Berita
Jejak Persia di Nusantara; Interplay antara Agama dan Budaya [2/3]
Jejak Persia dalam Aspek Keberagamaan
Tidak mudah untuk mengidentifikasi sikap-sikap keberagamaan Muslim Nusantara, khususnya Aceh yang diwarisi dari perilaku beragama Muslim Persia. Akan tetapi, dari hasil pengamatan yang panjang dapat diungkap beberapa hal yang “dekat” dengan sikap beragama, antara lain:
- Memuliakan Ahl al-Bayt
Bahwa centrum tradisi keberagamaan orang Iran, seolah bertumpu pada “orang suci” keturunan Nabi, melalui Ali. Tradisi ini diamalkan oleh Muslim Nusantara, khususnya Aceh. Bahwa adanya pemakaian beberapa istilah seperti Habib, Sayyid, Syarifah, Di, Wan, Siti, dan sejenisnya dipahami sebagai bagian dari tradisi pemuliaan keturunan Nabi Muhammad yang disebut Ahl al-Bayt, atau Asyraf dalam sebagian literatur.Hingga saat ini, pemuliaan kepada Ahl al-Bayt ini masih sangat terasa. Seperti di Betawi, misalnya, ketika ada jamuan keluarga, pertemuan masyarakat, dan sejenisnya, maka yang paling awal disapa adalah Habib, yang jama’nya Haba’ib. Di Aceh tradisi pemuliaan ini masih berlangsung, walau dalam intensitas yang berbeda. Tahun-tahun sebelumnya realitas pemuliaan ini berlaku secara sederhana dalam masyarakat, seperti ketika bernazar, pengobatan, cium tangan, tidak berani mengata-ngatai, tidak berani menunjuk langsung ke diri Ahl al-Bayt tadi. - Pemuliaan kepada kuburan, terutama kuburan ulama
Pemuliaan kepada kuburan sudah berlangsung lama di Aceh dan berjalan terus sampai sekarang. Terlepas dari masalah pro-kontra, dimungkinkan tradisi kuat menghormati kubur ini terwariskan dari perilaku keberagamaan orang Persia. Konon pula diketahui bahwa tidak semua masyarakat Arab memperlakukan kuburan atau ziarah kubur sebagaimana yang kita lakukan selama ini. Ketika di Timur Tengah, umumnya, tradisi ini menurun di wilayah Nusantara ini, termasuk di Aceh, perlakuan kepada kuburan dan ziarah kubur bahkan meningkat. Di Pulau Jawa, misalnya, betapa masyarakat menghormati kuburan orang besar, dan kuburan ulama, kadangkala secara berlebihan. - Menganggap lawan Ali sebagai “kafir ”
Ini tentu satu sikap yang ironis. [Perlu dicatat bahwa pendapat seperti ini tidak selalu disepakati oleh mayoritas Syiah, Pendapat ini bertentangan dengan semangat non-konfrontatif yang ditunjukkan oleh karya-karya dari ulamaSyiah seperti Thabataba’i, Khomeini dan banyak lagi. -Penyunting] Tapi itulah kenyataan, yang terbaca dalam hikayat-hikayat Aceh, khususnya “Hikayat Hasan Husein” dan hikayat lain yang ada kaitan. Yang jelas bahwa dalam hikayat Aceh, Mu’awiyah dan anaknya, Yazid bin Mu’awiyah, itu dianggap demikian, bahwa Mu’awiyah adalah musuh Ali dan Yazid dipahami sebagai musuh Husein. Dalam Hikayat tersebut diungkapkan bahwa Husein itu dibunuh oleh suruhan Yazid. Yang membunuh Husein di Karbala itu digambarkan dengan penampilan seperti “anjing” (betina) dengan delapan buah “tetek” nya yang menonjol. Nama si pembunuh itu (pemenggal kepala Husein) adalah si Madha’if. - Dipahami bahwa Hasan bin Ali diracuni oleh istri Mu’awiyah Bukan hanya itu, bahwa racun itu ditaruh dalam makanan, kemudian diantarkan kepada Hasan. Hasan tahu ada racun di dalamnya, tetapi dia makan juga, seolah sudah perintah takdir, bahwa Hasan “harus mati” dengan cara itu. Istri Mu’awiyah itu namanya Laila Meusyen dan juga dianggap “kafir”.
- Keistimewaan Ali dipahami sebagai sahabat, juga menantu, keponakan Nabi. Keistimewaan ini berbentuk kekuatan fisiknya dan juga ilmunya, yang “luar biasa”. Dengan pedang Zulfikar ia sanggup membelah badan musuh yang berbaju besi sekalipun mulai dari kepala sampai ke pinggangnya. Keistimewaan lain juga adalah bahwa Ali sempat beristri dengan seorang perempuan di negeri “Buniara”. Negeri Buniara itu seolah berada di bawah (di balik) sebuah sungai. Ali sampai ke situ ketika dia mencuci pedangnya di sungai tersebut. Tiba-tiba pedangnya terlepas dan jatuh terbenam
ke dalam air. Ali turun dan menyelam mencari pedangnya itu, yang tidak segera didapatinya. Akhirnya sampailah ia ke sebuah negeri yang namanya Buniara. Mengetahui bahwa Ali yang datang, maka dia dikawinkan dengan seorang perempuan cantik dan terhormat, hingga lahir seorang bayi laki-laki bernama Muhammad Hanafiyah. [Dalam sejarah memang ada isteri Ali selain Fatimah. Nama isteri itu dikenal dengan nama Hawlah binti Iyas bin Ja’far, yang sebelumnya pernah jadi budak] - Sepak bola kaki (pernah) dilarang, karena disimbolkan sebagai kepala Husein bin Ali Ini berawal dari riwayat yang tertulis di buku. Bahwa kepala Husein yang dibunuh di Karbala, Irak, dikirim ke Damsyiq (Damaskus di mana pusat Pemerintahan Dinasti Umayah berada). Sesampai di sana kepalaya dijadikan bola sepak, sebagai lambang kebencian kepada Husein. Ini sebabnya mengapa sepak bola di Aceh pernah menjadi pantangan besar.
- Manoe Rabu Abeh (mandi besar di hari Rabu penghabisan bulan Muharram)
Di Persia, mandi itu dilakukan pada hari Rabu tahun baru Persia ( Nuruz bermakna ‘Hari Baru’), yang maksudnya untuk perlambang tolak bala, membasuh dosa. Tradisi itu sudah berlangsung lama, bahkan sebelum masa Islam. - Menyediakan ie bu (bubur) Hasan- Husein
Maksudnya dalam hal memuliakan cucu Nabi Muhammad tersebut, warga menyediakan bubur dan dibagi sebagai kenduri pada saat tertentu setiap tahun. Tradisi ini masih berjalan di Aceh, atau paling tidak dilakukan oleh sebagian masyarakat di propinsi tersebut. - Nama-nama Aceh yang berasal dari Persia
Antara lain “Jailani” (asalnya kata Jīlān, nama satu tempat di Persia), “Daylami” (nama tempat) dekat dengan Tabaristan. Saya menduga yang namanya “Dalam,” adalah modifikasi dari kata Daylam tadi. Makanya di Aceh ada nama Muda, Dalam, ada Pang Dalam dan lain-lain. Juga nama Syaribanun (perempuan) sangat mungkin berasal dari Syahrbanu, salah seorang istri Husein di Persia. Tentu saja perubahan cara baca, dialek adalah bahagian dari dinamika adaptasi satu budaya, sesuai dengan lidah masyarakat Nusantara. an masih banyak contoh lain.
bersambung……….
Dikutip dari tulisan Yusni Saby dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara