Berita
Jilbab Dipandang dari Berbagai Aspek
Berbagai sumber menyebutkan, tanggal 4 September merupakan Hari Solidaritas Jilbab Internasional.
Bermula dari munculnya keputusan pemerintah Perancis yang menyatakan melarang jilbab di institusi-institusi pendidikan dan institusi publik, reaksi solidaritas Muslim di Eropa pun bermunculan, yang kemudian mereka berkumpul di London, Inggris untuk menggelar konferensi mendukung jilbab. Lalu, terbentuklah sebuah kesepakatan bersama untuk mendeklarasikan Hari Solidaritas Jilbab Internasional pada 4 September 2004.
Terlepas dari valid atau tidaknya data itu, tim ABI Press tak ingin melihat lebih jauh permasalahan itu, melainkan ingin membahas tentang makna jilbab dipandang dari berbagai aspek.
Sosial dan Budaya
Dalam hal ini, ABI Press terhubung dengan aktivis perempuan yang juga Dosen di Univertitas Muhammadiyah Surakarta, Dr. Phil Dewi Candraningrum dalam menilai beberapa aspek terkait jilbab.
“Sekarang, bagaimana masyarakat akan mendefinisikan perempuan yang beragama Islam? Atau guru yang beragama Islam?” tanya Dewi. Maka, jawab yang sering didapat adalah perempuan yang berjilbab. Ujaran ini kemudian menjadi semacam tubuh-sosial Islam (Sozialkoerper des Islam) yang menempati peringkat superior dibanding definisi lain.
Masyarakat kontemporer Indonesia, paling tidak, tentu masih bisa menemukan orang yang mengaku dirinya Islam, tetapi tidak berjilbab. Mereka adalah partikularitas-partikularitas yang berada di luar habitus (naluri/insting), dan semangat spiritualitas dan religiositasnya tidak dianggap sebagai Islam karena tidak berjilbab.
Ekonomi/Kapital
Realitas makna tubuh yang paling suci sekalipun, akan mengalami perjalanan banalnya dalam definisi kapital. Dewi menggambarkan, bagaimana lukisan Yesus yang suci itu menjadi sangat profan (tidak bersangkutan dengan agama, dan tujuan agama) dalam pasar lukisan. Bagaimana pula jilbab yang merepresentasikan kesederhanaannya itu bisa nangkring di mall dengan harga yang sangat mahal karena bermanikkan berlian, dan, masyarakat sekarang tidak bisa lagi mengatakan bahwa pemakai jilbab tidak mungkin korupsi.
Politik
Dalam hal politik, Dewi menerangkan, dus, tubuh merupakan kosmologi utuh, merupakan etik, merupakan metafisik, merupakan politik yang saling bersentuhan satu dengan yang lainnya. Dengan ini daging juga merupakan bentuk lain dari sebuah pekerjaan berfikir. Contoh ini dapat dilihat dari jilbab yang dipakai oleh mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani, bagaimana secara metafisik dia menggambarkan dirinya sebagai manifestasi Ratu Adil, pada akhirnya ia tersangkut juga dalam masalah korupsi. Secara politik, jilbab merupakan “catch-voter” dan trik politik paling kontemporer yang dinilai berhasil mendulang suara. Jilbab merupakan kapital politik.
Etik
Secara etik, bagaimana jilbab mendefinisikan dirinya bahwa pemimpin perempuan akan lebih berwibawa di depan staf jika memakai jilbab.
“Secara seksual, jilbab melindungi dia dari segala bentuk pelecehan,“ kata Dewi..
Jilbab merupakan habitus yang memiliki ragam dimensi makna, yang dilahirkan oleh si pemakainya, yang dipengaruhi dari caranya memandang dan menilai tubuhnya.
Agama Islam
Berbicara soal hijab (jilbab) sebagai penutup aurat bagi perempuan ini, terkait juga dengan masalah fikih, yakni hukum fikih. Yang jika diabaikan tentu akan bermasalah dalam penerapannya.
Dalam bidang agama, ABI Press mewawancarai seorang ulama, yang juga dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI), Depok Jawa Barat bernama Abdurrahman Baragbah. Menurutnya, aurat itu ialah sesuatu yang harus ditutup dan orang lain tidak boleh melihat atau memandang. Dalam hal ini semua Muslimin sepakat, bahwa yang diperbolehkan terlihat dari seorang wanita Muslimah adalah telapak tangan dan wajah. Sehingga mereka wajib menutupi tubuhnya selain wajah dan telapak tangan.
Dalam pembahasan aurat sendiri masih ada pembagiannya; antara mahram dan yang bukan mahram. Hal itu dijelaskan dalam Ayat Al-Qur’an yang tegas dalam berbicara soal jilbab dan penutupan aurat di surah An-Nur.
Hal lebih terperinci bisa ditelusuri dalam hukum fikih, namun yang kita bicarakan saat ini menyangkut perempuan pada umumnya, yaitu seorang perempuan dewasa yang berkewajiban menutup auratnya.
Dalam agama Islam, menutup aurat bagi perempuan tidak hanya sebatas menutupi bagian tubuh kecuali telapak tangan dan wajah saja, namun juga pakaian yang dikenakan tak membentuk lekuk-lekuk tubuh.
“Ini masih sering terjadi, orang menutup aurat tapi berpakaian ketat. Nah hal ini tidak dibolehkan,” kata Abdurrahman.
Kemudian warna pakaian diharuskan berbeda dengan warna kulit. “Orang yang mengenakan pakaian yang sama dengan kulitnya, apalagi ketat itu, seperti tidak memakai pakaian saja, dan itu sering dipamerkan di film-film. Ketika dilihat dari jauh seperti telanjang, karena pakaiannya ketat dan sama dengan warna kulit,” tambahnya.
Selain aurat yang bisa ditutup oleh pakaian, sebetulnya ada aurat lain bagi seorang perempuan Muslimah, yaitu dalam hal berbicara dan tingkah lakunya.
“Ia harus menjaga sikapnya. Jangan berbicara dengan nada yang menarik lawan jenis, sehingga laki-laki menilai si perempuan bisa diajak bermaksiat meskipun pakaiannya menutupi aurat ataupun tertutup rapat auratnya,” pungkas Abdurrahman.
Jadi aurat dalam hukum Islam yakni menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan
telapak tangan, kemudian tidak mengenakan pakaian-pakaian yang ketat, dan tidak satu warna dengan tubuh.
Selain itu yang perlu dijaga seorang Muslimah dalam masalah aurat ialah menjaga tatacara berbicara dan bertingkah laku, jangan dengan gaya yang menarik bagi lelaki yang bukan mahram.
Itulah beberapa hal yang harus dihindari oleh perempuan Muslimah dalam menutup dan menjaga auratnya selain dengan jilbab.
Non-Islam
Sementara untuk mendapatkan pandangan wanita non-Muslim, tim ABI Press sempat menemui Kristiana, seorang penganut agama Katholik di Jakarta.
Sudah sekitar 20 tahun ia mengabdikan dirinya di Biara (Keluarga Kudus) Pusat, bernama Santo Dominikus. Baginya, seorang perempuan yang berjilbab adalah Muslimah yang menjalankan kewajibannya. “Nuansa agama hidup dalam agama mereka,” kata Kristiana.
Dalam hal jilbab, Kristiana yang menjadi Suster di Biara tersebut juga mengenakan penutup kepala (rambut). Tak jauh beda dengan Muslimah yang memakai jilbab demi menutup auratnya.
“Kami hidupnya mengikatkan diri kepada Tuhan, Tuhan yang tidak kelihatan, sebagai pengabdian, karena dengan mengabdi, waktu kami berdoa menjadi lebih banyak,” ungkap Kristiana.
Sementara menurut Kristiana, rambut yang ia tutupi memiliki makna tersendiri. “Yang ditutup rambut, rambut adalah mahkota wanita. Jadi kami tidak lagi mencari kecantikan diri, kami tidak mencari itu lagi, kami hidupnya untuk mengabdi,” tegas Kristiana.
Bagi Kristiana, menjadi Suster tidaklah mudah. Ia harus mengabaikan kesenangan-kesenangan yang bersifat duniawi, yang kemudian ia tunjukkan salah satu dalam prakteknya dengan menutup kepala untuk tak memperlihatkan rambut yang menjadi simbol mahkota dan kecantikan wanita.
Pemakai Jilbab
Sementara itu, Suci Fitriah Tanjung, perempuan Muslimah yang tengah menempuh pendidikan di sebuah universitas di Jakarta ini memilih memakai jilbab dalam aktivitas keseharianya. Awalnya, ia memakai jilbab bukan lantaran ingin menjalankan perintah agama. “Tapi untuk menutupi potongan rambut yang terlalu pendek waktu SMA,” kata Suci. Namun, lama-lama menjadi kebiasaan dan komitmen untuk terus mengenakan jilbab.
“Tapi aku sadar, itu langkah awal bagiku untuk melindungi diri, disamping memang itu diwajibkan. Kalau pun ada embel-embel pahala dari Allah itu aku anggap bonus saja. Kalau sudah begitu, ya berkerudung atau berjilbab jadi lebih ikhlas,” pungkas Suci kepada ABI Press. (Malik/Yudhi)