Berita
Istrimu, Musuhmu?
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara (istri-istrimu) dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah…”.
[QS at-Taghabun : 14, al-Qur’an dan terjemahnya, edisi revisi, Depag-RI, Mahkota Surabaya]
Maksudnya, kadang-kadang istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama. [Penjelasan dari Depag RI]
Terjemahan ayat tersebut telah menarik perhatian saya, ketika saya melihat teks asli ayatnya, khususnya pada ungkapan “istri-istrimu”, di mana berdasarkan ayat tersebut -tentunya masih merujuk pada terjemahan versi Depag RI- bahwa hanya istri saja yang bisa menjadi musuh dan menjerumuskan seorang suami untuk melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan agama. Sementara berkaitan dengan suami tidak disinggung sama sekali dalam ayat tersebut. Kesimpulan ini dapat kita tarik tatkala merujuk terjemahan versi Depag RI di atas. Namun terdapat kesimpulan lain yang bisa kita ambil dengan mengkritisi pola penterjemahan di atas:
Pertama: Asal kata yang kemudian dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan ‘istri-istri’ ialah ‘azwaj’ bentuk plural (jamak) dari kata ‘zauj’. Dalam ensklopedia bahasa karya Raghib al-Isfahani, beliau menjelaskan bahwa kata ‘zauj’ artinya ialah ‘pasangan’ yang bisa digunakan untuk benda seperti sepasang sepatu, untuk hewan seperti sepasang ayam (jantan dan betina), dan untuk manusia seperti suami dan istri. Hal ini pun dikuatkan pula oleh Allamah Thabathabai, mufassir kontemporer dalam karyanya tafsir al-Mizan.
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, sepatutnya terjemahan ayat di atas akan menjadi seperti ini:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara (pasangan-pasangan/suami-istri) kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah…”.
Konklusi: berdasarkan terjemahan di atas, sebagaimana sewaktu-waktu seorang istri akan bisa menjadi musuh dan menjerumuskan suaminya ke dalam perbuatan yang tidak dibenarkan agama, begitu juga sebaliknya , seorang suami pun akan bisa menjadi musuh dan menjerumuskan istrinya ke dalam perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama. Kesimpulan ini diambil karena kata ‘azwaj’ diartikan ‘pasangan-pasangan’, bukan hanya diartikan untuk istri saja. Dan sebagaimana kita tahu, pasangan dalam bahasa Indonesia pun digunakan untuk laki-laki dan perempuan (suami dan istri).
Kedua: Dalam realitanya apakah hanya istri saja yang menjadi musuh dan bisa menjerumuskan suaminya? Apakah tidak ada suami yang menjadi musuh dan menjerumuskan istrinya? Contoh gampangnya, Fir’aun suaminya Asiyah. Atau para suami lainnya yang pada zaman sekarang ini yang menghalangi istrinya untuk berbuat baik. Bisa kita lihat di beberapa berit, ada suami yang menjual istrinya. Lantas apakah mereka (suami-suami tadi) bukan menjadi musuh bagi istrinya dalam ketaatan kepada Allah Swt.?
Ketiga: Apabila alasannya menerjemahkan kata tersebut dikarenakan kata ‘azwaj’ digandengkan dengan kata ganti jamak untuk laki-laki (‘kum’, dhamir jamak mudzakar) sehingga menjadi ‘azwajikum’, maka jawabnya ialah; dalam kaidah bahasa Arab (nahwu) ketika audiensnya terdiri dari laki-laki dan perempuan maka akan menggunakan kata ganti jamak untuk laki-laki, walaupun jumlah mereka satu berbanding sepuluh. Maksudnya sepuluh perempuan dan seorang laki-laki.
Keempat: Audiens ayat di atas adalah orang-orang yang beriman ‘Wahai orang-orang yang beriman…’ dan kita ketahui bahwa orang-orang yang beriman bukan monopoli laki-laki semata. Dan kalau alasannya lagi karena seruan di atas menggunakan kata ganti jamak mudzakar maka jawabannya seperti jawaban pada poin ketiga di atas. Dan selain itupun, beberapa perintah Allah menggunakan seruan seperti ayat tadi, yang maksudnya seruan tersebut ditujukan untuk laki-laki dan perempuan yang beriman. Hal itu dapat kita jumpai seperti pada ayat yang berkaitan dengan perintah puasa dan ayat-ayat lainnya.
Euis Daryati Lc. MA, Penulis buku Abjad Cinta