Berita
Islam Nusantara, Kontekstualisasi Islam Maslahat
Sebagai agama langit yang diturunkan Allah Swt hingga akhir zaman, Islam disebut sebagai salikhun li kulli zaman wal makan, relevan pada setiap waktu dan tempat.
Bagaimanakah relevansi Islam yang turun berabad-abad lalu ini di zaman sekarang, di berbagai tempat dan bangsa yang berbeda dengan tempat Islam diturunkan, di tanah Arab?
Mencoba menjawab hal ini ABI Press mewawancarai cendekiawan muda NU, Akhmad Sahal mengenai bagaimana cara Islam memanifestasikan keuniversalitasannya dalam konteks zaman dan tempat yang berbeda-beda, dan apa hubungannya dengan konsep Islam Nusantara yang digadang-gadang oleh NU ini?
Bagaimana sebenarnya posisi Islam sebagai agama yang diturunkan sampai akhir zaman?
“Sering kita dengar di khotbah-khotbah Jumat itu, bahwa Islam itu solikhul li kulli zaman wal makan. Islam itu relevan pada setiap waktu dan tempat. Nah, relevansi Islam itu hanya bisa dicapai dengan memahaminya secara kontekstual. Kontekstualisasi Islam itu adalah cara untuk membuat Islam menjadi seperti yang didengungkan oleh umatnya sendiri, supaya relevan.”
“Nah, saya melihat Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan itu adalah dua cara yang berbeda, dua sisi, dari mata uang yang sama. Yaitu kontekstualisasi Islam. Islam Nusantara adalah kontekstualisasi perubahan tempat dan Islam berkemajuan itu kontekstualisasi perubahan zaman.”
Bisa dijelaskan bagaimana proses kontekstualisasi ruang dan waktu itu?
“Selain soal akidah, dalam Islam, Islam datang dengan menciptakan aturan yang tidak ada sebelumnya. Atau kalau sudah ada, diperbaharui. Makanya syariah satu Nabi dengan Nabi lainnya beda-beda. Karena Nabi datang dengan aturan terperinci mengenai ritual yang baru. Atau lama, tapi dimaknai baru. Seperti haji. Ini permanen. Tidak bisa diotak-atik.”
“Nah, di luar itu, ada wilayah menyangkut hubungan manusia dengan manusia. Dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Yang dalam kategori Islam disebut muammalat. Dan ada satu kategori lain yang jarang dibicarkaan yaitu awa’id, yaitu adat istiadat atau tradisi.”
“Dalam domain ini, Islam itu tidak datang dengan membawa hal yang baru. Tapi fungsinya hanya mengoreksi yang sudah ada. Islam hadir sebagai korektor dalam domain ini. Patokannya apa? Kemaslahatan. Itu kata kuncinya. Jadi sejauh itu sesuai dengan maslahat, maka itu dipertahankan. Sejauh tidak menimbulkan kemudharatan, tidak dikoreksi oleh Nabi.”
“Islam Nusantara kalau Anda baca beberapa tulisan dari para kiai NU, misalnya sebagian termuat dalam buku yang saya editori, Islam Nusantara, itu ada beberapa tulisan dari kiai-kiai NU yang memberikan dasar ushul fikih. Jadi intinya Islam Nusantara tidak beroperasi di wilayah akidah dan ibadah ritual, tapi pada muamalah dan budaya. Nah karena patokannya maslahat, artinya kebutuhan masyarakat harus menjadi pertimbangan. Apa yang maslahat pada masa dulu belum tentu maslahat di masa sekarang. Atau maslahat di satu tempat, belum tentu maslahat di tempat lain.”
“Di Ushul Fikih itu ada prinsip, ‘perubahan suatu hukum Islam (bisa terjadi) karena ada perubahan tempat, zaman, dan keadaan’. Nah ini yang jadi patokan kenapa muncul ide Islam Nusantara. Kita bisa pakai istilah lain, tapi intinya ya itu tadi, keislaman yang menghargai budaya dan adat istiadat setempat, karena pertimbangannya kemaslahatan itu tadi.”
Bagaimana dengan konsep kebangsaan, apakah ia juga dibangun berdasarkan prinsip kemaslahatan?
“Ya. Karena prinsip kemaslahatn itulah, dulu ulama-ulama NU, ulama Ahlusunnah, setuju dengan kebangsaan. Setuju dengan negara Pancasila, dengan demokrasi. Misalnya paparan KH. Sahal Mahfudz dalam Fikih Sosial. Beliau bilang karena syariah itu patokannya adalah maslahat, dan maslahat yang sekarang ini, tercermin dalam demokrasi, maka kita harus ikut demokrasi. Artinya, aturan-aturan mengenai tadi, doktrin muammalah dan dan adat istiadat yang bertentangn dengan maslahat sekarang ya harus dibuang. Beliau memberikan contoh konsep kafir dzimmi. Non muslim sebagai warganegara kelas dua. Kan dalam fikih lama harus bayar jizyah, karena mereka dilindungi. Tapi menurut Mbah Sahal hal seperti ini akan menimbulkan ketidaksetaraan. Dan tidak setara itu tidak maslahat dalam konteks abad ini. Makanya harus dibuang.”
“Dan karena patokannya adalah maslahat, dan kita menjadikan kemaslahatan itu sebagai inti dari syariat (yang mutaghayyirah), maka mau gak mau harus dinamis, jadi harus maju. Makanya Fikih Sosial-nya Kiai Sahal itu menekankan tentang dinamisme fikih. Ini juga satu hal yang menarik, Bung Karno kan juga sangat keras kritiknya pada pandangan serba taklid pada fikih. Jadi kecenderungan melihat sesuatu itu dengan kacamata fikih yang beku, stagnan, berdasarkan aturan-aturan kecil, detail, dan pernik-pernik itu. Nah, fikih di tangan Mbah Sahal sangat dinamis.”
Berarti konsep kebangsaan itu justru sangat sesuai dengan syariat Islam?
“Ya. Kalau kita mau menetapkan syariah, itu artinya berarti ada domain, wilayah yang hukum itu mau gak mau fleksibel. Istilahnya itu bukan hanya yang tsawabit, yang tetap. kalau yang kedua ini mutaghayyirah, sesuatu yang berubah-ubah. Kalau mau memakai ilmu syariat dalam domain ini harus fleksibel dan berubah-ubah. Patokannya ya maslahat itu.”
“Jadi ulama-ulama NU dan juga tokoh-tokoh Muhammadiyah ketika mereka menerima Negara Kebangsaan, menerima keindonesiaan itu sebenarnya patokannya syariah. Jadi mereka itu menerapkan syariah tapi dengan ilmu syariat yang benar. Itu bedanya dengan para pendukung Islam yang mengaku ‘kaffah’ sekarang.”
“Makanya saya bilang, saya setuju diterapkannya syariah. Tapi penerapan syariah yang saya pahami berdasarkan ilmu syariah itu, ya artinya saya harus menerima demokrasi, harus menerima Pancasila, harus menerima Negara Kebangsaan. Karena itulah cara untuk mendapatkan maslahat yang paling efektif.”
“Jadi ini misalnya Kiai Sahal Mahfud menerima demokrasi itu bukan karena beliau membaca demokrasi Amerika atau baca bukunya John Locke. Gak pernah beliau baca buku John Locke. Jadi patokannya itu bukan filsafat Barat, patokannya justru fikih. Justru karena beliau patokannya fikih, maka beliau tahu yang jadi patokannya adalah maslahat. karena itu mereka pro-demokrasi.”
“Jadi saya sangat gembria dengan munculnya dua jargon Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan. Karena itu adalah jawaban yang paling telak terhadap arus ‘syariahisasi’ dan ‘transnasionalisasi’ di Indonesia. Jadi melawannya itu tidak dengan anti syariah, juga tidak dengan pro-Sekularisme, tidak dengan memisahkan negara dan agama. Tapi argumennya itu justru dengan syariah. Jadi kita menyetujui syariah diterapkan di Indonesia, dan justru karena itu kita menerima negara Pancasila.”
Indonesia memiliki Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan, bagaimana konsep Islam Maslahat ini di luar Indonesia?
“Ya, ini bukan khas Indonesia, tentu. Thariq Ramadhan, cucu pendiri Ikhwanul Muslimin, itu juga mengembangkan keislaman yang sesuai dengan keeropaan. Jadi obsesi Thariq adalah agar Muslim yang di Eropa merasa bukan pendatang. Mereka itu adalah orang Eropa yang kebetulan Islam. Bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Eropa.”
“Itu kan argumennya orang-orang pro Nusantara. Kita ini orang Indonesia yang kebetulan Islam, bukan orang Islam yang kebetulan di Indonesia. Artinya kita kan harus ikut merawat Indonesia, karena kita orang Indonesia. Kalau berpikiran sebagai orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia, ya tidak akan mikirin Indonesia. Mereka memang tak peduli dengan Indonesia. Makanya bayangan mereka tentang pahlawan itu ya Erdogan, Hasan al-Banna.”
“Nah, Thariq Ramadhan sebenernya sudah mengembangkan Islam Nusantara-nya Eropa. Islam Maslahat berdasarkan Eropa. Jadi bagaimana orang Islam di Eropa itu merasa ad hoc di Eropa, tapi juga menjadi muslim yang baik. Dan memang Thariq Ramadhan itu patokannya maslahat. Jadi ini adalah patokan yang bagus untuk bisa dikibarkan. Bahwa Islam Indonesia, Islam Nusantara Berkemajuan, itu memang wajah keislaman yang berbeda dengan Timur Tengah yang sekarang ini berkelahi terus.”
Bagaimana nanti kalau muncul istilah Islam Eropa, Islam Amerika?
“Loh, kenapa nggak? Label Nusantara, Eropa itu kan menyifati, mengacu kepada domain yang tadi itu, muammalat dan adat istiadat yang memang berubah-ubah. Jadi bukan berarti punya doktrin baru, punya nabi baru. Dalam keyakinan dan ritual sama, tidak berbeda. Tapi dalam hal muammalat dan adat istiadat berbeda. Makanya ada Islam Nusantara, atau Islam Eropa, itu nggak masalah. Malah justru bagus.”
“Ini seperti istilah yang dulu popouler di kalangan studi Islam itu, ‘unity in diversity’, Islam satu wajah dalam keragaman. Jadi apakah Islam Nusantara bukan Islamnya Nabi? ya Islamnya Nabi. Islamnya Nabi, tapi yang dilakukan, diamalkan oleh orang Indonesia, yang hidupnya ribuan kilo dari tempat Nabi lahir, dan puluhan abad dari saat Nabi hidup. Kalau kita sekarang kita pakai Islam mengikuti Nabi dalam artian mengikuti konteks abad ke-7, ya itu justru (secara syariah) tidak sesuai dengan Nabi.”
Banyak yang berpendapat, dan optimis, bahwa kalau Islam akan bangkit, akan bangkitnya di Indonesia. Apakah Islam Nusantara Berkemajuan berasas maslahat ini adalah bentuknya?
“Ya, itu salah satu bentuknya. Tapi tentu saja kalau ini dikembangkan ya, bukan hanya berhenti di jargon, tapi juga dirumuskan secara konseptual bagus. Dari segi konsep, keilmuannya, kemudian menjadi dua program aksi bagi dua organisasi ini. Ya itu bisa menjadi awal dan arahnya bisa kebangkitan kembali Islam. Jadi saya setuju dengan yang dikatakan Prof. Azyumardi Azra bahwa kebangkitan Islam akan ada dari Indonesia. Dan ini menarik, karena jarang dilihat orang beliau itu tokoh Muhammadiyah. Artinya apa? Islam Nusantara itu bukan eksklusif milik NU thok. Itu juga jadi tema yang orang-orang Muhammadiyah pun banyak yang sepakat.”
Selama ini Islam Nusantara identik dengan identitas NU, berarti apakah tantangannya adalah agar Islam Nusantara tidak berhenti sebagai gerakan identitas semata?
“Saya setuju itu. Itu salah satu tantangannya. Tentu saja begini, ini kan kita itu jangan terpaku pada label, misalnya orang tak setuju dengan label ini, tapi dia setuju dengan pokok pikirannya. Yaitu Islam yang berporos pada maslahat. Fine. Istilah Islam rahmatan lil alamin, terserah, silakan saja. Saya sih tidak terlalu ngotot dengan label. Dan juga ada satu kaidah, al-ibrah itu bil musamayya la bil asma, yang paling penting adalah pada substansinya, pada yang dinamai. Bukan istilahnya, tapi apa yang dimaksud dengan istilahnya.”
Mengenai kebangsaan, bisa diterangkan lebih dalam lagi mengenai relevansinya kemaslahatan Islam Nusantara dalam konteks Indonesia yang bhinneka ini?
“Karena wataknya yang akomodatif terhadap kebudayaan sekitar, berarti kan juga harus peka dan memahami konteks saat ini. Dan Islam Nusantara itu kan Islam yang berprinsip maslahat. Dan untuk konteks saat ini, kemaslahatan itu tercermin dalam bentuknya yang paling mutakhir itu ya kebangsaan. Karena apa? Karena kebangsaan itu adalah proyek untuk bekerjasama dari elemen-elemen bangsa untuk sesuatu yang luhur. Yang luhur itu apa? Seperti yang dirumuskan dalam UUD kan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kehidupan bangsa, ikut dalam upaya mencapai ketertiban dunia. Itu kan luhur sekali. Dan kerjasama untuk tujuan luhur itu tidak peduli dari Islam atau non Islam, asal punya nilai yang sama ya itu bagus. Nah, itu kan maslahat.”
“Nah, kalau Islam Nusantara adalah Islam Maslahat, artinya, kebangsaan ini, seperti yang dirumuskan di UUD 45 itu sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Jadi membela kebangsaan itu adalah membela kemaslahatan. Jadi arahnya ke sana. Bahwa kemudian, misalnya orang kan kecewa dengan demokrasi, bahwa keadilan itu belum tercapai, itu kan soal aplikasinya, kan? Memang ada yang salah. Tapi konsep sebagus apa pun bisa bermasalah pada tingkat praktik, bukan berarti idenya salah. Jadi kita itu membela idenya, ide kebangsaan sebagai sebuah kesepakatan untuk tujuan luhur tadi.”
Sebagai penutup, ada yang ingin ditambahkan?
“Terkait dengan ciri Islam Nusantara, ramah pada budaya setempat, itu kan salah satu cirinya itu kan tawassuth atau washatiyyah. Itu moderasi. Moderasi itu bisa berarti anti kekerasan, anti intoleran, tapi juga bisa berarti sikap tidak mutlak-mutlakan dalam berhadapan dengan kenyataan. Tidak mutlak-mutlakan itu artinya apa? Artinya ketika ada katakanlah tujuan luhur, ideal, tapi bukan berarti tujuan ideal itu kita paksakan. Tapi kita menghargai kenyataan yang ada. Ada kaidah fikih yang bilang, ma la yudroku kulluhu la yutroku kulluhu, sesuatu yang tidak bisa diperoleh semua, jangan lantas dibuang semua. Jadi prinsip menghargai kenyataan itu yang menjadikan kita ini, kenyataannya Indonesia itu seperti ini. Dengan segala kebhinnekaannya. Mosok kita mengidealkan sesuatu tapi harus membuang semua. Itu kan ongkosnya terlalu besar. Dan malah menimbulkan mudharat.”
“Jadi okelah, misalnya Anda ingin mendirikan negara Islam. Itu yang Anda anggap ideal. Trus Anda mengorbankan semua yang ada ini untuk mencapai cita-cita itu, harus misalnya, memerangi kelompok-kelompok non muslim yang memisahkan diri misalnya. Lalu terjadi separatisme, terjadi kekacauan dari segi tatanan politik. Itu kan justru mudharat. Jadi kalau kita terobsesi mau mencapai yang kita anggap ideal, dengan mengorbankan apa yang sudah kita punya. Itu sesuatu yg tidak wise, tidak bijaksana.”
“Prinsip washathiyyah ya itu tadi, yang saya maksud sebagai moderasi tadi, tawassuth tadi, itu istilahnya, kearifan lokal, kearifan menerima kenyataan. Kita berangkat dari yang ada. Yang ada itu ya artinya, jangan mutlak-mutlakan. Trus tidak memaksakan sesuatu yang asing. Misalkan kemudian kita Arabisasi. Itu kan berarti menyangkal kenyataan. Kenyataan kita ini bukan Arab. Bukan berarti kita anti Arab. Memang kita bukan Arab, dalam arti kita Indonesia. Jadi itu yang menjadikan sikap terhadap kebangsaan, keragaman, itu menjadi lebih ramah.”(Muhammad/Yudhi)