Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Jenggot Sunnah Vs Jenggot Suram

Wawancara dengan Dr. Muhsin Labib

Beberapa waktu lalu beberapa media sempat memuat kontroversi yang kemudian berlanjut pro-kontra di media sosial, perihal jenggot sebagai simbol agama. Ada yang menganggap jenggot simbol agama itu identik dengan pemahaman tertentu dari kelompok tertentu. Namun, ada pula yang menyatakan menumbuhkan atau memelihara jenggot sebagai simbol sekaligus memenuhi anjuran atau ajaran agama.

ABI Press mewawancarai Dr. Muhsin Labib bagaimana seharusnya menyikapi simbol agama. Berikut petikannya;

Bagaimana posisi simbol dalam Islam?

“Memang sempat mencuat persoalan jenggot seperti apa yang disampaikan salah seorang ulama yang cukup dikenal di Indonesia ini. Pernyataan itu dimuat di berapa media dan ramai dikomentari dalam jejaring sosial. Saya melihat faktanya ada sekelompok orang yang kelihatan sangat ekstrem memuliakan simbol seakan melupakan substansi atau isinya. Di satu sisi ada kelompok yang sangat mengutamakan substansi bahkan mengabaikan simbol. Menurut saya ini dua kutub ekstremitas. Karena secara logis ada materi dan form atau bentuknya.”

Apa hubungan antara simbol dan substansi dalam agama?

“Hanya memperhatikan form atau bentuk, tampilan luar, ya nggak sempurna. Buat apa? Isinya nggak ada. Sama halnya jika hanya memperhatikan isi tapi tidak ada bungkusnya. Relasi isi dan tampilan itu seperti lahir dan batin. Tampilan itu lahirnya, batinnya itu adalah isinya. Jadi, menurut saya yang proporsional lah yang betul. Isi harus diperhatikan, simbol juga harus diutamakan. Karena bagaimana kita bisa tau isi kalau tanpa simbolnya, sebab simbol adalah penanda.”

“Bahkan, hubungan kita semua ini adalah simbol. Kalau ada orang yang mengabaikan simbol, itu adalah orang yang tidak bisa berpikir logis. Bahasa adalah simbol dari pikiran. Kata adalah simbol dari makna. Sehingga kalau kita mengabaikan simbol, maka mana strukturnya, ngga akan ada. Karena itu hubungan antara simbol dengan isi itu penting.”

“Agama juga begitu, agama tidak hanya simbol, ada ajarannya dan ada perilakunya. Tapi juga simbol menandakan agama. Kalau tidak, lalu apa yang bisa membedakan satu agama dengan yang lain. Bukan hanya agama, tapi juga seni, budaya, itu semua simbol-simbol.”

“Jadi menurut saya tidak perlu mengabaikan simbol. Nah, kalau simbol-simbol itu kenyataannya digunakan, dieksploitasi seakan identik dengan kekerasan dan kelompok-kelompok ekstremis, kita jangan justru malah meninggalkan simbol-simbol itu. Itu (baca: meninggalkannya) berarti merestui simbol-simbol itu dikuasai oleh kelompok-kelompok ekstremis itu.”

Apa pandangan Anda tentang simbol Islam yang dianggap identik dengan pemahaman ekstrem atau kelompok ekstrem?

“Jangan kita malah ikut melecehkan simbol itu. Jangan kita juga ikut meremehkan simbol itu. Malah sebaliknya kita harus gunakan simbol-simbol itu. Supaya simbol itu tidak identik dengan mereka (ekstremis).”

“Kalau kita kini melihat tulisan la ilaha illallah seperti agak ngeri, karena sebegitu gencarnya pemberitaan seakan-akan la ilaha illallah itu hanya milik mereka (ekstremis). Kita jangan malah menjauhi la ilaha illallah itu, yang seakan-akan hanya milik mereka saja yang la ilaha illallah. Kita mestinya menggunakan dan memuliakan la ilaha illallah itu dengan cara kita. Sehingga tidak identik dengan kelompok-kelompok ekstrem yang gemar mengumbar kekerasan. Kita harus tunjukkan bahwa sebetulnya dan semestinya la ilaha illallah adalah simbol kedamaian bukan simbol yang membuat orang ngeri, takut dan sebagainya.”

“Posisi simbol itu mulia, semulia isinya. Jangan kita hanya memperhatikan simbol sehingga kita menjadi seperti kelompok-kelompok ekstremis yang jumud. Jangan juga kita melupakan simbol sampai-sampai kita menjadi kelompok-kelompok yang tidak menghormati identitas agama. Ini menurut saya penting untuk diperhatikan.”

Apa pandangan Anda tentang pro-kontra jenggot?

“Saya kira jenggot diciptakan oleh Allah Swt untuk tumbuh, tentunya bagi yang ditakdirkan punya jenggot. Jadi yang punya jengot pantasnya ialah merawat jenggotnya. Bukan berarti orang nggak boleh mencukurnya. Yang bagus itu, kalau orang mendapat karunia jenggot, rawatlah jenggot agar tidak identik dengan ekstremisme. Kalau semua yang merawat jenggot hanya orang-orang ekstrem, akhirnya jenggot seakan-akan hanya hak milik kaum ekstremis.”

“Soal jenggot di manapun bahkan di Barat, ilmuwan-ilmuwannya itu berjenggot. Banyak tokoh-tokoh kemanusiaan, filosof-filosof yang juga berjenggot. Jangan kita malah meremehkan jonggot seakan-akan jenggot itu hanya milik ekstremis. Karena faktanya banyak juga orang-orang berjenggot yang malah menimbulkan kewibawaan.”

“Tapi bagi yang tidak berjengot, ya tidak perlu memaksakan agar ditumbuhi jenggot. Hal yang lebih penting bagaimana jenggot itu tidak identik dengan kekerasan. Rawatlah! Perhatikan estetikanya, jangan membiarkan jenggot itu tumbuh liar tak terawat sehingga akhirnya tampak menakutkan. Dirawat sedemikian rupa sehingga lebih estetis, lebih menggambarkan heroisme tapi sekaligus kerendahan hati. Ibaratnya, ketimbang punya jenggot yang di-ewer-ewer, lebih baik nggak usah punya jenggot.”

Lantas, apakah yang mendorong seseorang itu berjenggot dan bagaimana baiknya ketika dikaruniai jenggot?

“Nah, kebetulan bagi orang-orang yang memperhatikan jenggot itu, karena Nabi saw juga menganjurkan untuk menjaga atau merawat jenggot. Itu bagi yang punya jenggot. Bagi yang tidak punya jenggot ya bagaimana bisa memelihara? Jadi bagi yang berjenggot, pelihara dan rawatlah dengan baik. Bukan malah membiarkannya seakan-akan itu menjadi tampilan horor. Itu yang salah.”

Bagaimana menyikapi pro-kontra jenggot beberapa waktu lalu?

“Nah, kita jangan juga ikut meremehkan jenggot itu. Hak tiap orang untuk punya jenggot atau tidak punya jenggot. Itu tidak ada hubungannya dengan simbol agama. Justru semestinya yang harus diperhatikan adalah perilaku, sikap, cara pandang, cara berpikirnya, daripada kita mempersoalkan jenggotnya. Begitu juga soal pakaian. Orang mau pakai pakaian ditutup mukanya, nggak ditutup mukanya, nggak perlu kita ikut melecehkan. Ada apa? Toh nggak mengganggu orang lain. Soal alasan ada apa dia menutup mukanya, itu hak dia.”

“Tapi karena kita selalu begitu, meremehkan, seakan-akan yang pakai tutup muka atau apalah namanya itu hanya kelompok mereka (ekstremis). Mestinya, kita nggak perlu mempersoalkan itu, karena yang mestinya kita persoalkan itu sebetulnya perilaku, sikap, agresi, intoleransi, pengkafiran. Itulah yang seharusnya dipersoalkan. Bukan malah mempersoalkan tampilannya.”

“And last but not least, jenggot itu memang diciptakan untuk tumbuh. Itu yang seringkali dilupakan atau terlewatkan dari pikiran orang-orang. Sehingga mana yang natural? Ya, tentu saja yang merawat jenggotnya. Saya kali ini, kelihatannya lebih berpihak kepada mereka yang merawat jenggotnya. But please, rawatlah jenggot dengan baik, perhatikan estetika, keindahan dan jangan membuat anak kecil takut.”

Apakah hubungan antara perilaku dan simbol semisal jenggot?

“Nah, seperti yang saya katakan tadi. Mestinya simbol itu mencerminkan isi. Isi mestinya diekspresikan dengan simbol. Nah, kenyataan sekarang ini tidak. Kenyataannya, yang sibuk dengan substansi melupakan simbol, yang sibuk dengan simbol tidak mencerminkan substansinya. Itu salahnya.”

“Kita ini keberatan dengan orang-orang yang memiliki jenggot, yang ngawur-ngawur, yang menakutkan. Akhirnya, kita yang suka dengan jenggot, takut sendirilah kita. Padahal kita tidak berperilaku ekstrem, padahal kita tidak berpandangan jumud. Padahal kita moderat, tidak jumud.”

“Nah, mulai sekarang kita mesti merawat jenggot yang menyenangkan. Bukan malah jenggot itu kita jelek-jelekkan. Begitu caranya, supaya jenggot tidak hanya identik dengan mereka, kaum ekstremis. Semestinya orang-orang moderat yang rasional, yang memang berjenggot, juga merawat jenggotnya. Supaya apa? Ya itu tadi, supaya jenggot tidak dianggap hanya hak milik orang-orang ekstremis.”

Lalu, soal simbol seperti jenggot dan pakaian apakah terbatas waktu atau tempat?

“Ekstremitas masak sih diwakili oleh simbol jenggotan, soal pola pikir masak diwakili oleh tampilan, padahal seharusnya oleh sikap- perilaku. Nah, ini ada pergeseran, ada pendangkalan. Kalau kita ikut-ikutan yang begini terus, lupa kita bahwa boleh jadi orang-orang ekstrem malah penampilannya macho. Bisa jadi penampilannya kelimis, tapi ekstremis. Siapa yang bisa mendeteksi? Itu bukan sebuah keniscayaan.”

“Makanya kita jangan lupa dengan pola pemikirannya sehingga kita tidak lebih mudah terjebak melihat tampilannya.”

“Masak, kalau masyarakatnya penganut Islam maka masyarakatnya harus seragam? ISIS itu misalnya, yang memaksa hal-hal yang sifatnya memaksa budaya. Orang harus menumbuhkan jenggot, orang harus membiarkan jenggot, orang kalau tidak menurut maka dapat sanksi dihukum cambuk dan sebagainya. Itu kan pemaksaan.”

“Soal itu dianggap ada hubunganya dengan sunnah Nabi saw penafsiran tentang sunnah Nabi itu kan bermacam macam. Saya sepakat jenggot itu harus dirawat bagi yang punya jenggot. Kasihan bagi yang punya jenggot tapi ingin mencukur jenggotnya, sedangkan yang tidak punya jenggot malah beli obat untuk menumbuhkan jenggotnya. Akhirnya bukan tumbuh di dagunya tapi tumbuh di tempat yang tidak semestinya tumbuh.”

“Kita ini manusia ya begitu. Kalau dia berjenggot memang dia layak berjenggot. Yang tidak punya jenggot berarti dia tidak layak punya jenggot. Persoalannya sebenarnya sesederhana itu.”

Apakah salah membiarkan tumbuh jenggot tanpa memperhatikan estetikanya?

“Oh, tidak. Merawat keindahan itu sunnah Nabi saw. Karena Nabi saw itu indah terus. Jadi jangan hanya membiarkan tumbuh jenggotnya. Tapi punya jenggot plus menjaga keindahannya. Nah, karena Nabi saw itu bukan hanya merawat jenggot, makanya kalau mau meniru sunnah Nabi saw, ya termasuk sunnah merawat keindahan itu.”

“Kalau jenggot yang dirawat itu tidak indah, berarti tidak sesuai sunnah Nabi saw. Sebab, Nabi saw itu merawat jenggot dengan baik, hingga orang itu senang di dekat Nabi saw. Di masa Nabi saw, jenggotan membuat senang. Lha anehnya sekarang, melihat orang jenggotan bisa membuat mblenek, karena menyeramkan.”

“Dulu mendengar Allahu Akbar, orang turut bergembira, tapi sekarang ngeri. Takut jangan-jangan ada masjid atau tempat ibadah sedang dibakar. Begitu juga saat ada orang dikepruk atau dipukul. Yang dikepruk bilang Allahu Akbar, yang ngepruk juga teriak Allahu Akbar. Sama-sama pakai kalimat Allahu Akbar, tapi nggak jelas begini. Sedemikan parahnya sampai simbol Islam yang mulia dibawa oleh Nabi yang penuh kasih sayang itu seakan-akan identik dengan kelompok horor yang menyeramkan.”

Bagaimanakah baiknya ketika ada pro-kontra jenggot yang identik dengan kelompok ekstrem?

“Kembali lagi, yang menjadi fokus persoalannya mestinya bukan jenggot, melainkan pola pikir, perilaku, sikap, pengkafiran, intoleransi, ekstremisme. Itu yang perlu diawasi. Itu yang perlu diperhatikan. Jangan kita bergeser dari persoalan itu.”

“Nah, tugas kita jangan membiarkan itu. Jangan pula kita ikut-ikutan meremehkan, menertawai, mengolok-olok simbol itu. Melainkan ambil jugalah simbol itu, menunjukkan bahwa kita yang moderat pun menggunakan simbol itu. Jangan sampai kita tidak menggunakan la ilaaha illallah, jangan sampai kita takut untuk mengutip quote atau hadis dari Nabi saw.”

Bagaimana menyikapi penggunaan simbol agama agar terhindar dari ekstremitas?

“Lihat isinya dong. Orang logis itu tidak melihat siapa yang ngomong. Bukan siapa yang bicara, tapi lihat apa yang disampaikan. Kita boleh mengutip Nelson Mandela, padahal isinya sama, lha wong logis saja. Karena itu kenapa kita tidak mengambil kutipan dari Nabi saw, dari para ulama, dari Imam, dan para sahabat Nabi yang bijak. Nah, ambil saja itu quote-quotenya.”

“Memberikan apresiasi yang cukup terhadap isi, juga memberi apresiasi yang cukup terhadap simbol. Salat itu simbol, boleh orang menandainya sebagai simbol, tapi substansinya adalah penghambaan. Misalkan ditanya dia jawab, ‘Ndak, saya cuma menghamba saja tanpa simbol, tanpa mau mengerjakan salat,’ bagaimana itu? Atau ‘Saya cuma hormat.’ Lalu apa buktinya? Ya sudah, hormat tok, hormat saja, ndak ada menundukkan badan, ndak ada memegang dada, ndak ada senyumnya, ndak ada salaman atau berjabat tangan. Padahal itu semua adalah simbol penghormatan.”

“Ya sudah, diam-diam saja. Lantas, bagaimana bisa tau seseorang hormat atau nggak hormat? Jadi yang proporsional itu, jangan melebihkan simbol atas isi, jangan juga mengabaikan isi dari simbol.”

“Nah, orang-orang kini lebih memperhatikan simbol daripada isi. Pakaiannya ini bagus tapi perilakunya buruk. Nah, kalau bisa perilakunya baik dan simbolnya juga baik. Makanya sampai ada orang-orang asal pakai baju putih-putih tapi nggak peduli dengan masyarakat, itu karena ada ekstremitas di dua cara pandang itu.”

“Jadi mestinya harus berimbang. Artinya keseimbangan itu paling penting. Karena Islam yang sebenarnya itu adalah yang wasath. Umat yang wasath itu umat yang moderat, tidak berlebihan dalam segala hal. Makanya tidak hanya ekstrem itu kaku, tapi ekstremisme yang longgar juga ada. Itu juga harus dihindari.”

Apa pesan Anda terkait pro-kontra simbol-simbol dalam umat Islam dan masyarakat Indonesia umumnya?

“Menurut saya, umat Islam jangan pernah memisahkan logika dari agama. Kalau logika kita lupakan dari agama atau kita pisahkan keduanya maka yang terjadi adalah ekstremitas. Hanya menggunakan logika tanpa agama itu ekstrem, hanya menggunakan agama tanpa logika juga ekstrem. Jadi agama yang proporsional itu adalah agama yang logis. Allah Swt mewajibkan salat, berarti Allah mementingkan simbol. Alquran menyebutkan Wa man yu’adhdhim sya’airilah fa innaha min taqwa al qulub (QS. 22:32). Semua ibadah itu simbol, substansinya itu apa? Kepatuhan atau ketaatan. Apa mungkin kita menghormat orang tua tanpa sungkem kepada orang tua? Apa hanya dengan duduk-duduk tok? Tidak bisa begitu.”

“Jadi, menurut saya logis itu penghormatan terhadap simbol, dan jangan kita ikut melecehkan. Tapi juga jangan sibuk dengan simbol tapi lupa substansinya. Kelihatannya menghormat tapi perilakunya tidak menunjukkan penghormatan. Jadi jangan kita sibuk dengan simbol tapi melupakan substansi. Juga jangan kita sibuk mengajari orang tentang substansi tapi tidak ada simbolnya. Keduanya itu sama ekstremnya.”

“Intinya, jangan ekstrem kaku dan jangan pula ekstrem longgar.” (Ahmad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *