Berita
Juminah dan Suhaiti: Kembalikan Suami Kami
Sejauh mata memandang, tampak hamparan sawah menghijau dan pohon-pohon kelapa di pinggir pantai berpasir putih, biru laut membentang hingga ke batas cakrawala. Angin sepoi dan udara segar di sepanjang jalan desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang Banten ini sungguh mendamaikan hati.
Namun apakah kisah warganya sedamai dan seindah alam tempat mereka tinggal?
Namanya Juminah, wanita berumur 35 tahun yang memiliki empat orang anak ini, sudah ditinggal suaminya empat bulan lebih. Sejak 3 Oktober 2014, suaminya, Damo, mendekam di penjara bersama dua nelayan lainnya, Misdan dan Rahmat karena menangkap ikan di laut pulau Handeuleum, Ujung Kulon.
Dan selama itu pula Juminah terpaksa sendirian mencari nafkah, meski dalam keadaan mengandung lima bulan.
“Saya denger suami ditangkap dari saudara,” aku Juminah saat ABI Press mendatangi rumahnya. “Sebelumnya ya cuma bilang mau ke laut.”
Menurut penuturan Juminah, suaminya itu baru-baru ini saja melaut. Karena menjelang Lebaran Qur’an ingin cari tambahan rejeki. Melaut bukanlah mata pencaharian utamanya. Sehari-hari sebenarnya Damo lebih banyak mencari nafkah di darat.
“Suami saya itu baru ke laut. Baru tiga kali, itu pun masih mabuk-mabuk,” tutur Juminah. “Lebih banyakan ya tani. Paling ke hutan ambil kayu. Kadang-kadang cari ‘supa,’ jamur yang nempel di kayu untuk makan. Dimasak di rumah. Kadang ambil madu, ‘nyiru‘ di belakang rumah. Cuman segitu aja.”
Meski suaminya sudah 10 kali disidang, Juminah mengaku hanya baru tiga kali menjenguk. “Saya pingin ketemu suami ya, tapi ya namanya gak punya duit, ya udah. Untung ada yang ngongkosin,” tutur Juminah.
Juminah juga mengeluh ketiadaan suaminya membuatnya kebingungan kala hujan mengguyur. Rumah yang ditempatinya hanyalah rumah panggung dari kayu berdinding bilik bambu dan beratap rumbia. Ia mengaku banyak yang bocor, tapi bagi perempuan yang sedang mengandung 5 bulan mana sanggup menambalnya.
“Ada bocor di dalem. Biasanya Bapak yang nambal. Tapi sekarang Bapak gak ada. Paling ya saya nungguin Bapak,” ujar Juminah. “Saya ya pingin suami cepet pulang. Kalau tidak, siapa yang kasih saya nafkah sama anak saya?”
Di belakang rumah Juminah, sekitar sepuluh meter dari dapur belakang, badan perahu berukuran 1×9 meter teronggok ditutupi plastik. Mesin pendorong kapalnya hilang dicopot polisi. Raib juga jaring dan alat pencari ikan lainnya dijadikan barang bukti di pengadilan.
Suhaiti, si Penganten Baru
Lain Juminah, lain pula cerita Suhaiti. Dia istri Rahmat, nelayan yang juga ikut ditahan berbulan-bulan di penjara hanya karena berusaha mencari rejeki tambahan untuk menyambut Lebaran Idul Adha. Mereka terpaksa tak bisa menikmati masa penganten barunya.
Suhaiti, wanita muda yang baru berumur 18 tahun ini baru empat bulan menikah dengan Rahmat, namun tiba-tiba dipisahkan dari suaminya ini karena Rahmat diciduk Polhut Taman Nasional Ujung Kulon.
ABI Press menemui Suhaiti di Pengadilan Negeri Pandeglang yang kala itu sedang berbincang-bincang dengan suaminya yang berada di balik jeruji dalam persidangan yang ke-9 kalinya.
“Ya, kaget lah. Gak nyangka suami saya ditangkap padahal kan warga biasa cari ikan di laut,” tutur Suhaiti saat ditanya mengenai suaminya. “Baru tiga kali saya jenguk. Kalo sering emang duit darimana? Kan ongkosnya mahal. Satu orang 80 ribu pulang-pergi. Itu aja uang dapet dari sawah, atau pinjem dari tetangga.”
“Ya harapan saya sebagai istri ya pengen suami cepet pulang, pingin cepet dibebasin. Ini udah tiga bulan setengah lebih,” ujar Suhaiti penuh harap.
Juminah dan Suhaiti harus menanggung derita karena penangkapan suami mereka oleh Polhut TNUK. Atas alasan melanggar batas wilayah konservasi yang tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat setempat, TNUK mengkriminalisasi masyarakat yang mengais rejeki di alam tempat mereka hidup turun-temurun. Sementara di sisi lain, kapal-kapal pengebom yang berseliweran di depan pos Polhut TNUK malah didiamkan.
Di tengah limpahan hijau hutan dan biru lautan yang kaya di Ujung Kulon ini, masih ada masyarakat kecil yang menjerit dan dihimpit ketidakadilan, kemiskinan dan pemiskinan.
Kepada siapa Juminah dan Suhaiti dapat berharap pembelaan? Rakyat, tokoh, dan aktivis yang mana siap membela kriminalisasi Polhut atas suami-suami wong cilik itu, seperti halnya kasus kriminalisasi oleh Polri yang konon sedang menimpa KPK? (Muhammad/Yudhi)