Kedua, kesejahteraan duniawi yang dibangun atas dasar kufur akan berlanjut dengan siksaan akhirat yang pedih. Jika ingin membandingkan kondisi kita dengan kondisi mereka, maka hendaknya kita juga melihat kesudahan kerja mereka.
Satu poin yang tidak boleh dilupakan bahwa barang siapa yang dalam kehidupan dunia bersikap serius dan istiqomah disertai ilmu pengetahuan, maka ia akan sukses. Tidak ada bedanya, apakah ia seorang kafir atau mukmin. Sementara siapa saja yang malas, maka dia akan menderita dalam hidupnya, baik dia itu mukmin ataupun kafir.
Oleh karenanya, akar kesuksesan orang kafir adalah kerja keras mereka, bukannya kekufuran mereka. Sebaliknya, jika ada orang Islam yang hidupnya sengsara, lebih dikarenakan kurang bekerja keras dan sungguh-sungguh, bukan disebabkan karena keislamannya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kekayaan dan kehidupan orang-orang kafir jangan sampai membuat mata orang orang mukmin gelap dan terpedaya.
2. Dalam membandingkan kondisi orang, maka hendaknya kita melihat kondisi di dunia dan di akhirat.
3. Kesejahteraan dunia hanyalah sementara. Oleh karenanya, hendaknya kita lebih fokus kepada kesejahteraan yang abadi.
Fakhrur Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib mengatakan bahwa sifat kenikmatan dunia itu fana (sementara) yaitu bahwasanya suatu saat kenikmatan dunia ini akan terputus. Jadi kenapa kenikmatan dunia digambarkan dengan kata qillah, karena kenikmatan dunia selalu dibayang-bayangi oleh kerusakan dan keterbatasan. Jadi apabila dibandingkan dengan nikmat akhirat yang abadi maka kenikmatan dunia itu tidak ada apa-apanya.
Selain itu bila kita melihat akhir dari ayat surah Ali Imran ayat 197, kita memahami bahwa tempat kembali orang-orang kafir adalah neraka Jahanam dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. Untuk apa bahagia di dunia yang fana namun sengsara di akhirat yang kekal.
Maka dari itu kita sebagai kaum Muslimin hendaknya tidak boleh terperdaya dengan kenikmatan dunia yang dimiliki orang lain. InshaAllah, dengan memperbanyak ikhtiyar, penuh semangat, berdoa dengan hati tulus, dan pasrah kepada Allah swt, kita tidak hanya akan mendapatkan kenikmatan dunia saja akan tetapi juga kesejahteraan akhirat yang abadi. (AM/Sutia)