Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Jejak Persia di Nusantara; Interplay antara Agama dan Budaya [1/3]

Pengantar

Perjalanan laut antara Timur Tengah, Persia, dan India dengan Kepulauan Nusantara sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum abad Masehi. Dalam relief peninggalan budaya Fir’aun dari Mesir pun sudah terlihat bahwa pemakaian angkutan air seperti sampan dan sejenisnya, sudah terlihat dalam interaksi budaya mereka.

Kemudian negeri-negeri “tua” seperti Habasyah (Habsyi, Ethiopia), Mesir, Maghrib (Maroko), Yaman, Persia, India , Cina sudah dikenal sejak zaman dahulu. Hubungan antarnegeri-negeri itu, pelan-pelan, tapi pasti, terus berlangsung dan berkembang sampai dengan sekarang. Perjalanan dari Afrika Timur ke Asia Barat, dari Asia Barat ke Asia Timur juga menjadi bagian dari perjalanan darat dan laut yang berkembang dari masa ke masa. Rute perjalanan dari Asia Barat ke Asia Timur juga berlangsung dua cara: darat dan laut. Perjalanan darat dilakukan melalui pegunungan Ararat menuju pegunungan Kaukasus sampai ke Cina di bagian Timur [Rute ini lebih dikenal dengan Jalan Sutera (Silk Road) dalam khazanah buku-buku sejarah].

Baca juga Pengaruh Historis Persia Pada Islam Di Asia Tenggara

Perjalanan dengan laut dilakukan demikian juga. Artinya dari pantai Asia Barat (Timur Tengah) menuju ke arah Timur melalui Persia, India , Sri Lanka sampai ke Kepulauan Nusantara. Di antara negeri tujuan atau tempat singgah perjalanan, maka Sumatera Utara adalah tempat berlabuh yang penting untuk mengisi perbekalan perjalanan setelah mengarungi Laut Andaman yang terbentang luas. Disamping itu, pulau Sumatera memiliki kekayaan hasil bumi yang menjadi memenuhi kebutuhan para pendatang, antara lain kapur barus dan rempah-rempah.

Seterusnya perjalanan laut itu bersambung sampai dengan negeri Cina dengan segala kepentingan yang berhubungan dengannya. Beberapa motif mungkin telah menjadi pemicu terjadinya perjalanan tersebut. Sebagian ada yang ingin melihat negeri jauh, mencari tanah luas, berdagang, melakukan misi agama, pelarian politik, dan mungkin juga berpetualang. Dikarenakan oleh perjalanan laut dulu sepenuhnya bertumpu pada angin, maka dikenallah negeri tempat berangkat (nun di sana) yang disebutdengan “Negeri Di Atas Angin”, [Negeri di Atas Angin bisa jadi Jazirah Arab (bagian Selatan, Persia, India Selatan, Sri Lanka, atau wilayah-wilayah lain sekitarnya yang kesemuanya bergantung pada moonsoon dalam budaya pelayaran mereka] dan negeri tujuan (Nusantara) dinamai dengan “Negeri Di Bawah Angin”, [Dapat dikatakan dengan Negeri-negeri Kepulauan di antara benua Asia dan Australia dan Semenanjung Malaysia.]. Tentu di sini ada nuansa “superior” dan “inferior.” Artinya istilah di atas menandakan mereka seolah datang dari dari “atas,” tinggi, lebih berbudaya, dan negeri di bawah berarti kita di sini “rendah,” dan kurang dalam hal peradaban.

Demi suksesnya perjalanan dari dan ke Timur Tengah itu tidak jarang para musafir harus menunggu dalam jangka waktu yang relatif lama, bahkan sampai berbulanbulan untuk mendapatkan tiupan angin yang dapat mendukung pelayaran perahu layar mereka. [Dalam satu riwayat pernah terjadi bahwa Marcopolo, dalam perjalanannya ke Timur harus menunggu sampai lima bulan di Pantai Utara Aceh, hanya untuk menunggu tiupan angin yang diperlukan untuk melancarkan pelayarannya. Lihat Tomas W. Arnold, The Preaching of Islam, hlm. 367]

Sebagian pelawat, tentu saja, sesudah selesai misinya, pulang lagi ke negeri mereka, tapi tidak jarang sebagian dari mereka menetap dan bercampur baur dengan masyarakat di negeri baru mereka. Proses ini tentu terus bersambung sampai sekarang walau dalam intensitas, motif dan sarana perjalanan yang berbeda.

Di antara interaksi akibat pelayaran itu penulis hanya memfokuskan pada dampak perjalanan dari Persia (Persi, Farsi, Iran) ke Nusantara (khususnya, Aceh) yang memang telah berlangsung lama, setua perjalanan laut itu sendiri. Di antara para pendatang itu terdapat juga yang berasal dari negeri Persia. Ketika sebagian orang Persia sampai di Nusantara, ada yang melanjutkan lagi ke Timur, ada yang pulang kembali, dan ada juga yang menetap bersama anak negeri. Akan tetapi, satu hal yang pasti adalah bahwa walaupun mereka kemudian ada yang kembali pulang atau melanjutkan ke negeri lain, mereka sempat berdiam dalam waktu yang relatif lama, dan berinteraksi dengan masyarakat lokal.

Interaksi ini tentu akan berdampak pada asimilasi prilaku antara kedua belah pihak: pribumi dan pendatang, yang akan berdampak pada saling mempengaruhi dan berkontribusi pada budaya masing-masing. Paling kurang ”budaya tinggi” akan mempengaruhi “budaya rendah” yang dalam hal ini prilaku anak negeri di Nusantara. Maka tidak heranlah kalau (kemudian) ternyata ada beberapa tradisi atau peradaban Persia yang tinggal di Nusantara, khususnya Aceh yang terakumulasi dalam tradisi budaya dan juga dalam pemahaman dan perilaku yang bernuansa keagamaan. Lancarnya penyebaran Islam di Nusantara, bahkan dengan cara damai (penetration pasifi que) sangat mungkin didukung oleh adanya persepsi budaya “tinggi” dan budaya “rendah” ini.

Makalah ini berusaha mengungkapkan beberapa hal yang berkaitan dengan jejak Persia yang masih tersisa di Nusantara, khususnya di Aceh sebagai hasil dari interaksi kedua bangsa tersebut dalam waktu yang lama. Kedua jejak tersebut terekam dalam perilaku beragam dan juga dalam tingkah laku berbudaya. Yang antara keduanya kadangkala berbatas samar-samar dan susah dibedakan.

Persia dan Islam

Sejarah mencatat bahwa tidak lama setelah Islam berkembang ke luar jazirah Arab, Islam telah sampai menyentuh negeri Persia. Pertengahan abad ke tujuh ditandai dengan berakhirnya dinasti Sasanian yang selama empat abad telah sanggup menahan invasi Kekaisaran Byzantium Romawi yang perkasa. Mudahnya konversi orang Persia ke dalam agama baru ini disebabkan oleh sifat opresif agama resmi negara yang bernama Zarasustra, yang telah digunakan oleh para agamawan untuk menindas rakyat dengan dukungan penguasa. Bermacam perilaku aparatur negara dalam menguasai rakyatnya telah memberi peluang kepada pendatang Muslim untuk berkuasa, yang bahkan, dalam banyak kasus, dianggap sebagai datangnya juru selamat, ‘pembebas’ dari segala derita selama ini. [Arnold, hlm. 206]

Kalau dapat kita katakan, bahwa ciri utama atau ruh keislaman orang Persia adalah sikap pemuliaan kepada keturunan Nabi Muhammad. Ciri ini pula, nampaknya yang telah ‘menghimpun’ Muslim Iran dalam jama’ah Syiah, sebagaimana yang kita saksikan selama ini. Kalau umumnya orang Iran menjadi penganut jama’ah Syiah maka ia tidak terlepas dari ikatan emosional. Proses pemuliaan ini masih terpelihara sampai sekarang dengan cara penghormatan kepada kuburan generasi awal keturunan Imam Ali tadi.

Selanjutnya juga keturunan ini terpelihara dalam sistem sosial yang ketat, dan dapat ditandai dengan menonjolnya tokoh-tokoh dari keturunan Ahl al-Bayt dimaksud. Dalam interaksi sosial bahkan dapat dilihat dengan jelas, mana yang keturunan Ahl al-Bayt, mana yang bukan, seperti pada warna sorban, aksesori pakaian dan lain-lain. Sebagian perilaku ini kemudian pelan-pelan tersalurkan ke masyarakat di Nusantara melalui ‘jasa’ para musafir yang singgah di ‘Negeri Bawah Angin’ ini.

bersambung….

Dikutip dari tulisan Yusni Saby dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *