Berita
Islam Politis VS Politik yang Islami
Politik nasional makin menghangat menjelang pendaftaran capres dan cawapres. Berbagai manuver dilakukan oleh banyak pihak. Adanya pertemuan tokoh agama yang menghasilkan rekomendasi tentang capres dan cawapres semakin menghangatkan panggung politik, tapi juga memunculkan kembali diskursus relasi antara agama dan politik. Pertanyaan utamanya adalah: apakah agama boleh dilibatkan dalam politik?
Bagi sebagian pihak, agama dan politik adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Agama (khususnya agama Islam) bukan hanya “bisa” dilibatkan, melainkan memang “harus” dilibatkan dalam urusan politik. Dikatakan bahwa agama dan politik sama-sama memiliki tujuan untuk membangun dan menata urusan masyarakat. Kedua hal ini memang memiliki tujuan dan fungsi yang beririsan.
Akan tetapi, sebagian yang lain menyatakan bahwa agama dan politik harus dipisahkan. Pengusung ide ini berkali-kali menunjukkan fakta bahwa ketika agama dan politik dicampuradukkan, muncullah apa yang disebut dengan “perang ayat”, “perang hadis”, dan “perang dalil”. Kemudian, terjadilah disintegrasi ummat dan beragam konflik horizontal lainnya. Satu pihak menyatakan pihak lain sebagai sesat dengan menggunakan argumen agama.
Masalah ini sebenarnya bisa diurai dengan membedakan dua istilah ini: “Islam politis” dan “politik Islami”. Kedua frasa ini sama-sama menunjukkan percampuran di antara Islam dan politik. Akan tetapi, perbedaan posisi di antara kedua kata itu menciptakan dua makna yang berbeda satu sama lain.
Frasa “Islam politik” menunjukkan bahwa politiklah yang menjadi sifat bagi Islam. Artinya, dalam konteks “Islam politis”, politiklah yang menjadi parameter keislaman Anda. Jika Anda tidak berpolitik, keislaman Anda layak untuk dipertanyakan. Kepentingan utamanya adalah politik, dan salah satu sisi Islam dipakai untuk kepentingan tersebut.
Frasa “Islam politis” ini menjadi sangat bermasalah ketika politik-nya itu sendiri dimaknai sebagai hal-hal yang terkait dengan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dengan pemaknaan seperti itu, “Islam politis” bermakna penggunaan Islam sebagai alat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah “politisasi Islam”. Inilah yang terjadi ketika para kontestan pemilu menyematkan gelar haji dalam profile-nya. Ada juga yang mengenakan serban dan jilbab syar’i, atau menampilkan dirinya sebagai sosok yang religius demi meraup suara pemilih; demi meraih kursi yang empuk di lembaga eksekutif ataupun legislatif.
Sementara itu, frasa “politik Islami” bermakna bahwa Islam-lah yang menjadi sifat dan parameter bagi dunia politik. Dalam konteks “politik yang Islami”, Islam-lah yang menjadi parameter keberpolitikan Anda. Jika Anda tidak menerapkan norma-norma agama Islam, aktivitas politik Anda menjadi tercela dan rendah. Jika Anda melakukan negatif campaign, apalagi black campaign, hingga melakukan fitnah, menggunakan cara-cara kotor, atau menyuap, Anda jatuh ke dalam perilaku politik yang tidak Islami. Islam berfungsi sebagai pengawal kehidupan politik para politisi.
Frasa kedua ini tentu saja sangat positif. Islam adalah ajaran agama yang dipenuhi dengan seruan-seruan yang mulia. Islam menyerukan keadilan, kejujuran, kehati-hatian (wara’), tawadhu, kepedulian terhadap sesama, keikhlasan, perang melawan pencurian (korupsi), dan beragam seruan baik lainnya. Jika norma-norma seperti ini yang dijadikan sebagai parameter dalam kehidupan politik, kami yakin, tak ada satupun yang menolaknya.
Sayangnya, mereka yang selama ini mengusung agama Islam sebagai watak dan jenis aliran politiknya; mereka yang mengklaim diri sebagai partai dakwah, justru saat ini sering disorot karena adanya perilaku yang melanggar ajaran agama Islam itu sendiri. Mereka mengumbar celaan hingga fitnah. Mereka gagal membedakan mana yang merupakan perilaku “amar makruf nahi munkar”, dan mana yang merupakan perilaku-perilaku buruk seperti mencela, mengumpat, merendahkan, “nyinyir”, hingga memfitnah.
Jangan heran jika kesan yang muncul adalah kesan kesan negatif; bahwa yang mereka usung sebenarnya adalah Islam politis. Mereka hanya peduli kepada kursi dan kekuasaan. Mereka hanya peduli kepada suara pemilih. Dan, untuk itu, dipakailah Islam sebagai alat meraup suara.
Sungguh sangat disayangkan. Agama mereka jual dengan harga yang sangat murah (tsamanan qaliilan). (liputanislam /asf/abi)