Berita
Jalan Mengenal Kenabian [1/4]
TUJUAN KENABIAN
Tuhan dalam mengutus para Nabi dan Rasul-Nya mengacu pada satu pandangan dunia universal yang agung, tujuan yang tinggi, dan faedah yang beragam untuk memekarkan benih ilmu dan amal manusia sehingga mereka bermikraj bertemu dengan Tuhan, yakni maqam yang paling tinggi bagi maujud mumkin. Sebagian dari tujuan dan faedah kenabian di antaranya adalah:
1. Mengajarkan Ilmu dan Makrifat
Alquran menyebutkan bahwa pengajaran dan tarbiyah merupakan tujuan dari pengutusan para Nabi dan Rasul As; “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan apa yang tidak mampu kamu ketahui.”[QS al-Baqarah: 151]
Ungkapan: “Dan mengajarkan kamu apa yang tidak mampu kamu ketahui” menyampaikan tentang keberadaan suatu pengetahuan dan hakikat yang tidak terjangkau oleh intelek dan pikiran manusia dengan segala kemajuannya dalam pengetahuan, ilmu, dan teknologi, tapi hakikat-hakikat tersebut hanya dapat diketahui lewat jalan kenabian dan wahyu. Jika tidak ada Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan maka akal dan pikiran manusia yang paling pertama sampai yang paling akhir tidak akan sanggup mengkonsepsi dan mengetahui hakikat samudera tauhid dan maad yang sangat dalam.
Dari mana akal bisa tahu bahwa kiamat mempunyai lima puluh stasiun. Akal dan pengetahuan manusia, kendatipun setiap saat mengalami kemajuan dan kesempurnaan, namun tetap tidak akan dapat meraih makrifat dan pengetahuan semacam ini dengan sendirinya; hatta akal para Nabi ulul azmi atau akal paling tinggi dari mereka, yaitu akal kull (total, semesta) hadhrat Muhammad bin Abdullah Saw. Berpijak pada ini maka Allah Swt menyatakan matlab tersebut kepada beliau Saw: “…Allah telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar”.[QS an-Nisa: 113] Oleh karena itu, sekiranya bukan karena karunia dan inayah Allah Swt kepada Nabi-Nya maka beliau Saw tidak akan mampu memperoleh makrifat dari sebagian masalah-masalah gaib dan metafisika.
Di tempat lain dari Alquran, Tuhan berbicara kepadanya dengan firman-Nya: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Alquran) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Alquran itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus”.[QS asy-Syûrâ: 52]
Jelas bahwa fiil mâdhi manfi (kata kerja bentuk lampau negatif) “Maa kunta tadrii” menunjukkan penafian segala bentuk kemampuan pemahaman terhadapnya (sebelum diwahyukan), oleh karena itu, hanya karena berkat inayah dan wahyu Tuhan maka tirai dan hijab makrifat hakiki alam gaib terbuka bagi manusia dan manusia dapat menyingkap pengetahuan sejati serta hakikat-hakikat tak terbatas dan akal manusia dapat berkembang dalam dimensi ilmu dan makrifat ini (mabda, ontologi dan eskatologi).
Di samping itu, jika akal argumentatif dengan sendirinya cukup memahami seluruh hukum-hukum dan hikmah-hikmah alam gaib dan syahadah maka Tuhan tidak akan menyatakan bahwa: “Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana”. [QS an-Nisa 165] Jika akal dan intelek, dengan sendirinya cukup untuk membimbing manusia dan tidak butuh kepada wahyu dan kenabian, maka Tuhan pada hari kiamat akan membawa para pendosa ke neraka dan berkata pada mereka: Saya dengan memberikan akal kepadamu telah menyempurnakan hujjah atasmu; sementara yang kita saksikan dengan ayat di atas Dia berkata: Saya, untuk sempurnanya hujjah atasmu telah mengutus para nabi dan rasul sehingga tidak seorangpun di antara kamu dalam medan maad dapat membantah Tuhan atas perkara ini.
Oleh karena itu, akal dan rasionalisasinya -pada saat yang sama daruri dan mesti- tidak cukup dengan sendirinya membimbing manusia dan sangat banyak dari subyek dan pengajaran dimana akal tidak mendapatkan jalan pemecahan dan penyelesaiannya tanpa pertolongan kenabian dan wahyu; demikian juga kenabian dan pengajaran wahyu tidak akan mendapatkan konklusinya jika tanpa bantuan aplikasi rasionalisasi dan pengajaran rasional akal. Berdasarkan ini, maka iman (wahyu) dan akal merupakan dua tangan dan dua sayap kokoh bagi manusia dalam mengantarkan mereka menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berasaskan pandangan dunia ini, kutub rasionalisme ekstrim dan tanpa acuh pada agama akan menggiring pada kesesatan dan juga kutub fideism (fideisme) radikal yang memenjarakan dan memerangi akal atau mengabaikan rasionalitas murni berada dalam kesalahan dan pandangan stratafikasi (memisahkan antara keberagamaan dan rasionalitas).
Alquran memuat banyak ayat-ayat yang menjelaskan ketidakcukupan akal dan menafikan ketidakbutuhannya kepada wahyu, seperti firman Tuhan berikut ini: “Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan , “Tidak ada yang datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sungguh, telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”[QS al-Maidah: 19]
Jelas bahwa jika rasionalitas dan intelektualitas adalah cukup, niscaya Tuhan akan berkata: Kami telah memberikan akal kepadamu dan Kami telah sempurnakan hujjah atasmu (dengan akal tersebut); bukannya Tuhan berbicara tentang pengiriman rasul-rasul.
Dalam ayat lain Tuhan menyatakan bahwa undang-undang dan aturan-Nya adalah demikian ini, bahwa Dia sama sekali tidak akan mengazab seseorang kecuali sebelumnya Dia telah mengutus seorang nabi: “…Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”[QS al-Isrâ: 15] Oleh karena itu, untuk mencapai hidayah dan kebahagiaan dengan bertumpu hanya kepada akal manusia dan ijma masyarakat serta mengabaikan wahyu, ini adalah suatu anggapan primitip dan jahiliah, sebagaimana firman Tuhan: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. [QS al-Maidah : 50]
Tuhan mencela golongan orang yang mencukupkan diri mereka dengan rasionalitas dan intelektualitas manusia dan tidak mengacuhkan pengajaran wahyu Ilahi serta melebihkan ilmu basyar dan tabii yang materialistik daripada ilmu wahyu yang Ilahiah, dan mengunggulkan kestatisan tabiat daripada kedinamisan metafisik, Tuhan sangat tidak menyukai mereka: “Maka ketika para rasul datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka merasa senang dengan ilmu yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh (azab) yang dahulu mereka memperolok-olokkannya”.[QS al-Mu’min: 83]
Pada hakikatnya, Nabi dan Rasul merupakan pemberian Tuhan yang paling baik bagi umat manusia, sebab dengan diutusnya mereka di tengah umat manusia, mereka menjalankan tugas membebaskan manusia dari penjara dan kungkungan tabiat dan melakukan pekerjaan yang lebih besar, lebih luas, dan lebih tinggi dari medan pekerjaan dan keterbatasan akal partikular; terlebih apa yang diperoleh dan dicapai oleh akal dapat ditimpa kesalahan, kekeliruan, dan perubahan, dan senantiasa hipotesa baru akan menggantikan hipotesa lama. Berangkat dari sinilah Nasiruddin Thusi seorang ilmuan dan filosof Islam berkeyakinan bahwa salah satu dari paedah bi’tsah nabi adalah menegaskan dan menguatkan persepsi serta kognisi akal.[Kasyful Murâd, al-Faslu ar-Râbi’ fî an-Nubuwah, Hal. 346]
Jumlah kesalahan dan kekeliruan akal dalam atmosfir zaman kontemporer ini masih sangat banyak dan nyata dapat kita saksikan. Di India dan negara-negara lainnya masih terdapat banyak masyarakat penyembah berhala, dan dibanyak negara-negara terdapat banyak masyarakat yang ateis dan menolak wujud metafisika, oleh karena itu, kita sampai pada suatu konklusi bahwa betapa bi’tsah dan pengutusan nabi itu adalah suatu nikmat dan karunia besar.
2. Menyempurnakan Akal dan Intelek
Menyempurnakan rasionalitas dan intelektualitas masyarakat adalah salah satu dari tujuan yang paling urgen dari tarbiyah dan pengajaran para nabi As: “Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”[Q.S Ali Imran: 164]
Nabi mulia Islam juga dalam sebuah hadits bersabda: Tuhan tidak mengutus seorang nabi dan tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk menyempurnakan akal dan intelek (umat manusia), dan akal dia (nabi dan rasul) adalah lebih tinggi dari seluruh akal umatnya;[Usul Kâfi, Kitab al-Aql wa al-Jahl, Hadits 11]
] sebab akal jam’î (kumpulan dan ijma masyarakat) tersusun dari sekumpulan ilmu dan pengetahuan hushuli dan komprehensi-komprehensi mental, dimana jenis ilmu dan pengetahuan ini tidak terjaga dari kesalahan dan kekeliruan serta tidak lepas dari mugâlatah (fallacy) lafzhi dan maknawi, dan selamanya ilmu dan pemahaman hushuli yang kurang tidak akan mungkin menggantikan peran dan posisi ilmu syuhud hudhuri yang sempurna; kendatipun akal jam’î diperoleh dengan jalan musyawarah dan dibanding akal fard (perorangan) lebih dekat kepada pengetahuan nyata (tapi ini hanya berlaku untuk orang biasa selain nabi dan rasul).
Singkatnya, masyarakat manusia dalam bidang pemikiran dan teoritis butuh kepada wahyu Tuhan; sebab apa yang mesti mereka ketahui, namun mereka tidak pahami dan ketahui (dengan jalan akal dan intelek), mereka dapat memahaminya dengan pertolongan wahyu, dan apa yang mesti mereka peroleh secara sâlim dan sempurna, tapi tidak punya kemampuan terhadapnya, tersempurnakan dan terpecahkan dengan bantuan wahyu.
3. Menegakkan Keadilan
Tegaknya keadilan di tengah-tengah masyarakat merupakan cita ideal setiap insan yang mendambakan keselamatan dan kebahagiaan di dunia. Karena itu salah satu tujuan penting dari bi’tsah adalah untuk tegaknya keadilan dalam masyarakat manusia: “Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan Mizan (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil”.[QS al-Hadîd : 25]
Maksud dari “Bukti-bukti nyata” adalah persepsi dan konsepsi akal yang sahih dan ilmiah dan juga mukjizat para nabi As serta karamah-karamah amali para wali Tuhan. Demikian pula maksud dari “Kitab” adalah makrifat, hukum dan undang-undang, akidah, akhlak, dan ilmu-ilmu lainnya. “Neraca” atau “Mizan” yang benar juga menyertai Kitab yang di bawa para nabi As, dan tidak satupun mizan yang lebih akurat daripada sirah, cara, dan metode amaliah maksum dari para nabi dan para imam As.
Oleh karena itu, masyarakat manusia dalam dimensi stimulus dan motif -sebagaimana dalam dimensi pemikiran- butuh kepada sirah dan sunah maksum dari insan kamil (manusia sempurna) sebagi pemilik rahasia-rahasia sifat malaikat, sehingga dapat mengaktualkan kesucian ilmu dan menurunkan perbendaharaan alam akal ke alam mitsal serta menjasadkan memori-memori itu ke dalam bentuk nyata.
selanjutnya Jalan Mengenal Kenabian [2/4]
Dikutip dari buku Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Merancang Piramida Keyakinan