Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Jihad: Teori vs Praktik ( Seri I )

Slide1Sekali lagi soal Jihad: Ketegangan antara Teori dan Praktik

(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

1.1. Latar Belakang Masalah

Insiden pengeboman dua menara kembar WTC dengan menggunakan pesawat yang terjadi awal milenium lalu mencuatkan kembali polemik ihwal konsep dan praktik jihad menurut Islam. Meski polemik ini telah ada sejak lama dalam khazanah pemikiran Islam, tapi serangkaian peristiwa pasca 11 September yang berpuncak dengan perang saudara di Irak dan Suriah (yang dipandang sebagai jihad oleh sebagian) mengantarkan topik ini dalam konteks yang lebih luas dan lebih serius.

Osama bin Laden, pucuk pimpinan dan ikon Al-Qaedah yang menjadi organisasi induk dari berbagai gerakan Islam berbasis ideologi Wahabi, mengakui keterlibatannya dalam peristwa 11 September (CBC, Oktober 2004). Dalam rekaman video lain yang ditayangkan sejumlah jaringan televisi internasional pada tanggal 27 Desember 2001, Osama bin Laden menyatakan bahwa, “Terorisme atas Amerika layak untuk disanjung karena ia merupakan respons terhadap ketidakadilan, bertujuan untuk memaksa Amerika menghentikan dukungannya atas Israel, yang membunuh umat kita.” (CBC, Oktober 2004).

Konsep dan praktik jihad model Al-Qaedah mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh gerakan Islam. Jihad untuk melawan kaum kafir di seluruh dunia merupakan tujuan yang disahkan oleh sejumlah ulama dengan kecenderungan ideologi Wahabi. Salah satu tokoh yang ikut mendukung konsep dan praktik jihad Al-Qaedah adalah Abu Bakar Ba’asyir. Osama bin Laden disebutnya sebagai “pejuang” yang akan masuk surga karena “pengorbanan-pengorbanan besar” yang diberikannya bagi Islam, kata Abu Bakar Ba’asyir beberapa saat setelah kematian Osama bin Laden.
Ba’asyir kemudian menyatakan bahwa bin Laden adalah “mujahid besar.” Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI), Ahmad Shobri Lubis, dalam tahlilan mengenang kematian Osama bin Laden di markas syariah FPI menganggap Osama telah mati syahid. (Yahoonews.com, 2011).

Di Indonesia, setahun setelah peristiwa WTC di atas, terjadi peristiwa bom bunuh diri pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 di kota kecamatan Kuta, pulau Bali, Indonesia. Peristiwa ini menelan 202 korban jiwa dan menciderai 209 yang lain, kebanyakan merupakan wisatawan asing. Setelah peristiwa bom bunuh diri di Bali 2002 itu, Indonesia terus mengalami berbagai bom bunuh diri lain, termasuk beberapa kali di Ibukota Jakarta. Otak pelaku maupun para pelaku yang ikut tewas dalam peristiwa itu semuanya mengaku melaksanakan jihad di jalan Allah dalam memerangi orang-orang kafir. (Kompas, Juni 2011).

Namun demikian, di sisi lain, kita menyaksikan sejumlah ulama dan gerakan Islam lain yang menentang konsep dan praktik jihad model Al-Qaedah atau Jamaah Islamiyah ini.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi dan Muhammad al-Sayyid Thanthawi mengutuk aksi-aksi tersebut. (Situs The American Muslim, 2009).

Pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei, dan ulama Syiah Irak, Ayatullah Ali al-Sistani, sama-sama mengutuk aksi tersebut. Al-Sistani bahkan mengeluarkan fatwa yang memerintahkan seluruh Muslim untuk mematuhi hukum yang berlaku di tiap negara yang ditinggalinya. “Setiap Muslim dan Muslimah harus bertindak demi kepentingan tertinggi negara tempat tinggalnya dan menjaganya dari segala tindakan yang membahayakan.” (Situs The American Muslim, 2009).

Yang lebih menarik, menurut catatan Amal Saad-Ghorayeb (2002), dalam hampir semua peristiwa di atas maupun peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi pada sasaran-sasaran sipil, Hizbullah Lebanon, sebuah gerakan Islam yang sering diklaim sebagai teroris oleh Amerika Serikat, pemerintah-pemerintah dan media massa Barat, justru selalu memberikan pernyataan kutukan.

Nawaf al-Musawi, ketua departemen luar negeri Hizbullah, Lebanon, secara tegas menolak serangan terhadap warga sipil World Trade Center. Dia mengecam tindakan itu sebagai aksi terorisme. Pernyataan resmi Hizbullah mengutuk aksi Al-Qaedah yang menyasar masyarakat sipil New York, tapi tidak memberikan pernyataan soal serangan ke Pentagon.

Hizbullah juga mengutuk rangkaian aksi pembantaian di Aljazair oleh kelompok bersenjata Islam GIA, serangan-serangan Al-Jama’ah Al-Islamiyyah, serangan kepada para wisatawan di Mesir, pembunuhan Nick Berg, pengeboman Gereja Koptik di Aleksandria (Situs Muqowama, 2011) dan yang terakhir pengeboman Bandara Moskow. (Amal Saad-Ghorayeb, 2002, hal. 20).

Hasan Nashrullah, sekretaris jenderal Hizbullah, dalam berbagai kesempatan mengutuk aksi-aksi kekerasan terhadap sasaran-sasaran sipil yang mengatasnamakan jihad. Dia juga mengungkapkan bahwa ada perbedaan mendasar antara sasaran-sasaran sipil dan militer di dalam dan di luar Israel.

“Di tanah pendudukan Palestina, kita tidak bisa membedakan antara sipil dan tentara, karena mereka semua adalah penjajah, perampok dan perampas tanah.” Sebaliknya, Hizbullah mengutuk keras seluruh aksi kekerasan, terutama bom bunuh diri, yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang berafiliasi dengan Al-Qaedah di tempat-tempat ibadah dan ruang-ruang publik lainnya, terutama di Gaza, Irak, Pakistan, dan Afghanistan terhadap kelompok-kelompok Muslim yang berbeda mazhab. (Amal Saad-Ghorayeb, 2002, hal. 24).

Hasan Nashrullah, dalam sebuah wawancaranya dengan televisi Al-Manar (Oktober, 2011), menyatakan bahwa musuh utama bangsa Arab dan umat Islam dewasa ini ada tiga: politik Amerika Serikat di Timur Tengah; gerakan Zionis; dan aliran takfiri (al-tayyar al-takfiri) yang cenderung mengkafirkan kelompok-kelompok Muslim di luar lingkaran sempitnya dan mendorong penggunaan senjata dalam merealisasikan program-program politiknya. Oleh karena itu, dia mengajak mayoritas Muslim Ahlus Sunnah, minoritas Muslim Syiah, dan minoritas Kristen di Timur Tengah untuk melawan ketiga musuh itu secara bergandengan tangan. (Situs Al-Manar, 2011).

Perbedaan konsep dan praktik jihad menjadi semakin rumit ketika dikaitkan dengan konsep takfir (pengkafiran) yang secara luas diadopsi oleh gerakan-gerakan Islam Wahabi yang bernaung di bawah Al-Qaedah.

Salah satu gerakan jihad yang dibentuk pada tahun 1990-an oleh Abu Mus’ab al-Zarqawi dengan nama al-Tawhid wa al-Jihad dan kemudian bergabung di bawah komando Al-Qaedah dengan jelas melancarkan aksi-aksi kekerasan terhadap mayoritas Muslim Syiah di Irak yang telah dikafirkannya. (Hassan Mneimneh, hal. 2-3).

Dalam pandangan kelompok-kelompok ini, takfir adalah cara efektif untuk mengidentifikasi sasaran jihad yang absah dan merupakan konsep yang khas dari ideologi Wahabi. Konsep inilah yang membawa gerakan-gerakan Islam di bawah metonimi Al-Qaedah memiliki kultur jihad yang sangat eksklusif. Ia tidak mengenal aliansi, koalisi atau sekadar kerjasama dengan kelompok yang tidak sejalan dengan ideologinya. Bahkan, dengan mudah kelompok ini dapat berpecah dan bertikai satu sama lain hanya karena salah satunya berkoalisi dengan kelompok-kelompok di luar lingkaran eksklusif ideologinya.

Di sisi lain, Hizbullah sebagai sebuah organisasi gerakan Islam tidak mengenal diskursus takfir dan dengan demikian tidak bermusuhan dengan kelompok-kelompok Muslim lain. Bahkan, ia menjalin hubungan politik dan strategis dengan kelompok-kelompok sekuler atau penganut-penganut agama lain. Muhammad Fnyasy, anggota legislatif dari fraksi Hizbullah di Parlemen Lebanon, mengecualikan kalangan sekuler yang “menghina prinsip-prinsip dan kesucian-kesucian Islam” atau yang memaksakan sekularisme sebagai ideologi negara. (Amal Saad-Ghorayeb, 2002, hal. 20).

Dalam kenyataannya, Hizbullah selalu melakukan aliansi, koalisi dan kerjasama dengan berbagai kelompok Muslim maupun non-Muslim lain dalam kerangka perjuangan politik dan militernya melawan Israel. Di pentas politik nasional Lebanon, misalnya, Hizbullah menjalin koalisi yang kuat dengan Gerakan Patriotik Merdeka (Free Patriotic Movement atau Al-Thayyar Al-Wathani Al-Hur) yang dipimpin oleh Jenderal Michel Aoun dari Kristen Maronit. Pada tahun 2006, Gerakan Patriotik Merdeka yang sudah berubah menjadi partai politik Maronit terpopuler, menandatangani memorandum kesepahaman dengan Hizbullah.

Untuk menghindari sensitivitas dan eksklusivitas dalam istilah jihad, Hizbullah lebih sering menggunakan istilah muqowamah (perlawanan, resistence) dalam pernyataan-pernyataan politiknya.

Implikasi serius lain yang muncul dari perbedaan pandangan dalam penerapan jihad ialah penentuan musuh dan wilayah yang diistilahkan oleh sejumlah teoritisi jihad dengan dar al-harb (wilayah perang) sebagai lawan dari dar al-Islam (wilayah Islam). Dalam konteks ini, kita dapat kembali melihat perbedaan pandangan yang mencolok antara Hizbullah dan Al-Qaedah. Mengikuti teori fiqih Syiah, Hizbullah tidak mengakui dikotomi yang dicetuskan oleh Abu Hanifah dan dikembangkan oleh Ibn Taymiyyah ini. Oleh karena itu, dalam pandangan Hizbullah, tidak terdapat legitimasi untuk mengangkat senjata melawan negara Lebanon. Malah sebaliknya, Hizbullah menuntut penguatan negara Lebanon dalam segala bidang, termasuk bidang militer. (Amal Saad-Ghorayeb, 2002, hal. 40).

Sebaliknya, dalam pandangan gerakan-gerakan Islam Wahabi yang bernaung di bawah organisasi induk Al-Qaedah, Lebanon termasuk dalam dar al-harb yang membolehkan diterapkannya jihad melawan negara. Hal ini, misalnya, bisa dilihat dari perilaku Fatah Al-Islam yang berafiliasi dengan Al-Qaedah di Lebanon. Pertempuran antara Fatah Al-Islam dan militer Lebanon di kamp pengungsi Palestina, Nahr Al-Barid, menurut Hassan Mneimneh, pada bulan Mei tahun 2007, menunjukkan jihad model Al-Qaedah terhadap konsep negara Lebanon. Dari berbagai pengakuan yang diberikan oleh para militan Fatah Al-Islam terungkap adanya rencana untuk mengumumkan berdirinya “imarah” di Lebanon utara dalam rangka mengguncang negara Lebanon. Mneimneh menjelaskan bahwa para pemikir dan ideolog Al-Qaedah mendukung dan memuji Syakir al-Absi, pemimpin Fatah al-Islam kelahiran Yordania yang selamat dari pertempuran tersebut. (Hassan Mneimneh, hal. 15).

Beberapa kasus di atas menggambarkan betapa kompleksnya konsep dan praktik jihad di kalangan gerakan-gerakan Islam, sehingga muncul pertentangan yang ekstrem antara aktor-aktor jihad.

Kompleksitas ini sering menimbulkan persepsi yang distorsif dan membingungkan tentang jihad di opini publik dunia, sehingga sering diidentikkan secara tidak adil dengan terorisme. (Musa/Yudhi) —(Bersambung).

 

Baca Juga Seri II di : Jihad: Teori vs Praktik (Seri II)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *