Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Jejak Pengaruh Syiah Di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar Dan Mandar [3/4]

Jejak Pengaruh Syiah Di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar Dan Mandar [4/4]

Jejak Pengaruh Syiah Di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar Dan Mandar [3/4]

Perayaan Maudu Lompoa Cikoang

pembahasan sebelumnya Jejak Pengaruh Syiah Di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar Dan Mandar [2/4]

Sebuah pusaka yang sangat berharga, peristiwa yang benar-benar indah khusus untuk mengenang dan memperingati sang kekasih, nabi penutup, Sayyidina Muhammad adalah Meringatan Maulid Nabi (Hari Ulang Tahun Nabi Muhammad). Sebagian besar umat Islam akan selalu merayakan kelahiran ini di bulan Rabiul Awwal, tetapi hanya kaum Syiah (Persia) memberi penekanan khusus dengan melakukan amalan-amalan tertentu di malam-malam bulan kelahiran ini dan menyatakan kebahagiaan mereka. Maulid atau Maulud merupakan kata Arab yang berarti lahir. Secara harfiah adalah festival tahunan yang dirayakan di banyak daerah Islam dengan melakukan ritual makan dan mengucapkan doa-doa khusus menceritakan kehidupan Nabi Muhammad. Untuk muslim Cikoang, menurut Muhammad Adlin Sila (2001), Maulid Nabi dalam bahasa lokal disebut Maudu Lompoa. Maudu Lompoa adalah sebuah pesta ritual tahunan yang telah dilakukan pertama kalinya pada tanggal 8 Rabbiul- Awwal 1041 Hijriyah (1620 AD). Maudu Lompoa ini pelopori oleh Sayyid Jalaluddin bersama dengan I-Bunrang dan dirayakan di rumah I-Bunrang.

Pada waktu itu, Sayyid Jalaluddin meminta bantuan I-Bunrang untuk menyediakan puluhan liter beras, empat puluh ayam dan 120 telur ayam atau itik untuk empat puluh tamu. Jadi pada kesempatan pertama ada empat puluh makanan dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Pada tahun berikutnya, pada 12 Rabi’ul Awwal 1042 Hijriyah (1621 Masehi), jumlah peserta sangat meningkat. Setiap peserta yang mewakili rumah tangganya karena itu diminta untuk mempersiapkan Kanre Maudu yang dikenal sebagai Maudu’ Caddi di bawah bimbingan anrongguru sendiri (spesialis agama). Kanre Maudu terdiri dari empat liter beras, satu ayam, satu kelapa, dan setidaknya satu telur untuk setiap anggota keluarga rumah tangga.

Festival maudu terdiri dari dua tahap. Pertama, Maudu Caddi, di mana setiap rumah tangga membuat Kanre Maudu di rumah mereka sendiri, dan kedua sebagai Maudu Lompoa, hidangan ritual di mana Kanre Maudu disiapkan oleh setiap rumah tangga dari klan al-Aidid berkumpul di tepi muara Sungai Cikoang. Ada beberapa perahu kecil yang digunakan untuk Maudu Lompoa, yang dalam bahasa lokalnya disebut Julung-julung (secara harfiah berarti dua perahu buatan kecil yang sepasang) di mana Kanre Maudu ditempatkan secara kolektif. Julung-julung ini kemudian ditempatkan di atas perahu. Jumlah julung-julung menunjukkan jumlah pasangan dalam keluarga Sayyid dilakukan sepanjang tahun. Jadi, julung-julung juga disebut Bunting Beru (secara harfi ah berarti pasangan yang baru menikah). Alasan agama untuk menggunakan perahu dalam ritual itu, mengutip Nabi Muhammad yang menyatakan “Perumpamaan Ahlulbaitku, seperti perahu Nabi Nuh. Barang siapa yang berada di atasnya ia akan selamat, dan yang meninggalkannya akan tenggelam,” (H.R. Thabrani).

Bubur Sembilan atau Tujuh Warna

Asyura adalah hari ke-10 di bulan Muharram dalam kalender Islam. Pada Asyura di tahun 680, Imam Husein, cucu Nabi Muhammad terbunuh selama pertempuran Karbala-Irak, yang menentang Yazid bin Mu’awiyah, sebagai khalifah Kaum Muslim pada waktu itu. Kematian Husein, bagi kaum Syiah (Persia) adalah sebuah peristiwa yang tidak terbatas pada waktu atau tempat tertentu. Akan tetapi, terwujud pada setiap masyarakat yang menganggap dirinya tertindas, dianiaya atau dipermalukan. Pada hari-hari awal Revolusi Islam Iran tahun 1979, kemudian berlanjut selama perang Iran-Irak slogan yang sering terbaca di jalanjalan seantero Iran, “Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala, dan setiap bulan adalah Muharram.” Setiap tahun pada tanggal sepuluh bulan Muharram, sebagai hari raya Asyura, semua penduduk kota di Iran berkumpul di bawah tenda di tempat yang luas, dan selama tiga hari tiga malam memasak ribuan piring Asyura, untuk mengenang para syuhada Karbala. Piring ini didistribusikan dengan gula-serbat, yang dibuat bentuk bundar di vas kristal, cangkir cornelian dan pirus, pada saat yang sama membaca ayat-ayat tertentu, seperti “Tuhan mereka memberi minuman paling suci” (Alquran, 76:21).

Pada hari istimewa ini sebagian masyarakat muslim di Sulawesi akan memasak bubur khusus yang dikenal sebagai ‘bubur asyura’ untuk diberikan terutama kepada yang miskin dan membutuhkan. Di Sulawesi, bubur asyura ini biasanya dimasak dalam panci besar di rumah tokoh masyarakat yang paling berpengaruh, masjid, dan mushallah dengan upaya bersama warga masyarakat. Kemudian bubur tersebut dibagi pada setiap rumah tangga. Orang miskin, anak yatim, dan gelandangan akan mendapat perhatian khusus mendapatkan pembagian bubur itu. Kebiasaan seperti ini sudah tidak popular lagi sekarang ini. Hanya sebagaian kecil masyarakat yang ada di suku Bugis, Makasar, dan Mandar melakukannya. Beberapa kota yang masih kita temukan melakukanya di antaranya; Maros, Luwuk, Bone, Wajo, Takalar, dan juga beberapa daerah di Tanah Mandar. Sebagian besar orang Mandar, menganggap bulan Muharram dan bulan Syafar sebagai bulan makarra’, bulan yang mengandung bahaya atau berkaitan dengan hal-hal mistis yang harus diwaspadai. Di bulan ini anak-anak dilarang memanjat pohon, bermain benda-benda tajam, dan harus lebih cepat pulang ke rumah di waktu petang.

Bahkan ada lagu anak-anak yang menyebutkan bahwa bulan Syafar adalah bulan di mana anak-anak tidak boleh memanjat, khususnya bagi anak-anak perempuan. Selain itu, hari tertentu dalam dua bulan itu dianggap sebagai waktu yang tidak baik untuk melakukan perkawinan, mendirikan rumah, sunatan, dan lain-lain. Akan tetapi, pada umumnya masyarakat muslim yang memahami secara terbalik dengan latar sejarah bulan Muharram, sehingga penyambutan dan sikap yang ditunjukkan jika bukan sikap mengabaikan begitu saja atau sikap kegembiraan yang dipandang mendatangkan rezeki. Oleh karena itu, masyarakat muslim pada awal muharram yang mau menyambutnya akan beramai-ramai ke pasar untuk membeli alat-alat yang umumnya perabotan dapur, seperti; panci, wajan, sendok, dan lain-lain.

Oleh karena itu, wajar bila di Polewali-Mandar misalnya, keluarga muslim akan melakukan yang dikenal dengan marroma Muharram. Sebuah kenduri sederhana dengan suguhan sokkolo (nasi ketan), loka tira’ (pisang raja) dan segelas air putih. Sang suami membacakan doa selamat. Di Lemosusu Tinambung, setiap malam 1 Muharram, masyarakatnya mempunyai tradisi yang lebih unik. Mereka membawa aneka makanan ke masjid Miftahul Ihsan, melakukan pembacaan barzanji selepas shalat Isya, lalu bersama-sama menikmati hidangan yang mereka bawa sendiri. Tradisi ini pada tahun 1988 masih bisa disaksikan. Perayaan Muharram juga biasa dilakukan di Masjid Imam Lapeo-Campalagian. Di Masjid Imam Lapeo biasanya malam 1 Muharramdiisi dengan ceramah dan pengajian. Masyarakat Mandar, lebih umum melakukan ritual Muharram pada malam Asyura atau malam 10 Muharram. Malam ini dianggap lebih khusus dan lebih keramat.

Sebagian kecil masyarakat juga percaya bahwa siang harinya bagus digunakan untuk berbelanja, khususnya benda-benda sifatnya perhiasan (emas) atau benda benda tajam. Pada malam 10 Muharram, sebagian besar masyarakat Mandar akan membuat ule-ule’ (bubur) yang terbuat dari minimal tujuh macam bahan makanan ditambah santan dan gula merah. Akan lebih baik jika bahan makanan itu terdiri dari sepuluh macam atau lebih. Bahan makanan yang paling sering digunakan adalah beras ketan putih, ketan hitam, ketan merah, kacang hijau, kacang putih, wijen, pisang, ubi jalar, labu, dan jagung. Jika mau diperbanyak bahannya, bisa ditambahkan pula dengan bahan makanan dari biji-bijian lainnya. Setelah masak, bubur itu dituangkan ke dalam tujuh gelas. Bersama dengan sajian lainnya, yang paling utama adalah nasi ketan, air putih dan pisang raja, bubur tujuh rupa atau sepuluh rupa itu dihidangkan di atas nampan besar. Disertai asap dari kemenyan yang dibakar, kepala keluarga atau sesepuh yang dipanggil akan membacakan doa selamat. Setelah ritual ini selesai, barulah bubur di dalam tujuh gelas itu bisa dimakan.

Pada siang hari tanggal 10 Muharram, sebagaimana masyarakat Muslim lain yang mempercayainya, masyarakat Mandar juga melakukan puasa Asyura. Dengan berkembangnya pemikiran keagamaan di masyarakat Mandar dan masuknya berbagai madzhab pemikiran Islam di daerah ini, muncul berbagai tanggapan terhadap tradisi Mandar di dalam menyambut 1 Muharram dan ritual 10 Muharram. Seperti yang disebutkan di atas, masyarakat Lemosusu telah mengalami perubahan tradisi dengan menambahkan ritual shalat sunnat 1 Muharram. Persentuhan masyarakat di daerah ini dengan tarekat Khalwatiyah telah mengayakan tradisi mereka. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tradisi masyarakat Mandar dalam menyambut tahun baru Islam dan merayakan hari Asyura juga mengalami perubahan. Akan tetapi, tentu lain dengan tradisi masyarakat yang tidak memiliki “pembenaran”di dalam ajaran Islam. Sejak dulu, Muhammadiyah  yang berusaha menghancurkan bid‘ah sampai ke akar-akarnya, sudah menentang tradisi bubur tujuh atau sepuluh rupa di malam 10 Muharram itu. Tapi tradisi ini masih hidup sampai saat ini walaupun sudah mulai dilupakan oleh generasi muda. Salah satu keluarga di Lemosusu, ketika anak-anaknya merayakan 1 dan 10 Muharram di masjid, hanya orang tua dari keluarga itu yang mempertahankan tradisi bubur tujuh rupa.

selanjutnya Jejak Pengaruh Syiah Di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar Dan Mandar [4/4]

Dikutip dari tulisan Supratman dalam buku  Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggara

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *