Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Jangan Blokir Situs Islam

Wawancara ABI Press dengan Dr. Muhsin Labib

Tindakan pemblokiran yang dilakukan Kemkominfo terhadap 22 situs berita yang ditengarai memuat konten pemahaman radikal beberapa waktu lalu, tak urung telah menyulut pro-kontra di Tanah Air. Bukan hanya pengelola ke-22 situs itu saja yang bereaksi keras dengan mendatangi kantor Dewan Pers agar bisa sekaligus melakukan audiensi dengan pihak BNPT yang konon menjadi pihak perekomendasi keluarnya keputusan pemblokiran situs, bahkan mereka juga mendatangi kantor DPR untuk meminta kejelasan (atau tepatnya pembelaan) atas aksi pemblokiran massal yang dilakukan pihak pemerintah tersebut.

Para tokoh politik, pengamat dan agamawan pun tak ketinggalan ikut bersuara. Ada di antara mereka yang berposisi sebagai pihak pendukung yang memahami kekhawatiran pemerintah atas maraknya situs-situs yang menganjurkan jihad ke Timur Tengah atau seruan turut bergabung dengan ISIS, sehingga dianggap dapat mengancam dan membahayakan keutuhan NKRI. Ada pula yang berposisi sebagai aktivis demokrasi dan HAM, yang memprotes keputusan Kemkominfo yang dinilai inkonstitusional, mencederai demokrasi, mengebiri kebebasan berekspresi dan melanggar HAM.

Lalu bagaimana seharusnya sikap yang mesti diambil oleh masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, terkait pemblokiran situs-situs berita yang selama ini diidentikkan sebagai situs Islam tersebut? Apakah pemblokiran itu berpengaruh signifikan, baik dalam artian menguntungkan atau merugikan mereka? Setujukah mayoritas umat Islam di Tanah Air terhadap keputusan pemerintah tersebut? Ataukah sebaliknya mereka menolak dan merasa keberatan atasnya? Apa pula yang dimaksud dengan situs Islam dan apa pengertian radikal yang dimaksud BNPT dan Kemkominfo?

Untuk mengetahui lebih jauh, berikut ini hasil wawancara singkat ABI Press bersama cendekiawan muslim, Dr. Muhsin Labib.

Apa sebenarnya yang disebut dengan situs Islam?

Islam itu agama wahyu, yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dan para nabi sebelumnya. Jadi, sebetulnya bukan hanya yang dibawa oleh Nabi Muhammad saja Islam itu. Semua ajaran tauhid yang diberikan kepada para nabi itu juga Islam. Itu hal pertama yang tak boleh kita abaikan. Kedua, Islam itu hanya wahyu. Wahyu itu suci, sakral urusan Tuhan dan hal itu tidak bisa direduksi menjadi apapun. Jadi tidak ada yang namanaya handphone Islam, situs Islam, rumah sakit Islam. Islam, ya agama itu.

Kalau Islam direduksi menjadi nama-nama benda atau nama situs atau identitas tertentu ya susah nanti. Sesuatu yang sakral, yang universal itu bisa direduksi, bahkan dikecilkan. Ketiga,  Islam bisa dijadikan sebagai predikat, jadi dipredikasi, makanya dalam bahasa Arab disebut Islami, bukan Islam. Kalau dalam bahasa Inggris, Islamic. Tapi bukan Islam, kalau Islamnya tidak bisa direduksi.

Nah, dalam bahasa Indonesia ada masalah karena kata predikatif dan kata subjektif itu tidak ada tanda pemisahnya, pembedanya. Jadi sebutan pada situs Islam itu mestinya lebih tepat  menyebutnya sebagai situs Islami. Artinya, situs yang diberi sifat Islam.

Karena bisa menjadi predikat, maka setiap orang bisa memberikan predikasi, tergantung sudut pandangnya. Ada yang mengatakan ini situs Islam karena namanya Islam, berarti bersifat Islam. Ada yang memberikan sifat Islam karena kontennya ndak ada nama Islamnya. Atau beritanya bukan bersifat Islam secara formal tapi muatannya tentang moral. Itu juga Islami. Ndak ada yang punya hak untuk mengatakan ini situs Islam dan ini bukan situs Islam. Kalau memang ukurannya adalah predikat, artinya ini medan terbuka. Tidak ada yang punya copyright.

Jadi, Islam bisa dilihat dari dua sudut pandang; Islam sebagai predikat ataukah substansi. Kalau sebagai substansi, itu sakral. Tapi kalau sebagai predikat ya itu terbuka bagi setiap orang untuk memaknainya.

Kemudian yang disebut dengan Islam dalam predikasi itu bisa dilihat dalam bentuk formal, nama, identitas. Misalnya Islam atau tidak Islam. Tapi beberapa istilah yang diasosiasikan pada Islam, seperti Kakbah, Kiblat dan lain-lain, nah itu pun bisa disebut Islam. Karena apa? Namanya Islam, walaupun isinya belum tentu Islam. Tapi ada yang substantif tidak formal, tidak ada kata Islam, bahkan namanya tidak ada bau Islamnya dan boleh jadi yang disampaikan juga bukan tentang Islam yang formal itu, tapi di dalamnya ada ajaran tentang moral, kemanusiaan. Maka itu juga Islam. Jadi kalau mau disebut situs Islami itu tidak ada yang baku, tinggal kita mau pakai parameter apa. Simbol? Tampilan nama? Ataukah konten? Itu yang perlu diketahui oleh setiap orang .

Bagaimana dengan beredarnya pemberitaan bahwa “situs Islam diblokir pemerintah”?

Itu tendensius, manipulatif, karena banyak juga situs Islam yang tidak ditutup. Pasti ada kriterianya dan tidak asal tutup. Kan ndak bodoh orang-orang yang menetapkan itu dan sudah tahu risiko serta konsekuensinya. Selain itu tugas mereka sebagai orang yang mendapatkan amanah untuk mengatur negara ini, jadi yang disebut dengan situs Islam mungkin saja formalnya Islam tapi isinya bertentangan dengan Islam juga bisa.

Jadi situs Islam secara formal nama Islam, tapi situs Islam secara substansial namanya bukan Islam, isinya apa? Kalau yang substansial Islami ya berisi toleransi, kemanusiaan, perlawanan terhadap korupsi, itu Islam juga walaupun yang bicara bukan Ustaz, bukan Habib bukan Kyai, itu Islam. Tapi sebaliknya yang formal bisa bertentangan dengan substansi Islam, namany situs Islam tapi mengajak orang untuk mengkafirkan orang lain, jelas ini menistakan Islam walaupun namanya Islam, jelas-jelas mengajak orang untuk hidup dalam ketegangan.

Jadi penyebutan situs Islam hanya karena namanya bisa benar dari sisi nama, tapi kalau dilihat dari kontennya bisa jadi malah menistakan Islam karena membuat orang benci kepada Islam.

Lalu apa efeknya bagi masyarakat terkait sejumlah media yang menggunakan istilah “Situs Islam diblokir”?

Korban pertama dari semua pembodohan-pembodohan dan manipulasi itu adalah masyarakat umum. Ya, masyarakat kita ini kan cinta pada agamanya. Mereka mayoritas kan Islam. Kalau disebut situs Islam ditutup, ya kita semuanya kan ndak terima. Begitu juga jika situs Islam dilarang, ya ndak boleh dong. Bisa-bisa pemerintah kita hujat karena mengatakan itu.

Nah, ini kan cuma satu kata. Begitu mudahnya orang dipengaruhi oleh pemberitaan-pemberitaan yang tidak berimbang, tidak objektif dan tidak fair. Kalau yang dimaksud situs Islam seperti yang saya katakana, maka banyak situs Islam yang tidak diblokir. Sebaliknya kita melihat ada situs-situs yang membawa-bawa nama Islam tapi isinya menciptakan keresahan, mengajak orang untuk ekstrem, untuk intoleran, untuk menghujat negara. Dia hidup dari negara ini, makan dari sini, menghirup udara dari sini, bergaul di sini tiba-tiba anti Negara. Bawa-bawa nama Islam, bawa nama agama. Lha ini jelas-jelasan kan mengganggu pemerintah. Anehnya, ada hal yang aneh. Beberapa kelompok organisasi atau situs ini biasanya sangat benci pada kebebasan berekspresi, karena itu menurut mereka adalah ajaran kafir. Mestinya, kalau sudah yakin bahwa dirinya tidak mendukung kebebasan berekspresi, ya mereka ndak boleh dong menentang pemblokiran itu dengan alasan kebebasan berekspresi.

Penutupan sejumlah situs dianggap tidak adil oleh sebagian orang karena tidak melalui persidangan sehingga menyamakannya dengan rezim Soeharto. Pandangan Anda?

Tidak perlu sidang berlarut-larut kalau sudah terbukti melakukan tindakan kejahatan atau pelanggaran. Sidang itu kan sebenarnya salah satu cara untuk mencari alat bukti dan upaya klarifikasi. Tapi bagi yang sudah jelas-jelas melakukan pelanggaran, dengan bukti faktual, sidang itu mestinya ndak perlu. Artinya, ndak semuanya harus melalui proses persidangan. Ada yang memang bisa dieksekusi langsung. Tapi kalau dikaitkan dengan zaman Soeharto, pada zaman Soeharto malah situs-situs Islam dikasih kebebasan, malah situs-situs liberal itu yang diberangus. Lihat saja Tempo, Monitor atau apa lagi yang diblokir waktu itu.

Tapi kalau situs Islam, dulu itu cukup bebas. Hanya saja memang situs Islam dulu itu adem, tidak kafir-kafirin orang dan tidak radikal. Kalau seandainya dulu juga mengkafir-kafirkan orang, saya yakin oleh Soeharto juga akan langsung dibredel. Tapi karena mereka ini tidak ada urusan dengan Soeharto, mereka ini mau Soeharto mau Jokowi, semuanya itu kan thagut bagi mereka. Jadi ya jangan bawa-bawa nama Soeharto lah. Pasti yang berpendapat seperti itu bukan dari kalangan ekstremis, bukan pendukung situs ini, tapi dari kelompok liberalis yang biasanya mengatasnamakan kebebasan berekspresi.

Saya setuju kalau alasan yang digunakan oleh orang-orang yang bukan dari kelompok yang mempertahankan situs ini, bahwa orang dilindungi hak berekspresinya, saya setuju. Tapi khusus kepada mereka yang menolak kebebasan berekspresi? Tidak perlu dong. Secara umum memang orang harus punya kebebasan berekspresi, tapi kebebasan itu pasti ada batasnya. Kebebasan mencaci-maki orang, itu bukan kebebasan. Malah itu anti kebebasan. Anda mengkafirkan orang itu berarti anti kebebasan. Saat orang tidak dibolehkan meyakini keyakinannya, lho ini terus mau dibela dengan asas apa? Dengan alasan kebebasan berkespresi? Sementara mereka sendiri malah anti kebebasan berekspresi. Coba saja amati isi-isi ceramahnya, isi situsnya, itu semuanya maunya mencabut kebebasan orang.

Bagaimana bila alasan mereka adalah Indonesia sebagai negara hukum, harusnya kan pemblokiran tersebut melalui persidangan lebih dulu?

Nah ini yang perlu diketahui. Tidak semuanya harus melalui persidangan, bukan berarti hukum itu harus melalui persidangan. Memang harus menggunakan koridor hukum, hukum itu sudah memiliki SK, Perda, itu sebenarnya sudah memiliki aspek hukum, hukum itu bisa konstitusi bisa juga hukum dalam bentuk pengertian peradilan.

Dengan kata lain, perundang-undangan pun disebut hukum?

Ada trias politika, ada eksekutif, ada legislative, ada yudikatif. Itu berjalan seiring. Kalau semuanya harus melalui persidangan berarti setiap keputusan pemerintah juga harus dilalui ke persidangan dulu. Lha ini kan, ndak bisa begitu. Pemerintah misalnya mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM atau mencabut subsidi, oh harus ke pengadilan, ndak jadi negara ini. Bubar. Jadi tidak semudah itu, apalagi kan ini orang-orang yang bicara soal hukum ini kan orang-orang yang tidak percaya sama hukum negara ini.

Mestinya kan orang-orang yang dikafirkan tiap hari, yang karena itu dia kehilangan ketenangan, yang karena itu dia kehilangan rumah, gara-gara provokasi yang disebar, perlu didengar. Yang lebih penting didengar itu mestinya bukan hanya pengamat-pengamat yang bicara tentang kebebasan berekspresi. Korban kasus Sampang itu yang mestinya ditanya. Atau tanya itu orang-orang yang masjidnya, gerejanya dibakar. Tanyain mereka pendapat-pendapatnya. Karena mereka itulah yang paling berhak untuk ditanyain pendapatnya tentang situs-situs itu. Kenapa? Ya karena merekalah orang-orang yang menjadi korban adanya situs-situs yang mengaku-ngaku Islam itu.

Apakah ada langkah yang lebih efektif daripada pemblokiran?

Yang perlu diblokir itu bukan situsnya, sebab nanti si pembuat bisa membuat situs baru yang lain lagi. Tapi otaknya yang perlu diblokir. Istilahnya kan ndak nulis sendiri si komputer itu. Jadi siapa orang yang berada di balik situs-situs itu, siapa otaknya, itu yang lebih penting untuk diblokir.

Maksudnya otaknya yang diblokir ini seperti apa?

Ya orangnya yang diamankan, diproses hukum. Itu namanya menggunakan hukum. Tapi kalau tulisan masa dihukum? Tulisan ya diblokir, pembuatnya yang diproses hukum. Nah, kalau mau proses hukum, ya siapa orang yang menjadi otak situs-situs itu, suruh dia maju ke pengadilan.  Sedangkan tulisannya, pakai saja itu semua sebagai bukti materialnya. Jadi maksud saya, yang lebih penting daripada pemblokiran situs adalah pemblokiran otak-otak dari orang-orang yang sudah jelas menjadi pengelola situs-situs itu.

Apa maksud Anda karena pemblokiran situs sendiri tidak menyelesaikan masalah, karena yang lebih penting ini adalah pengelola situsnya?

Iya, yang lebih penting untuk diketahui itu adalah siapa para pelakunya. Mereka itulah yang seharusnya diproses hukum.

Apakah ini berarti Anda menyarankan permasalahan ini dibawa ke ranah hukum?

Sekarang yang harus dilakukan oleh pemerintah bila mau melakukan proses hukum adalah kepada mereka yang terduga atau bahkan terbukti gemar atau kerap melakukan hate speech, menyebarkan kebencian. Kan sudah ada pasalnya itu.

Termasuk penyebar kebencian di dunia maya seperti website, media sosial, atau…?

Dimana saja. Pokoknya siapapun yang menyampaikan sesuatu yang dampaknya mengganggu, membuat orang tidak nyaman, istilahnya perbuatan tidak menyenanangkan, kan ada itu. Ya itu, jadi sebetulnya bakal menjadi bumerang kalau mau diurus ke pengadilan bagi para pengelola situs tersebut.

Ada yang mencurigai bahwa benang merah dari pemblokiran situs-situs ini adalah karena kesemua situs tersebut anti Syiah?

Artinya kalau anti Syiah kenapa?

Berarti orang-orang Syiah lah yang berusaha menutup situs-situs tersebut?

Lho, yang dikafirkan oleh mereka ini kaum liberal. Yang disyirikkan orang NU. Jadi ndak perlu lah mengambil orang Syiah yang jumlahnya sedikit untuk dijadikan alasan agar terjadi konflik. Hanya orang bodoh yang bisa mempercayai itu. Jelas-jelas yang menjadi korban situs-situs itu adalah orang-orang yang hadir maulid, orang-orang yang mengadakan tahlil, orang-orang yang shalawatan, orang-orang yang gemar zikir. Orang Syiah itu jumlahnya ndak lebih dari 1 juta. Sebagian masih bingung dengan urusan Sampang yang ndak selesai-selesai. Jadi untuk membesarkan-besarkan bahwa Syiah ini seakan-akan sesuatu yang besar, itu tidak faktual. Tapi bahwa Syiah adalah salah satu bagian dari bangsa ini, ya jelas!

Bagaimana dengan masyarakat yang mendapatkan informasi dari media dan kemungkinan akan menstigma negative lebih jauh terhadap Syiah?

Makanya masyarakat itu harus dicerdaskan dengan media yang cerdas, dengan media yang berimbang. Dalam situs itu, lihat saja berapa banyak porsi yang mengkafirkan, mensyirikkan, membid’ahkan selain Syiah? Kalau Syiah kan ndak punya pengaruh apa-apa. Syiah ini kan, kalau ngomong Syiah salah. Makanya kapan orang Syiah pernah diminta sebagai narasumber di TV, oh ndak akan pernah. Karena baru mau muncul saja sudah buru-buru digagalkan. Tapi anehnya malah dituduh telah melakukan syiahisasi, kan lucu. Jadi pokoknya gimana caranya dituduh, nah itu yang ndak wajar. Maka itu ketika ada orang membela Syiah, ketika dia bukan Syiah maka dia akan serta-merta dicap Syiah, kan supaya dia kena stigma buruk itu sekalian.

Jadi kalau mau disebut ada benang merah, mau benang merah mau benang hijau terserah, yang jelas apapun, mau situs pakai nama Islam atau bukan, ketika mencederai prinsip kebhinekaan pasti akan diberantas.

Kebebasan berekspresi saya setuju. Tapi kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab. Apakah ketika saya mencaci Anda itu bagian dari kebebasan berekspresi dari mulut saya? Tidak! Itu namanya saya sedang melakukan agresi. Kebebasan boleh apabila tidak melakukan agresi, apabila tidak ada ujar kebencian.

Makanya kalau ada orang Syiah melakukan pelanggaran, lihat saja pelanggarannya, dan tidak perlu sibuk dengan upaya menebar-nebar provokasi. Sementara negara ini adalah mozaik, adalah pelangi, yang indah karena keragamannya. Orang-orang yang berusaha mengarahkan masyarakat untuk membenci sesuatu yang beragam itu jelas ndak akan berhasil, karena ndak ada sejarahnya.

Jadi bahwa situs itu dilarang, sepertinya orang Syiah ndak terlalu peduli mau situs itu ada atau tidak, karena apa? Yang baca situs itu pengunjungnya ya senyawanya, ya dari kalangan itu-itu juga. Jadi sebetulnya ndak terlalu mengkhawatirkan mau ditutup atau ndak. Tapi pemerintah punya hak dan kita harus menghargai keputusan negara untuk itu, karena mereka pasti punya visi untuk menjaga masa depan bangsa ini.

Terkait banyaknya pengamat yang muncul di TV saat ini yang selalu menghubungkan setiap konflik dengan isu sektarian, menurut Anda gejala apakah ini?

Itu bukan gejala tapi grand design. Kalau itu desain, lihat saja Suriah, Yaman, Irak, dan negara lain, kita juga mulai ditarik-tarik kesitu. Ini bukan persoalan Syiah-Sunni. Agama dan keyakinan jangan dibawa-bawa, lihat tindakan. Lihat saja perbuatannya. Bashar Assad buruk, ndak setuju, ya kritik saja tindakannya, bila perlu jatuhkan dia kalau memang mampu. Tapi jangan bawa-bawa nama keyakinan. Begitu juga jatuhkan kalau Anda ndak setuju dengan Ahok, karena kebijakannya. Jangan bawa Cinanya, jangan bawa Kristennya. Atau Jokowi, atau siapapun, saya kira itu ndak perlu pinter banget untuk memahami soal begituan itu.  Ndak perlu pengamat juga untuk ngomong itu, ndak perlu gelar Doktor dan Profesor untuk bicara seperti itu.

Setiap orang bisa memahami dengan mudah, dengan jernih, persoalan macam begini. Jadi,  menarik-narik ini ke soal sektarianisme itu setidaknya ada dua tendensi. Tendensi yang pertama, bisa jadi dia ndak ngerti persoalan atau sekadar mengikuti desain. Kedua, dia berada di dalamnya, atau memang dia adalah orang yang mendesain, atau dia bagian dari agen desain untuk melihat semua persoalan itu dengan kacamata Syiah versus Sunni.

Apakah ini berarti Indonesia akan ditarik menjadi seperti di Suriah ataupun di Pakistan?

Oh tidak, tidak akan bisa. Karena Indonesia itu khas. Tapi bahwa konflik itu bisa terjadi di Indonesia iya. Tapi bukan konflik Sunni-Syiah. Di sini, konflik bisa segala macam. Sampit itu konflik, Gestapo itu konflik, itu genosida, ndak harus Sunni-Syiah. Antara suporter sepak bola bisa konflik, tawuran pelajar juga konflik. Jadi dimanapun bisa terjadi konflik, antar kampung juga bisa. Tapi bahwa konflik berat Sunni-Syiah, tidak akan terjadi. Karena Syiah itu ndak ada komunitasnya yang bisa diidentifikasi. Syiah itu cara berfikir. Banyak orang salah memahami,  dikiranya Syiah itu kelompok dengan seragam tertentu, dengan model jenggot tertentu, pakaian tertentu. Syiah itu cara berfikir. Cara berfikir itu gradual, ada tingkat kesyiahannya itu. Jadi, terhadap setiap orang yang rasional itu sebenarnya orang lain bisa menganggap bahwa dia itu Syiah.

Nah, ini yang lebih lucu lagi ada orang suka menyebut ada masjid Sunni, ada masjid Syiah. Lho yak apa sih, masjid kan bangunan, masak ya bermazhab? Yang bermazhab itu kan orangnya. Ini sudah keliru banget, masjid Syiah, masjid Sunni. Bahkan ada yang bilang soal negara Sunni. Yok opo sih? Yang bisa disebut Syiah dan Sunni itu orangnya.

Bagaimana seharusya masyarakat menyikapi isu sektarianisme yang sering dimunculkan oleh media?

Media ini ada beberapa kategori media. Ada media yang memberikan informasi dan memindahkan fakta. Ada media yang mengurangi informasi dan mereduksi fakta. Ada media yang nambahi, faktanya tidak begitu ditambah-ditambahi dengan opini, dengan penggiringan opini melalui beberapa hal dimasukan beritanya mungkin satu paragraf, opininya yang banyak. Tapi orang Indonesia, insya Allah makin banyak yang sekolah, makin cerdas.

Karena informasi serba terbuka seperti sekarang, orang dengan smartphone saja bisa membuka informasi segala macam. Anehnya banyak orang tahu Syiah bahkan lebih dari orang yang belajar tahunan tentang Syiah. Dan media-media ini sering menghadirkan orang-orang ini. Mereka saat bicara tentang konflik sektarian, yang dihadiirkan adalah orang-orang yang justru menjadi bagian dari konflik sectarian. Bicara tentang konflik Timur Tengah yang dihadirkan berita apa, darimana? Copas dari sebuah stasiun TV Arab yang mewakili dan menjadi salah satu pemicu konflik di Timur Tengah.

Jadi, saya optimis Indonesia ini ada silent majority yang cerdas, yang tersebar di semua lini dan mereka ini yang akan menentukan arah. Makanya soal pemblokiran, saya sendiri tidak punya pendapat. Mau diblokir mau tidak, silahkan. Itu hak pemerintah. Tapi kalau mau memblokir ya jangan sembarang blokir. Lihat situsnya, kalau memang isi situsnya mengkhawatirkan, mengganggu stabilitas, bisa menciptakan konflik-konflik, ya ndak harus yang Islam. Apa saja, situs-situs yang menghujat Islam juga harus diblokir. Banyak juga itu.

Saya perlu tekankan, kalau pemerintah mau blokir jangan hanya situs yang membawa nama Islam dan mengkafir-kafirkan orang atau mengajak orang untuk menjadi radikal. Tapi situs-situs yang menghujat Islam juga banyak, bila perlu akun-akun di sosial media yang menjelek-jelekkan Nabi Muhammad dan Islam, juga harus diblokir. Ini menunjukkan bahwa kita konsisten, kalau memang ternyata memang ada situs Islam yang tidak pernah mengajarkan orang untuk saling membenci dan saling mengkafirkan, saya pikir itu tidak layak untuk diblokir. Jadi istilahnya, lihat-lihat juga lah.

Saya setuju tidak boleh sembarangan. Tapi apakah melalui proses hukum atau tidak, itu sebaiknya melalui atau kembali ke pakar hukum yang lebih ngerti saja. Saya pikir adalah hak pemerintah untuk melakukan itu. Kalau semua hak pemerintah itu harus diselesaikan di pengadilan, ya ndak akan ada keputusan di Indonesia ini nunggu putusan pengadilan nanti, apalagi kalau harus ada proses naik banding,  bisa-bisa ndak selesai-selesai. Jadi mungkin harus ada yang dibedakan. Ada yang harus melalui proses hukum, yudikasi, ada yang memang sudah menjadi satu paket yang dengan wewenangya sebagai eksekutif sudah bisa langsung mengeksekusi. Ini yang perlu diperhatikan.

Kalau kata kunci untuk kasus ini?

Ndak perlu menyebut situs Islam atau tidak. Blokir saja semua upaya disinformasi, upaya apapun dalam bentuk pemberitaan yang mengganggu keutuhan NKRI, kebhinekaan, ketenangan, kedamaian, kerukunan. Mau situs Islam atau bukan situs Islam, mau situs itu menggunakan nama Islam maupun tidak. Mau situs itu membawakan nama Islam atau malah saya lebih cenderung berharap pemerintah juga harus mulai memblokir itu situs-situs yang menghujat Islam. Banyak sekali itu, akun-akun di media sosial yang mencaci-maki Tuhan, mencaci-maki agama, mencaci-maki Islam, mencaci-maki Nabi Muhammad juga banyak. Itu yang wajib diblokir juga.

Apa pesan Anda untuk masyarakat agar sadar dan tidak gampang terprovokasi media yang membawa isu sektarian atau mengatasnamakan Islam?

Saya yakin masyarakat kita ini, saya ini kan mewakili masyarakat bukan pejabat, bukan pengamat. Saya lihat cara pandang masyarakat itu nanti akan lebih cenderung melihat isi daripada tampilan-tampilan nama. Sudah bosen masyarakat ini dengan itu semua. Jadi, masyarakat sekarang sudah lebih memperhatikan “apa” daripada “siapa,” lebih memperhatikan konten daripada nama. Masyarakat yang perlahan-lahan makin cerdas, insya Allah akan makin tahu, dan tidak akan mudah terpengaruh dengan tampilan-tampilan luarnya saja. (Lutfi/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *