Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Jihad Melawan Hawa Nafsu

Di dalam Islam, sebaik-sebaik jihad adalah jihad melawan hawa nafsu. Nabi saw menyebutnya dengan kalimat ‘jihad akbar’. Jihad ini lebih utama dari jihad melawan musuh yang disebut sebagai ‘jihad ashghar’ (jihad kecil). Pada dasarnya, selama jihad akbar dalam arti sebenarnya tidak berlaku dalam diri manusia, maka jihad ashghar melawan musuh tidak akan mencapai kemenangan.

Diriwayatkan bahwa Nabi saw mengirim satu detasemen muslimin untuk berjihad di sebuah peperangan. Ketika mereka kembali dalam kelelahan dan luka-luka di tubuh, beliau menyambut kedatangan mereka seraya berkata, “Selamat datang, wahai kaum yang telah melaksanakan jihad kecil, tetapi masih ada tugas jihad besar bagi mereka!”

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jihad besar itu?”

‘Itulah jihad melawan diri (hawa nafsu),” jawab Nabi saw. (Wasail asy-Syiah, 11/122)

Imam Ali as berkata, “Pejuang sejati adalah orang yang berperang melawan hawa nafsu.” (Wasail asy-Syiah, hal. 124)

Imam Shadiq as berkata, “Siapa yang menguasai dirinya dalam beberapa hal: ketika berkeinginan, merasa takut, bernafsu, marah, senang, dan rela terhadap orang lain, niscaya Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka (artinya, ia menguasai kemauan dirinya sehingga perkara itu tidak memalingkannya dari seruan Allah)!”

Al-Quran mengisahkan berbagai peristiwa jihad akbar yang dilakukan para nabi dan kekasih Allah. Salah satunya, kisah Yusuf as dan cinta membara Zulaikha, istri Aziz, raja Mesir. Meski tidak menceritakan kejadiannya secara terperinci, al-Quran menjelaskan kedahsyatan gejolak itu:

Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya.
(QS. Yusuf: 124)

Keselamatan Nabi Yusuf as dari ujian-ujian yang dilewatinya adalah dikarenakan, pertama, beliau pasrah kepada Allah Swt dan berlindung pada kasih sayang-Nya. Beliau berdoa, “Aku berlindung kepada Allah.” Kedua, kesadaran untuk bersyukur atas kebaikan Aziz karena bisa tinggal di kediamannya, berkat karunia Allah yang telah mengangkatnya dari dasar sumur ke tempat aman dan nyaman, menggugah dirinya untuk merenungi masa lalu dan masa depan, tidak menyerah pada cobaan yang bersifat sementara. Ketiga, membangun diri dan penghambaan kepada Allah Swt secara tulus. Ini tersurat dalam ayat: Sesungguhnya Yusuf Itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf: 123)

Allah memberi Yusuf as kekuatan dan kemampuan di medan akbar itu, sehingga tidak sampai kalah dalam menghadapi berbagai jenis was-was dari luar dan dalam diri yang menyerang secara bertubi-tubi. Kejadian ini merupakan pelajaran bagi semua manusia merdeka yang ingin mencapai kemenangan di medan jihad melawan hawa nafsu, musuh paling berbahaya.

Setelah Yusuf menjadi pemilik kekayaan dan pemerintah negeri Mesir, Zulaikha istri Aziz bertemu dan berkata, “Serakah dan nafsu mengubah para raja menjadi budak-budak. Sedangkan sabar dan takwa mengubah para budak menjadi raja-raja.” Yusuf membenarkan ucapannya dan terlintas dalam benak Zulaikha, firman Allah Swt dalam surah Yusuf, ayat ke-90: Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.

Diriwayatkan bahwa tatkala istri Aziz duduk di pinggir jalan dan rombongan Yusuf melewatinya, Zulaikha berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengubah para raja karena kemaksiatan mereka menjadi sahaya, dan mengubah para budak karena ketaatan mereka menjadi raja.” Benar, tunduk pada [hawa] nafsu menyebabkan manusia menjadi budak. Sedangkan penyucian diri menyebabkan ia memerintah alam ciptaan ini.

Para kekasih Allah mencapai kedudukan sebagai pemilik otoritas takwini (alam ciptaan), karena penghambaan mereka kepada-Nya. Dengan izin Allah Swt, mereka mampu menundukkan alam ciptaan dalam semua kejadian dan melakukan karomah dan tindakan di luar kelaziman. Amirul Mukminin Ali as dalam doa Shabah, mengungkapkan, “Andai hamba tidak mendapat pertolongan-Mu dalam melawan hawa nafsu dan setan, nasib tanpa pertolongan-Mu ini membuatku menderita dan sengsara dan tiada lagi harapan bagiku untuk selamat.”

Said Husain Saidi, “Bertuhan dalam Pusaran Zaman”

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *