Berita
Islam Indonesia: Sejuk dan Anti Penindasan
Islam hari ini tampil dalam dua wajah. Wajah yang garang, keras dan radikal seperti yang ditampakkan di Timur Tengah, dan Islam berwajah santun, lembut, dan toleran, seperti yang ada di Nusantara. Islam bercorak Nusantara yang rahmatan lil ‘alamin inilah, yang saat ini dilirik dunia.
Agaknya ini pula yang membuat Mizan kembali menerbitkan edisi revisi buku Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Seperti dikatakan Buya sendiri dalam acara peluncuran buku sekaligus ulang tahunnya yang ke-80 ini.
“Islam Indonesia itu adalah Islam yang sejuk, bersahabat, dan pro kemajuan,” ujar Buya. “Bukan Islam yang penuh gejolak, keras dan radikal seperti di Timur Tengah.”
Dalam testimoninya, beberapa tokoh seperti Zulkifli Hasan, Jusuf Wanandi, Neng Darol Mahmada, dan banyak lagi lainnya mengapresiasi karya pemikiran Buya yang amat besar sumbangsihnya bagi Indonesia ini.
Islam Yang Tegakkan Keadilan
Dalam talkshow mengenai bukunya ini Buya juga menekankan bahaya paham radikal Wahabi yang disebarkan oleh Saudi.
“Saudi ekspor paham radikal, bahwa hanya Islam versinya saja yang benar, sangat sempit,” tekan Buya. “Islam itu mestinya menghidupkan. Paham radikal ini teologi maut menurut saya. Islam itu rahmatan lil alamin mestinya. Karena paham radikal itu sekarang bukan lagi rahmatan lil ‘alamin. Jangankan ke semesta, ke sesama Islam aja nggak,” kritik Buya.
Selain mengecam radikalisme, Buya juga mengkritik dakwah yang hanya berkutat di persoalan syariat tapi abai pada keadilan sosial umat.
“Yang diajarkan (Saudi) hanya syariat aja. Tapi keadilan (sosial) tak pernah diungkap. Lihat itu para pangeran yang doyan judi dan main perempuan seperti di Las Vegas saja didiemin,” ungkap Buya. “Ingat, Nabi itu dimusuhi kafir Quraisy bukan karena Nabi mengajarkan untuk menyembah Tuhan, tapi karena Nabi mengajarkan untuk bangkit melawan sistem yang menindas rakyat kecil. Nabi dilawan karena menegakkan keadilan.”
Mengenai perbedaan di Indonesia, Buya mengatakan bahwa dengan pengelolaan yang baik, saling toleran, menghargai dan tidak takfiri, justru itu jadi sumber kekuatan bangsa.
“Ya, perbedaan atau kalau kita tidak pandai mengelolanya, itu tak bisa jadi kekuatan yang integratif. Dengan buku ini saya harap semua perbedaan itu mengayakan dan integratif, bukan malah jadi kekuatan yang ingin memecah,” pungkas Buya. (Muhammad/Yudhi)