Berita
IZ Muttaqin Darmawan Puluhan Tahun Bergelut Tafsir Alquran
Di tengah hiruk-pikuk keramaian Ibu Kota Jakarta kami melakukan aktivitas seperti biasa. Bekerja sebagai pewarta, kegiatan kami mencari berita setiap harinya.
Kali ini, kami mengunjungi Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI) yang berlokasi di Depok Jawa Barat.
Di tengah terik matahari Kamis (11/6) siang itu, kami berangkat dari Jakarta. Kemacetan jalan raya membuat waktu tempuh serasa lebih lama. Setelah hampir 1 jam perjalanan, akhirnya kami tiba di lokasi. Rindangnya pepohonan dan suasana dalam kampus memberi kesan asri pada lembaga Perguruan Tinggi Islam ini. Sambutan ramah para staf STAIMI juga memberi kesan tersendiri.
Tujuan kunjungan kami, menemui salah seorang Dosen di sana. Beliau adalah Pak IZ. Muttaqin Darmawan yang selain telah menulis buku berjudul Alquran dan Gugatan Barat, saat ini konon tengah menggarap sebuah analisis tafsir Alquran lewat pendekatan bahasa dan sastra Indonesia serta aspek-aspek kontemporer dalam pemahaman agamanya. Untuk itu kami datang, ingin membuktikan dan menulis cerita tentangnya.
Sepuluh menit menunggu di ruang tamu, akhirnya kami dan Pak IZ. Muttaqin bertemu. Tanpa basa-basi, perbincangan pun terjadi. Sebagai Dosen yang menggeluti bidang bahasa dan sastra Indonesia, beliau menuturkan banyak kerancuan dalam alih bahasa Arab ke Indonesia, terutama istilah-istilah ke-Islam-an saat ini. Tak terkecuali istilah yang dipakai dalam menafsirkan Alquran.
Berbekal ilmu yang didapat semasa kuliah (1965) di Fakultas Tarbiyah jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu IAIN), sejak 1976 dimulailah aktivitasnya sebagai dosen di beberapa tempat. Tak berselang lama, muncul gagasannya untuk menulis analisis tafsir Alquran. “Saya merasa tidak kapabel. Bukan kompetensi saya sebenarnya. Tapi, ada dorongan jiwa untuk mengerjakan ini karena saya menemukan ada yang salah dan harus diluruskan. Tentunya tanpa mengurangi rasa hormat kepada para ulama. Saya anggap mereka seperti pohon-pohon besar yang rindang, tempat berteduh jutaan insan, dan saya hanyalah sebagai tukang rumput di bawahnya yang ingin membabat habis rumput-rumput liar. Saya tidak ingin mengatakan sebagai ahli tafsir, tidak. Saya hanya menganalisis karya-karya mereka dari berbagai aspeknya,” tuturnya.
Bermula dari Dorongan Jiwa
Kegigihan itupun pada akhirnya membuahkan hasil juga. Sebuah perusahaan penerbitan ternama di Indonesia siap menerbitkan karya tersebut. Bahkan, mantan Wakil Menteri Agama, Prof. Nazaruddin Umar telah membuat Kata Pengantar untuk analisis tafsir itu. Menyatakan tak ingin terburu-buru, dorongan untuk menerbitkan karya itu masih menunggu dari Allah swt. “Kenapa? Karena masih ada saja yang kurang. Di tengah jalan selalu menemukan perbaikan,” katanya. Diyakininya, mungkin ini yang dikehendaki Allah swt. untuk menunda penerbitan agar dapat memperbaiki dan menyempurnakan penulisan.
Lahir tahun 1946, usia Pak Muttaqin kini genap 69 tahun. Tapi semangat muda dalam dirinya membuat raganya bekerja lebih giat melampaui batas umur tersebut. Di usia menjelang 70 tahun, beliau tetap rela mengurangi waktu istirahatnya demi menularkan ilmu kepada para mahasiswa.
Karya yang digarapnya bertahun-tahun dan diberinya judul Analisis Tafsir Alquran dalam Tantangan Tren Global yang Paradoks itu rencananya akan diterbitkan tahun depan bertepatan dengan 70 tahun usianya, sembari menunggu kemantapan hati.
“Memang, kita ini sedang menghadapi keadaan yang amat sangat paradoks. Sangat menantang saya dalam hal ini. Makanya di bagian tafsir itu ada judul, Apakah Alquran Memiliki Masa Depan? Jawabanya tergantung kita. Meskipun Allah swt. menjamin Alquran, tapi dari aspek ikhtiar manusianya kita harus terlibat. Sebagaimana malaikat Jibril, Nabi Muhammad, dan para hafiz-hafizah. Nahnu, Kami (Allah, Malaikat Jibril, Nabi Muhammad) dan Ahlulbait yang mencatat memiliki keterlibatan dalam penjagaan Alquran. Ke sininya kemudian para hafiz-hafizah, para mufassir, dan kita semua yang merasa terpanggil, mestinya juga berperan dalam hal itu,” paparnya.
“Mengapa muncul ide menggarap analisis tafsir ini, karena saya menemukan banyak kasus kebahasaan. Sementara kasus lain, mungkin perlu ditangani oleh kalangan ulama.”
Sebab lain paling anyar yang membuatnya terpanggil adalah munculnya Islamophobia. “Apa sebabnya? Sebabnya karena tafsir para ulama yang tidak tuntas dalam menjelaskan ayat dalam Alquran. Harus selalu digali, apa sebab muncul Islamophobia. Banyak hal yang memang merupakan kesalahan kita. Saya tidak setuju apa-apa itu menyalahkan orang luar. Ini sebenarnya terpulang pada tanggungjawab ulama tafsir. Apalagi kalau misalnya melihat adanya berbagai firqah dengan ragam penafsirannya masing-masing.” Bisa jadi, salah dalam hal penafsiran itu yang kemudian menjadi sumber kesalahpahaman orang dalam menilai Alquran dan ajaran Islam, terutama dari kalangan non-Islam.
Ahli Tafsir Belum Tentu Ahli Bahasa Indonesia
Pak Muttaqin pun menuturkan, bahasa Indonesia rentan mengalami pergeseran makna. “Jadi jangan kira, pakar tafsir ketika menggunakan media bahasa Indonesia itu dianggap gampang,” imbuhnya. Karena itulah dalam salah satu bab tafsirnya ada yang berjudul Alquran dan Problematika Tafsir Bahasa Indonesia, yang di dalamnya membahas tentang idiomatic fatsoen (sopan santun) bahasa, dzauq (citarasa) bahasa, kosa kata serta makna ganda beberapa ayat dan tafsir bahasa Indonesia.
“Saya pernah memberi pengarahan kepada mahasiswa, pada dasarnya bahasa Indonesia sebagai media penerjemahan itu penting untuk dikuasai. Pakar tafsir belum tentu pakar bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia banyak seginya. Termasuk soal cita rasa dan sopan santun tersebut,” tambahnya.
Distorsi sejarah dan penafsiran keliru yang menyebabkan munculnya kelompok radikal dan menumbuhkan Islamophobia, itulah yang juga menjadi pemicu semangat Pak Muttaqin menulis analisis tafsir. Di sisi lain, tentu saja apa yang dilakukannya semata-mata mengharap ridha Allah swt. dalam perannya menjaga agama dan Kitab Suci-Nya. Upaya mulia yang layak ditiru, dihormati dan kita apresiasi tinggi. (Malik/Yudhi)